DAMPAK
ALIH FUNGSI HUTAN MENJADI LAHAN PERTANIAN DAN PERKEBUNAN TERHADAP KELIMPAHAN POPULASI
GAJAH
SUMATERA (Elephas maximus sumatranus)
MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi tugas tengah semester matakuliah
Ekologi Hewan
yang
dibina oleh Bapak Dwi Suheriyanto, M.Pd.
Oleh:
Juliana Afni Sitorus
12620063
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
FAKULTAS
SAINTEK
JURUSAN BIOLOGI
Mei 2015
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada
waktunya.
Makalah
ini mengkaji tentang Dampak Alih Fungsi Hutan Menjadi Lahah Pertanian Dan
Perkebunan Terhadap Kelimpahan Populasi
Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) yang disusun berdasarkan
pemahaman penyusun dengan disertai dari berbagai sumber terpercaya. Makalah ini
disusun guna untuk memenuhi tugas Ekologi Hewan. Penyusun berharap semoga
makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca untuk menambah.
Tidak
lupa penyusun menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berperan
aktif dalam penyusunan makalah
ini. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik, lancar, dan
tepat waktu. Kesempurnaan hanya milik Allah, sedangkan kekurangan pada
hamba-Nya, begitu pula dengan makalah
ini tidak akan sempurna tanpa kritik dan saran dari pembaca. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari pembaca sangat penyusun butuhkan untuk melengkapi makalah
ini.
Malang,
27 Mei 2015
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan merupakan sumberdaya alam yang menyimpan
banyak manfaat, hutan sering juga dikenal dengan istilah “emas hijau”. Salah
satu manfaat hutan yaitu sebagai habitat beraneka ragam satwa. Namun jika hutan
dieksploitasi tanpa memperhitungkan batasan-batasan tertentu maka fungsi hutan
dapat bergeser dan justru tidak dapat memberi manfaat. Allah telah menjelaskan
akibat kerusakan hutan dalam al-Qur’an surah
al-Baqarah 205:
Ayat di atas
menjelaskan bahwa perlakuan buruk sebagian mannusia terhadap alam dapat
menyengsarakan manusia itu sendiri. Tanah longsor, banjir, kekeringan, tata
ruang daerah yang tidak karuan dan air yang tercemar adalah buah kelakuan
manusia yang justru merugikan manusia dan makhluk hidup lainnya. Islam
mengajarkan agar umat manusia senantiasa menjaga kelestarian alam. Selain itu
Allah juga tidak menyukai oang-orang yang merusak lingkungan, menyakiti
binatang dan tanam-tanaman dan bertindak sewenang-wenang.
Pembukaan wilayah hutan untuk berbagai keperluan
manusia seperti pemukiman, pertanian, perkebunan, eksploitasi hutan dan
keperluan lainnya, menyebabkan luas hutan makin berkurang, serta flora dan
fauna di dalamnya juga mengalami gangguan. Pengaruh pemanfaatan hutan terhadap
komunitas satwa liar terjadi, dengan adanya gangguan terhadap habitat dan
bahkan terjadi kehilangan habitat satwa. Ruang gerak satwa makin sempit dan
kehilangan sumber pakan, dengan kata lain aktivitas satwa dapat terganggu baik
makan, istirahat maupun aktivitas lainnya. Hal ini dapat menyebabkan
keseimbangannya terganggu dan ketika situasi ini terus berlangsung maka bukan
tidak mungkin, jumlah satwa di alam berkurang dan dapat menjadi ancaman bahaya
kepunahan spesies.
Gajah
Sumatera (Elephas maximus sumatranus
Temminck) merupakan salah satu satwa yang dilindungi menurut Peraturan
Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Populasinya dari tahun ke tahun
menunjukkan penurunan. Diperkirakan mengalami penurunan sekitar 35 % dari tahun
1992, dan nilai ini merupakan penurunan yang sangat besar dalam waktu yang
relatif pendek (Soehartono et al 2007).
Penurunan populasi ini salah satu
penyebabnya yaitu semakin menyempitnya habitat.
