JUAL BELI ORGAN TUBUH MANUSIA
MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas tengah semester mata kuliah
Study Fiqh
yang dibina oleh Bapak M. Mukhlis Fahruddin, M.Si
Oleh:
Juliana Afni
Sitorus
12620063
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
FAKULTAS SAINTEK
JURUSAN BIOLOGI
Oktober 2014
Puji
syukur kami panjatkankan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan lahir
dan batin pada kami untuk dapat menyelesaikan makalah study fiqh dengan judul Jual
Beli Organ Tubuh Manusia Menurut Perspektif Islam. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada baginda besar Rasulullah SAW yang telah
menuntuk kami dari jalan kadzaliman menuju jalan kebenaran yakni agama Islam
sehingga kami dapat marasakan ni’mat-Nya iman dan Islam.
Merupakan
suatu kebanggaan bagi kami, karena dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
yang tentunya tidak lepas dari dukungan, semangat dan segenap bantuan dari
berbagai pihak, khususnya bapak M. Mukhlis Fakhruddin, M.S.I selaku dosen
pengampuh mata kuliah study fiqh. Semoga dengan segala bantuan yang telah
diberikan kepada kami menjadikan amal sholeh dan diberikan balasan yang
setimpal oleh Allah SWT.
Kami
menyadari sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
karena keterbatasan ilmu dan pengalaman kami ibarat pepatah yang mengatakan
“tiada gading yang tak retak”, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati,
saran dan kritik yang bersifat konstruktif senantiasa kami harapkan untuk
memperbaiki makalah ini.
Malang,
15 Oktober 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Pada bab ini
dibahas mengenai (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, dan (3) tujuan
penelitian yang dipaparkan sebagai berikut.
1.1 Latar Belakang
Allah
berfirman dalam surah an-Nisaa’ ayat 29:
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta kamu di antara kamu
dengan jalan yang bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang berdasarkan
kerelaan di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya
Allah Maha Penyayang Kepadamu”.
Seiring berkembangnya teknologi dan
kemajuan zaman, dunia kesehatan juga mulai mengalami banyak kemajuan terutama
untuk beberapa penyakit yang telah ditemukan metode baru dalam pengobatannya.
Misalnya dengan ditemukan metode pengobatan baru dengan cara pengcangkokan
organ tubuh (transplantasi) untuk beberapa organ tubuh misalnya ginjal, hati,
paru-paru, dan tulang.
Tingginya angka keberhasilan dari
transplantasi maka menyebabkan semakin banyak permintaan akan organ tubuh untuk
tujuan transplantasi maka keterbatasan donor yang tersedia menjadi salah satu
permasalahan dan hal tersebut semakin membuka kemungkinan untuk terjadinya
perdagangan organ tubuh secara ilegal. Praktek perdagangan organ tubuh ini
menjadi suatu prospek yang menguntungkan dan menjanjikan mengingat keuntungan
yang bisa didapat dari suatu organ yang diperjualbelikan. Ditengah himpitan
ekonomi yang dirasakan masyarakat belakangan ini, maka perdagangan organ tubuh
menjadi lahan empuk untuk mencari penghasilan dan keuntungan.
Melalui media online banyak terdapat
kasus penawaran penjualan organ tubuh secara terang-terangan, misalnya seperti
yang dimuat dalam media Merdeka.com hari Jum’at 27 September 2013, seorang bapak
tiga anak menjual ginjalnya dikarenakan terimpit hutang. Agus Roni berniat
“mendonorkan” ginjalnya demi mendapatkan uang guna membayar hutang-hutangnya
yang telah menumpuk.[1] Media
online banyak memuat berita mengenai perdagangan organ tubuh akan tetapi hal
ini seperti menjadi pemandangan yang biasa. Parahnya lagi tidak ada satupun
kasus mengenai jual beli organ tubuh ini sampai pada pengadilan padahal telah
dilakukan dengan terang-terangan. Ditambah lagi saat ini semakin banyak modus
untuk melakukan perdagangan organ tubuh antara lain kasus pembunuhan dimana
sebelum dibunuh seluruh organ tubuh korbannya telah diambil terlebih dahulu
untuk dijual.
Islam adalah agama yang sempurna,
datang dengan mengatur hubungan antara Sang Khaliq (Allah SWT) dan makhluk,
dalam ibadah untuk membersihkan jiwa dan mensucikan hati. Dan (Islam) datang
dengan mengatur hubungan di antara sesama makhluk, sebagian mereka bersama
sebagian yang lain, seperti jual beli, nikah, warisan, had dan yang
lainnya agar manusia hidup bersaudara di dalam rasa damai, adil dan kasih
sayang.
Salah satu praktek yang merupakan
hasil interaksi sesama manusia adalah jual beli yang dengannya mereka mampu
mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun mengatur permasalahan ini
dengan rinci dan seksama sehingga ketika mengadakan transaksi jual beli,
manusia mampu berinteraksi dalam koridor syariat dan terhindar dari
tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia. Berdasarkan uraian latar belakang di
atas, ditulislah makalah dengan judul Jual Beli Organ Tubuh Manusia Dalam
Perspektif Islam.
Rumusan masalah dalam makalah ini dipaparkan sebagai berikut.
1.
Bagaimana
Islam mengatur tentang jual beli?
2.
Bagaimana
kategori benda yang dapat dijadikan obyek jual beli dalam perspektif Islam?
3.
Bagaimanakah
jual beli organ tubuh manusia menurut perspektif Islam?
1.3
Tujuan
Tujuan dari pemaparan makalah
adalah sebagai berikut.
1.
Untuk
memaparkan cara Islam mengatur tentang jual beli
2.
Untuk
memaparkan kategori benda yang dapat dijadikan obyek jual beli dalam perspektif
Islam
3.
Untuk
memaparkan hukum jual beli organ tubuh manusia menurut perspektif Islam
Pembahasan masalah akan menyajikan
tentang (1) jual beli dalam Islam, (2) kategori objek dalam jual beli dalam
perspektif Islam, dan (3) jual beli organ tubuh manusia menurut perspektif
Islam yang dipaparkan sebagai berikut.
Secara etimologi, al-bay’u (jual beli) berarti mengambil dan
memberikan sesuatu, dan merupakan derivat (turunan) dari (depa) karena orang
Arab terbiasa mengulurkan depa mereka ketika mengadakan akad jual beli untuk
saling menepukkan tangan sebagai tanda bahwa akad telah terlaksana atau ketika
mereka saling menukar barang dan uang. Adapun secara terminologi, jual beli
adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan,
dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan (Taudhihul
Ahkam, 4/211).
Menurut Suhendi (2002), jual beli
adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai
secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan
pihak lain yang menerimaya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah
dibenarkan Syara’ dan disepakati. Yang dimaksud sesuai dengan ketetapan hukum ialah memenuhi
persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lainnya yang ada kaitannya
dengan jual beli, maka bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti
tidak sesuai dengan kehendak Syara’.
Yang dimaksud
dengan benda dapat mencakup pada pengertian barang dan uang, sedangkan sifat
benda tersebut harus dapat dinilai, yakni benda-benda yang dapat berharga dan
dapat dibenarkan penggunaannya menurut syara’, benda itu adakalanya bergerak
(dipindahkan) dan adakalanya tetap (tidak dapat dipindahkan), yang dapat
dibagi-bagi, adakalanya tidak dapat dibagi-bagi, harta yang ada perumpamaannya
(mitsli) dan tak ada yang menyerupainya (qimi) dan yang
lain-lainnya, penggunaan harta tersebut diperbolehkan sepanjang tidak dilarang
syara’.
Di dalam Fiqhus Sunnah
(3/46), disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi tukar menukar harta yang
dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang
lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.
Adapun hikmah disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan keinginan
seseorang yang terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan adanya jual beli dia
mampu untuk memperoleh sesuatu yang
diinginkannya, karena pada umumnya kebutuhan seseorang sangat terkait dengan
sesuatu yang dimiliki saudaranya (Subulus Salam, 4/47).
Seseorang yang menggeluti praktek
jual beli wajib memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat
melaksanakannya sesuai dengan batasan batasan syari’at dan tidak terjerumus ke
dalam tindakan-tindakan yang diharamkan. Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad
(ijab kabul), orag-orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan ma’kud
alaih (objek akad). Syarat jual beli ada yang berkaitan dengan pihak
penjual dan pembeli, dan ada kaitan dengan objek yang diperjualbelikan[2].
1.
Yang
berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, kedua belah pihak melakukan jual beli
dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan.
2.
Yang
berkaitan dengan objek jual belinya, yakni sebagai berikut[3].
(1) Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang)
merupakan barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang
haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk
diperjualbelikan. Di antara bangkai tidak ada yang dikecualikan selain ikan dan
belalang. Dari jenis darah juga tidak ada yang dikecualikan selain hati (lever)
dan limpa, karena ada dalil yang mengindikasikan demikian.
(2) Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa
menjual barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
“Janganlah
engkau menjual barang yang bukan milikmu” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An
Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh
Salim bin ‘Ied AlHilaly).
(3) Bahwa yang dijual sudah diketahui bagi kedua belah pihak yang
melakukan transaksi dengan melihat atau dengan sifat. Mengetahui objek yang
diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar tidak terkena faktor
"ketidaktahuan" yang bisa termasuk "menjual kucing dalam
karung", karena itu dilarang.
(4) Bahwa
harganya sudah diketahui.