Penyempitan habiatat ini mendorong konflik
antara manusia dan gajah. Berbagai media memeberitakan gajah merusak lahan
pertanian dan perkebunan warga. Seperti yang dituliskan surat kabar harian online
Skalanews.com Puluhan gajah liar kembali merusak puluhan hektar
lahan perkebunan milik petani warga Desa Tegal Ombo, Kecamatan Purbolinggo,
Lampung Timur, Senin (11/4). Leusentara.com pada tanggal 24 Desember 2014
memberitakan gajah kembali menyerang warga di Dusun Bintang Padi, Desa Singah
Mulo Kec. Pintu Rime Gayo, Bener Meriah. Dilaporkan akibat aksi serangan puluhan gajah liar tersebut, selain
menyebabkan warga mengungsi juga sebanyak ratusan hektar lahan pertanian warga
telah dirusak.
Gangguan dan konflik gajah dengan
manusia banyak terjadi disebabkan semakin menyempitnya habitat gajah. Hutan
merupakan tempat dimana gajah
melangsungkan hidupnya berupa makan, berkembang biak, dan beristirahat. Berkurangnya
area hutan mengakibatkan berkurangnya lahan makanan gajah, sehingga gajah akan
mencari makan di luar hutan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, rumusan maslah dalam mkalah ini yaitu:
1. Bagaimana
dampak alih fungsi hutan terhadap kelimpahan populasi gajah sumatera (Elephas
maximus sumatranus) ?
2. Bagaimana
solusi untuk menjaga populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus)
?
1.2 Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas, tujuan dalam
makalah ini yaitu:
1. Untuk
memaparkan kelimpahan dan sebaran populasi gajah sumatera (Elephas maximus
sumatranus) di Indonesia
2. Untuk
memaparkan dampak alih fungsi hutan terhadap habitat gajah sumatera (Elephas
maximus sumatranus)
BAB II
ISI
2.1 Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus)
2.1.1 Syarat Hidup Gajah Sumatera
Gajah banyak melakukan pergerakan dalam
wilayah jelajah luas sehingga menggunakan
lebih dari satu tipe habitat seperti hutan rawa, hutan rawa gambut, hutan
daratan rendah, hutan hujan pegunungan rendah. Gajah
sumatera termasuk berdarah panas sehingga jika kondisi cuaca panas mereka akan
bergerak mencari naungan (thermal cover) untuk menyetabilkan suhu
tubuhnya agar sesuai dengan lingkungannya. Tempat yang sering dipakai
sebagai naungan dan istirahat pada siang hari adalah vegetasi hutan yang lebat.
(Shoshani, Eisenberg, 1982).
Dalam memilih habitatnya, gajah sumatera
memperhitungkan berbagai kondisi faktor habitat misalnya ketersediaan tempat
mencari makan, penutupan tajuk sebagai tempat berlindung dan tersediannya
sumber air. Selain itu satwa liar ini juga memperhitungkan waktu melakukan
berbagai aktivitas harian (Abdullah dkk, 2005).
Gajah sumatera termasuk satwa herbivora sehingga
membutuhkan ketersediaan makanan hijauan yang cukup di habitatnya. Gajah juga
membutuhkan habitat yang bervegetasi pohon untuk makanan pelengkap dalam
memenuhi kebutuhan mineral kalsium guna memperkuat tulang, gigi, dan gading. Karena
pencernaannya yang kurang sempurna, gajah membutuhkan makanan yang sangat
banyak yaitu 200-300 kg biomassa per hari untuk setiap ekor gajah dewasa atau
5-10% dari berat badannya (Shoshani, Eisenberg, 1982).
Selain itu, gajah juga bergantung pada air sehingga
sore hari biasanya mencari sumber air untuk minum, mandi, dan berkubang. Seekor
gajah sumatera membutuhkan membutuhkan air minum sebanyak 20-50 liter/hari.
Ketika sumber-sumber air mengalami kekeringan, gajah dapat melakukan penggalian
air sedalam 50-100 cm di dasar-dasar sungai yang kering dengan menggunakan kaki
depan dan belalainya. (Shoshani, Eisenberg, 1982).
Gajah membutuhkan wilayah jelajah yang
sangat luas. Ukuran wilayah jelajah gajah asia bevariasi antara 32,4-166,9 km².
Wilayah jelajah
unit-unit kelompok gajah di hutan-hutan primer mempunyai ukuran dua kali lebih
besar dibanding dengan wilayah jelajah di hutan-hutan sekunder (Shoshani,
Eisenberg, 1982)
2.1.2 Karakteristik Perilaku Gajah Sumatera
Beberapa karakteristik perilaku gajah sumatera (Elephas
maximus sumatranus) dalam hutan adalah sebagai berikut.