(5) Bahwa yang dijual itu sesuatu yang bisa diserahkan, maka tidak
boleh menjual ikan yang ada di laut, atau burung yang ada di udara, dan semisal
keduanya, karena adanya unsur penipuan. Dan syarat-syarat ini untuk menampik
kedzaliman, penipuan, dan riba dari kedua belah pihak.
(6) Tidak memberikan batasan waktu. Tidak sah menjual barang untuk
jangka masa tertentu yang diketahui atau tidak diketahui. Seperti orang yang
menjual rumahnya kepada orang lain dengan syarat apabila sudah dibayar, maka
jual beli itu dibatalkan. Itu disebut dengan "jual beli pelunasan".
(7) Diketahui (dilihat), barang yang diperjualbelikan harus dapat
diketahui banyaknya, beratnya, takarannya, atau ukuran-ukuran yang lainnya,
maka tidaklah sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak.
Pada dasarnya hukum asal setiap jual beli adalah halal,
maka hal yang semestinya dikenali ialah hal-hal yang menjadikan suatu jual beli
diharamkan dalam Islam. Imam Ibnu Rusyud Al Maliky berkata: "Bila engkau
meneliti berbagai sebab yang karenanya suatu perniagaan dilarang dalam
syari'at, dan sebab-sebab itu berlaku pada seluruh jenis perniagaan, niscaya
engkau dapatkan sebab-sebab itu terangkaum dalam empat hal.[4]
1.
Barang
yang menjadi obyek perniagaan adalah barang yang diharamkan.
2.
Adanya
unsur riba.
3.
Adanya ketidak jelasan (gharar).
4.
Adanya
persyaratan yang memancing timbulnya dua hal di atas (riba dan gharar).
Inilah hal-hal paling utama yang menjadikan suatu perniagaan
terlarang".[5]
Faktor-faktor lain
yang menjadikan suatu perniagaan dilarang, akan tetapi faktor-faktor tersebut
merupakan faktor luar.
(1)
Waktu,
dilarang bagi seorang muslim untuk mengadakan akap perniagaan setelah muazzin mengumandangkan
adzan kedua pada hari jum'at. Hal ini sesuai dengan surah Al Jum'ah ayat 9.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُون
“Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[a]. yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
(2) Penipuan, telah diketahui bersama bahwa penipuan diharamkan
Allah, dalam segala hal. Dan bila penipuan terjadi pada akad perniagaan, maka
tindakan ini menjadikan perniagan tersebut diharamkan.
(3) Merugikan orang lain, diantara bentuk-bentuk perniagaan yang
merugikan orang lain ialah menimbun barang dagangan, melangkahi penawaran atau
penjualan sesama muslim, dan percaloan.
Ada
beberapa pengertian mengenai harta dalam pendangan ahli fiqh diantaranya: Harta
(mal) adalah sesuatu yang manusia cenderung kepadanya dan mungkin
disimpan untuk waktu keperluan. Pendapat lain mengatakan bahwa harta ialah
segala benda yang berharga yang bersifat materi yang beredar antara
manusia. Dalam pandangan para fuqaha,
harta (mal) bersendi pada dua asas dan unsur, yaitu: ainiyah dan urf.
1. Ainiyah
ialah harta itu merupakan benda, ada wujudnya dalam kenyataan. Ain ialah
sesuatu yang berbentuk benda, seperti: rumah, kuda, dan sebagainya. Ain terbagi
dua, yaitu :
(1) Ain
dzat qimatin adalah sesuatu yang berbentuk benda yang dapat menjadi harta,
(dapat dipandang sebagai harta). Dilihat dari kemanfaatannya, ain dzat
qimatin ada dua yaitu mal mutaqawwim yaitu yang dibolehkan kita
memanfaatinya atau dapat pula diartikan yang mempunyai nilai. Dan mal ghairu
mutaqawwim yaitu yang tidak boleh kita memanfaatinya, contohnya adalah
anak, darah, bangkai, binatang yang tidak disembelih menurut cara-cara yang
dibenarkan syara‟.
(2) Ain
ghairu dzat qimatin adalah sesuatu yang berbentuk benda yang tidak dapat
dipandang sebagai harta.
2. Urf
adalah harta itu dipandang harta oleh manusia, baik oleh semua manusia ataupun
sebagian mereka, dapat diberi atau tidak diberi. Maka sesuatu yang tidak
berlaku demikian, tidaklah dipandang harta walaupun benda, seperti manusia yang
merdeka, seperti sepotong roti, secupak tanah dan bangkai. Maka manusia itu
walaupun merupakan suatu benda, suatu tubuh, namun tidak bisa dikatakan sebagai
harta.[6]
Obyek aqad
adalah sesuatu yang dijadikan obyek akad dan dikenakan padanya akibat hukum
yang ditimbulkannya.Tidak semua benda (barang) dapat dijadikan obyek akad.