1.
Hidup Berkelompok
Di habitat alamnya gajah hidup berkelompok. Perilaku
ini merupakan salah satu perilaku yang sangat penting bagi keamanan dalam
anggota kelompok. Besarnya anggota kelompok sangat bervariasi tergantung pada
musim dan kondisi sumber daya habitatnya terutama makanan dan luas wilayah
jelajah yang tersedia. Jumlah anggota satu kelompok gajah sumatera berkisar
20-35 ekor, atau berkisar 3-23 ekor. Setiap kelompok dipimpin oleh induk betina
yang paling besar, sementara yang jantan dewasa hanya tinggal pada periode tertentu
untuk kawin dengan beberapa betina pada kelompok tersebut. Gajah yang sudah tua
akan hidup menyendiri karena tidak mampu lagi mengikuti kelompoknya. Gajah
jantan muda dan sudah beranjak dewasa dipaksa meninggalkan kelompoknya atau
pergi dengan suka rela untuk bergabung dengan kelompok jantan lain.
2.
Menjelajah
Secara alami gajah melakukan penjelajahan dengan
berkelompok mengikuti jalur tertentu yang tetap dalam satu tahun penjelajahan.
Jarak jelajah gajah bisa mencapai 7 km dalam satu malam, bahkan pada musim
kering atau musim buah-buahan di hutan mampu mencapai 15 km per hari (WWF, 2006).
Selama menjelajah, kawanan gajah melakukan
komunikasi untuk menjaga keutuhan kelompoknya. Gajah berkomunikasi dengan
menggunakan soft sound yang dihasilkan dari getaran pangkal belalainya.
Menurut penelitian, ditemukan bahwa gajah berkomunikasi melalui suara subsonik
yang bisa mencapai jarak sekitar 5 km. Penemuan ini telah memecahkan misteri
koordinasi pada kawanan gajah yang sedang mencari makanan dalam jarak jauh dan
saling tidak melihat satu sama lain (Shoshani, Eisenberg, 1982).
3.
Reproduksi
Gajah dapat berumur hingga 70 tahun dengan kondisi
dipelihara. Selama hidupnya gajah jantan tidak terikat pada satu ekor
pasangannya. Gajah betina siap bereproduksi setelah berumur 8-10 tahun.
Sementara gajah jantan setelah beumur 12-15 tahun. Gajah betina mempunyai masa
reproduksi 4 tahun sekali dengan lama kehamilan 19-21 bulan dan hanya
melahirkan 1 ekor anak dengan berat badan lebih kurang 90 kg. Seekor anak gajah
akan menyusu selama 2 tahun dan hidup dalam pengasuhan selama 3 tahun
(Shoshani, Eisenberg, 1982).
2.2 Hutan dan Fungsinya
Menurut Undang-Undang No 41 tentang kehutanan
Tahun 1999, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan, sedangkan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan
atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap.
Fungsi hutan secara umum menurut nilai ekologisnya
adalah sebagai berikut:
1. habitat
kehidupan satwa liar
2. penghasil
kayu bakar, kayu gergajian dan produk kertas
3. tempat
rekreasi
4. penting
dalam daur ulang global untuk air, oksigen, karbon, dan nitrogen
5. menyerap,
menahan, dan melepas secara perlahan siklus air sehingga mengurangi erosi dan
banjir (fungsi hidro-orologis).
Sedangkan untuk keperluan pengelolaan hutan di
Indonesia, hutan dibedakan menjadi empat menurut fungsi bio-ekonominya (Karden
E. S. Manik, 1986).
1. Hutan
lindung adalah kawasan hutan yang berfungsi untuk mengatur tata-air, mencegah banjir
dan erosi, serta mempertahankan kesuburan tanah.
2. Hutan
suaka alam adalah kawasan hutan yang karena sifatnya yang khas secara khusus diperuntukkan
bagi perlindungan dan pelestarian sumber daya plasma nutfah dan penyangga
kehidupan.
3. Hutan
wisata adalah kawasan hutan yang diperuntukkan secara khusus untuk dibina dan dipelihara
guna kepentingan wisata, pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan.
4. Hutan
produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna memproduksi hasil hutan untuk
memenuhi keperluan masyarakat, industri, dan ekspor. Untuk keperluan pengusahaan
ini, dikenal adanya 3 macam hutan produksi, yakni hutan produksi tetap, hutan
produksi terbatas, dan hutan konversi.
2.2.1 Kondisi Umum Kehutanan Indonesia
Berdasarkan hasil-hasil
penelitian, hutan dan perairan Indonesia memiliki kekayaan alam hayati yang
tinggi, tercermin dengan keanekaragaman jenis satwa dan flora. Sejauh ini
kekayaan tersebut diindikasikan dengan jumlah mamalia 515 jenis (12 % dari
jenis mamalia dunia), 511 jenis reptilia (7,3 % dari jenis reptilia dunia),
1.531 jenis burung (17 % jenis burung dunia), 270 jenis amphibi, 2.827 jenis
binatang tak bertulang, dan 38.000 jenis tumbuhan. Populasi dan distribusi
kekayaan tersebut saat ini mengalami penurunan sebagai akibat pemanfaatan
sumberdaya hutan (SDH) yang kurang bijaksana antara lain: pemanfaatan yang
berlebihan, perubahan peruntukan kawasan hutan (legal dan ilegal), bencana
alam, dan kebakaran hutan. Sebagai contoh kebakaran hutan yang terjadi pada
tahun 1997/1998 tercatat seluas 5,2 juta ha. Meskipun wilayah darat Indonesia
hanya 1,3% dari seluruh wilayah darat dunia, di dalamnya terkandung 12% dari
spesies mamalia, 16% dari spesies reptil dan spesies amfibi, dan 17% dari
spesies burung. (Auhara, 2013)
Diagram
1 populasi satwa langka
Tahun 2002 tercatat luas kawasan hutan yang
terdegradasi seluas 59,7 juta ha, sedangkan lahan kritis di dalam dan di luar
kawasan hutan tercatat seluas 42,1 juta ha. Sebagian dari lahan tersebut berada
pada daerah aliran sungai (DAS) yang diprioritaskan untuk direhabilitasi.
Sampai dengan tahun 2004, pemerintah telah memprioritaskan 458 DAS, diantaranya
282 merupakan prioritas I dan II. Pemerintah telah menetapkan perlindungan
terhadap 57 jenis tumbuhan dan 236 jenis satwa yang terancam punah dengan
Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa.
Dari sudut sumber daya hutan sampai dengan akhir
tahun 2004 pemerintah telah mengakui (klaim) hutan negara seluas 120,35 juta
ha. Tetapi dari luasan tersebut Menteri Kehutanan baru menunjuk seluas 109,9
juta ha. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan konservasi seluas 23,24 juta
ha, hutan lindung seluas 29,1 juta ha, hutan produksi terbatas seluas 16,21
juta ha, hutan produksi seluas 27,74 juta ha, dan hutan produksi yang dapat
dikonversi seluas 13,67 juta ha.
2.2.2 Alih Fungsi Hutan
Alih fungsi lahan hutan adalah perubahan
fungsi pokok hutan menjadi kawasan non hutan seperti, pemukiman, areal
pertanian dan perkebunan. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu
sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih-fungsikan menjadi
lahan usaha lain (Widianto et al, 2003).
Departemen Pertanian menganggap tanaman perkebunan
sebagai salah satu cara untuk mendapatkan devisa dan juga sebagai pendorong
pembangunan. Pada pemerintahan orde baru tanaman perkebunan menjadi prioritas
utama dalam pembangunan ekonomi nasional melalui program PIR (perkebunan inti
rakyat) bersamaan dengan program transmigrasi. Tanaman perkebunan berkembang
dari 597.362 ha pada tahun 1985 menjadi 5,6 juta ha pada tahun 2005 (Murniati
et al, 2008).
Departemen Kehutanan semakin banyak
mengeluarkan izin alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan seluas 6,7 juta ha
sampai dengan tahun 1997. Pengalihan fungsi hutan untuk penggunaan lain sudah
terbukti sebagai ancaman terhadap keberadaan wilayah hutan. Kebakaran hutan
sering terjadi sejak praktek pembakaran hutan digunakan untuk membuka lahan
perkebunan (Murniati et al, 2008).
Faktor ekonomi dan pesatnya pertumbuhan penduduk Indonesia menjadi faktor
yang mendorong perubahan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian atau lahan
perkebunan. Jumlah penduduk Indonesia tahun 1977 sekitar 135.000.000 jiwa dan
tahun 2010 meningkat pesat hingga menjadi berjumlah 237.556.363 jiwa (BPS
Pusat, 2010). Selanjutnya salah satu contoh yang dapat dikatakan mewakili
rata-rata jumlah penduduk kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah (35 Kabupaten
/Kota) adalah Kabupaten Karanganyar dengan perkembang-an penduduk pada tahun
2004 berjumlah 830.640 jiwa dan tahun 2008 berjumlah 865.580 jiwa (BPS
Kabupaten Karanganyar, 2009). Dari sini dapat diartikan jika
setiap tahunnya lahan hutan Indonesia berkurang akibat ledakan pertambahan
penduduk yang tinggi.
2.2.3 Dampak Alih Fungsi Hutan Terhadap Populasi Gajah Sumatera
Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan
perkebunan menimbulkan beberapa kerugian baik pada populasi gajah maupun
manusia diantaranya :
1. Hilangnya Habitat Asli Gajah
Ancaman utama bagi gajah sumatera
adalah hilangnya habitat mereka akibat aktivitas penebangan hutan yang
berkelanjutan dan disusul akibat perburuan dan perdagangan liar. Penyusutan
atau hilangnya habitat satwa besar ini telah memaksa mereka masuk ke kawasan
penduduk sehingga memicu konflik manusia dan gajah, yang sering berakhir dengan
kamatian gajah dan manusia, kerusakan lahan kebun dan tanaman dan harta benda.
Penyempitan habitat alami gajah
akibat konversi hutan untuk berbagai kepentingan dan tingginya gangguan habitat
akibat aktivitas manusia seperti penebangan kayu dan pembakaran lahan akan
berakibat pada perubahan kemampuan lahan dalam menampung jumlah gajah sumatera
dalam habitat yang terdiri dari faktor biologis dan faktor fisik.
Kenyataannya peningkatan aktivitas
manusia, misalnya pembukaan lahan untuk transmigrasi, perluasan areal
perkebunan, persawahan, pertambangan, maupun kegiatan pembangunan lainnya berakibat
mengubah fungsi hutan yang semula merupakan habitat gajah menjadi areal kegiatan pembangunan. Kejadian ini
tidak menguntungkan bagi populasi gajah dan akan sangat berpengaruh terhadap
pertambahan ukuran populasi dan kelangsungan hidupnya di masa mendatang
(Dasman, 1981).
Menurut Primack et al.(1998) ancaman utama
pada keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh kegiatan manusia adalah
perusakan habitat, fragmentasi habitat, dan gangguan pada habitat. Beberapa
faktor yang mengancam populasi gajah, baik secara langsung maupun tidak
langsung seperti pembunuhan dan perburuan liar, fragmentasi dan kehilangan
habitat gajah, kelemahan institusi dan instabilitas politik (WWF, 2005).
2.
Populasi Gajah Sumatera Terancam Punah
Gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus) merupakan salah satu satwa yang terancam
kelestariannya. Wilayah penyebaran gajah sumatera meliputi Provinsi Aceh,
Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung (Altevogt
dan Kurt, dalam Tarmizi, 2008). Estimasi populasi gajah sumatera di
Riau menurun sebesar 84% hingga tersisa sekitar 210 ekor saja di tahun 2007.
Populasi gajah sumatera
dari tahun ke tahun semakin menurun. Dari hasil penelitian Haryanto dan Blouch
(1984) diketahui bahwa di Sumatera terdapat 44 kelompok populasi gajah dengan
total individu diperkirakan sebanyak 2.800-4.800 ekor. Populasi gajah sumatera
diperkirakan telah mengalami penurunan sekitar 35 % dari tahun 1992, dan nilai
ini merupakan penurunan yang sangat besar dalam waktu yang relatif pendek (Soehartono
et al. 2007). Laporan Departemen Kehutanan tahun 2007 menyebutkan 65 %
populasi gajah sumatera lenyap akibat dibunuh manusia. Sekitar 30 % pembunuhan
dilakukan dengan racun. Hasil survey ini tidak pernah diperbaharui secara
sistematis kecuali di provinsi Lampung yang dilakukan oleh Wildlife
Conservation Society (WCS) pada tahun 2000 (Hedges et al. 2005).
Hasil penelitian yang komprehensif di provinsi ini menunjukkan bahwa provinsi
Lampung telah kehilangan 9 (sembilan) kantong populasi gajah dari 12 (dua
belas) kantong yang ditemukan pada tahun 1980 (Hedges et al. 2005).
Dalam pertemuan Lokakarya Gajah dan
Harimau pada bulan Agustus 2007, para pemerhati gajah di Indonesia menyadari
bahwa informasi akurat untuk mengukur jumlah populasi gajah di Sumatera dan
Kalimantan sangat sukar diperoleh. Oleh karenanya dilakukan estimasi sementara
jumlah populasi gajah sumatera berkisar antara 2400-2800 individu dan jumlah
populasi gajah kalimantan berkisar antara 60-100 individu (Dirjen PHKA, 2007).
Apabila diasumsikan perkiraan ini
memiliki tingkat keakuratan yang sama dengan perkiraan yang pernah dilakukan
pada tahun 1990-an maka populasi gajah sumatera telah mengalami penurunan
sekitar 35% dari tahun 1992, dan nilai ini merupakan penurunan yang sangat
besar dalam waktu yang relatif pendek. Data populasi dan distribusi yang kurang
akurat dan sudah terlalu lama akan menyulitkan banyak pihak khususnya para
petugas lapangan pengelola Taman Nasional dan juga para pemegang keputusan
dalam menentukan dan mengalokasikan kawasan-kawasan yang diperlukan untuk
prioritas konservasi gajah dan pembangunan nasional di kedua pulau tersebut
(Dirjen PHKA, 2007).
3.
Menimbulakan Konflik Manusia Gajah (KMG)
Secara alamiah gajah membutuhkan areal yang luas untuk mencari makan dan
memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila habitat alamiah gajah cukup luas, migrasi
atau perpindahan gajah baik harian maupun musiman tidak akan membawa keluar
jalur atau memasuki areal budidaya milik masyarakat atau pemukiman. Dalam
kondisi habitat yang rusak, gajah melakukan aktivitas untuk mendapatkan makanan
dan cover dengan mencari hutan lain yang lebih baik dan lebih luas. Tetapi
apabila hutan terus dibuka maka ketersediaan makanan gajah menjadi terbatas,
sehingga gajah akan mencari makanan alternatif yang terdapat pada areal
perkebunan, areal budidaya pertanian dan perladangan penduduk serta daerah
pemukiman yang memicu banyak konflik antara manusia dan gajah (Alikodra, 1997).
Konflik manusia dan gajah (KMG)
merupakan ancaman yang serius bagi konservasi gajah sumatera. Akibat konflik
dengan manusia, gajah mati diracun, ditangkap dan dipindahkan ke Pusat Konservasi
Gajah (PKG) yang mengakibatkan terjadinya kepunahan lokal (seperti di provinsi
Riau). Di sisi lain, KMG juga mengakibatkan kerugian bagi manusia seperti
kerusakan tanaman, terbunuhnya manusia dan kerusakan harta benda. Dari ketiga
jenis KMG tersebut yang paling sering terjadi adalah kerusakan tanaman (crop
raiding) oleh gajah.
Secara garis besar kerusakan tanaman yang
ditimbulkan oleh gajah dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu kerusakan
tanaman yang terjadi akibat gajah kebetulan menemukan lahan pertanian yang
berada di dalam atau berdekatan dengan daerah jelajahnya (opportunistic
raiding) dan kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh gajah yang keluar
dari habitatnya akibat kerusakan habitat, fragmentasi habitat ataupun degradasi
habitat yang parah (obligate raiding).
Kerusakan tanaman oleh gajah juga diduga oleh
tingginya tingkat kesukaan (palatability) gajah terhadap jenis tanaman
yang ditanam oleh petani (Sukumar 2003). Beberapa jenis tanaman yang sering
mengalami gangguan gajah adalah padi, jagung, pisang, singkong, dan kelapa
sawit (Sitompul 2004; Fadhli 2004). Nilai kerusakan ekonomi yang ditimbulkan
oleh gajah terlihat bervariasi di setiap daerah. Hasil penelitian WCS di
Lampung pada tahun 2000 menunjukkan bahwa nilai kerugian ekonomi yang
ditimbulkan oleh gajah sangat tidak signifikan (< 10% dari hasil panen per
desa), namun kerugian ini sangat signifikan apabila harus ditanggung per
individu petani (Sitompul 2004).
2.3 Solusi Permasalahan
Melindungi
kawasan hutan yang tersisa merupakan hal yang penting agar kelangsungan hidup
populasi gajah sumatera dapat terus berlanjut. Koridor-koridor satwa liar dalam
kawasan hutan harus dipertahankan, atau diciptakan kembali, sehingga dapat
menyediakan wilayah yang aman bagi gajah untuk memperoleh sumber-sumber makanan
baru dan berkembang biak (WWF, 2008).
Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan,
mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung,
produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap
terjaga. Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan
reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, dan penerapan teknik
konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak
produktif. Sedangkan reklamasi hutan meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan
kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal
sesuai dengan peruntukannya.
Menurut
Wahyuni (2014), dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan
masyarakat, pada dasarnya kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap
memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan
mengubah suatu kawasan hutan yang memiliki fungsi perlindungan. Dalam pemanfaatan
kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi,
lindung dan produksi. Kesesuaian ketiga fungsi tersebut sangat dinamis dan yang
paling penting yaitu agar dalam pemanfaatannya
harus tetap sinergi. Sementara itu Maladi
(2013) berpendapat bahwa, meski secara normatif, konversi atau perubahan
kawasan hutan dimaksud tidak dilarang oleh undang-undang, namun untuk menjaga
kualitas lingkungan, sejauh mungkin dihindari terjadinya konversi/perubahan
terhadap hutan alam yang masih produktif, guna menghindari ketimpangan agraria
seperti kerusakan kawasan hutan dan konflik sosial.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut
dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut.
1. Alih
fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan mengakibatkan hilangnya
habitat asli gajah, populasi gajah sumatera berkurang dan
terancam punah, dan menimbulakan konflik manusia gajah (KMG).
2. Solusi
untuk menjaga populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dari kepunahan
dengan melindungi kawasan hutan, rehabilitasi hutan
meliputi kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman dan memperketat
undang-undang perlindungan satwa liar.
3.2 Saran
Berdasarkan simpulan di
atas, ada sejumlah saran yang perlu disampaikan, yaitu perlu
diadakan penelitaian terbaru untuk mengetahui kelimpahan populasi gajah
sumatera (Elephas maximus sumatranus).
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah,
D.N. Choesin Dan A.Sjarmidi. 2005. Estimasi
Daya Dukung Pakan Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus Temmick) Di
Kawasan Hutan Tessonilo. Bandung. Prov Riau. Jurnal Ekologi Dan Biodiversitas. Vol.4 No.2:37-41
Abdullah, dkk. 2012. Karakteristik Habitat Gajah Sumatera (Elephas
Maximus Sumatranus) Di Kawasan Ekosistem Seulawah Kabupaten Aceh Besar.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Biologi, Biologi Edukasi Vol.4. No.1: 41-45
Alikodra,
Hadi S. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar Dalam Rangka Mempertahankan
Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor. IPB Press
Auhara,
Lisa. 2013. Dampak Illegal Logging Terhadap
Perlindungan Hukum Satwa Yang Dilindungi. Lex Administratum.
Vol.I.No.1.
Dasman, R.F. 1981. Wildlife Biology. New York. John Wiley
And Sons.Inc.
Departemen
Kehutanan. 2007. Strategi Dan Rencana Aksi Konservasi Gajah sumatera Dan
Gajah kalimantan 2007-2017.
Hedges,
Simon. 2005. Distribution, Status, And
Conservation Needs Of Asian Elephants (Elephas Maximus) In Lampung
Province,Sumatra, Indonesia. Journal
Biological Conservation.124 : 35–48
Mahanani, Agnes
Indra. 2012. Strategi Konservasi Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus Temminck)
Di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Provinsi Sumatera Selatan Berdasarkan Daya
Dukung Habitat. Tesis. Semarang. Universitas
Diponegoro
Murniati,
Nawir, Rumboko. 2008. Rehabilitasi Hutan Indonesia. Bogor. Cifor.
Oksana,
dkk. 2012. Pengaruh Alih Fungsi Lahan
Hutan Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Sifat Kimia Tanah. Jurnal Agroteknologi. Vol.3. No.1: 29-34
Primack, J., dkk. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta. Yayasan
Obor Indonesia.
Sukumar,
R. 2003. The Living Elephants
Evolutionary Ecology, Behavior, And Conservation. New York. Oxford
University Press.
WWF-Indonesia.
2008. Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus). Savesumatera.org. Diakses 25 Mei 2015.
0 Komentar