Sejumlah benda dipandang tidak dapat menjadi obyek akad baik menurut ajaran
agama (syara’) maupun menurut adat.
Fuqaha’
menetapkan empat syarat yang harus terpenuhi pada obyek akad, yaitu sebagai
berikut.
1.
Berbentuk
2. Obyek
akad harus mal mutaqawwim
3. Dapat
diserahkanterimakan ketika akad berlangsung
4. Obyek
akad harus jelas dan dikenali oleh pihak Aqid
Jual beli organ tubuh manusia dalam
perspektif Islam hukumnya haram dan dilarang dengan alasan sebagai berikut.
1.
Seperti
telah dijelaskan di atas, bahwa jual beli adalah menukar harta dengan harta
menurut cara-cara tertentu dengan aqad,
sehingga obyek perjanjian jual beli harus merupakan harta yaitu mal
mutaqawwim. Jadi, sesuatu yang tidak dipandang harta tidak sah untuk
diperjualbelikan. Dengan demikian, apabila dihubungkan dengan organ tubuh
manusia, penulis berpendapat, oleh karena organ tubuh manusia merupakan sesuatu
yang berbentuk benda tetapi tidak dipandang harta, maka organ tubuh manusia
tidak memenuhi syarat untuk menjadi obyek aqad, sehingga ia tidak dapat
menjadi obyek dalam perjanjian jual beli.
2.
Dilarangnya
jual beli organ tubuh manusia karena firman Allah dalam alQur’an surah
al-Baqarah ayat 195:
وَأَنْفِقُوْا
فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
وَأَحْسِنُوْا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْن
“Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan
Allâh. Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam
kebinasaan. Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang
yang berbuat baik”
Ayat tersebut mengingatkan agar
jangan gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, tetapi harus memperhatikan
akibatnya, yang kemungkinan berakibat fatal bagi diri pendonor organ, meskipun
perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur. Umpamanya
seorang yang menyumbangkan ginjalnya atau sebuah matanya kepada oaring lain
yang memerlukannya, karena hubungan keluarga atau teman dan lain-lain.[7]
Orang yang mendonorkan organ
tubuhnya pada waktu ia hidup sehat kepada orang lain, ia akan menhadapi resiko
pada suatu waktu akan mengalami ketidakwajaran, karena Allah menciptakan organ
secara berpasangan mempunyai hikmah. Bila organ si donor tidak berfungsi lagi,
maka ia sukar untuk ditolong kembali. Sama halnya dengan menghilangkan penyakit
dari resipien dengan cara membuat penyakit baru bagi si donor. Hal ini tidak
diperbolehkan karena dalam kaidah fiqh disebutkan: “ Bahaya (kemudharatan) tidak boleh dihilangkan dengan bahaya
(kemudharatan) lainnya.[8]
3.
Salah
satu syarat sah jual beli adalah objek jual beli merupakan hak milik penuh,
seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari
pemilik barang. Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah engkau menjual
barang yang bukan milikmu” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i
VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin
‘Ied AlHilaly).
Hadits tersebut dengan jelas megegaskan
bahwa Rasulullah melarang transkasi jual beli barang atau obyek yang bukan
miliknya sepenuhnya. Apabila seseorang ingin mengorbankan organ tubuhnya kepada
orang lain dengan harapan adanya imbalan dari orang yang memerlukan, disebabkan
karena dihimpit penderitaan hidup atau krisis ekonomi, maka hukumnya haram. Menjual
organ tubuh manusia hukumnya haram, karena tidak boleh memperjualbelikan organ
tubuh manusia, karena seluruh tubuh manusia itu adalah milik Allah (milk
ikhtishash). Manusia hanya berhak mempergunakannya, tetapi tidak boleh
menjualnya, walaupun organ tubuh itu dari orang yang sudah meninggal.[9]
Pada Bab II telah dipaparkan
penjelasan tentang (1) jual beli dalam Islam, (2) kategori objek dalam jual
beli dalam perspektif Islam, dan (3) jual beli organ tubuh manusia menurut
perspektif Islam. Berdasarkan pembahasan tersebut dapat dikemukakan simpulan
sebagai berikut.
(1)
Jual
beli dalam Islam harus memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan. Rukun
jual beli meliputi akad (ijab kabul), orag-orang yang berakad (penjual dan
pembeli), dan ma’kud alaih (obyek akad). Sedangkan syarat jual beli ada
yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku dan ada yang berkaitan dengan objek
jual belinya. Tidak sah suatu transaksi jual beli apabila rukun dan syaratnya
tidak terpenuhi.
(2)
Objek
yang dapat diperjualbelikan harus memenuhi syarat-syarat sah dari objek itu
sendiri dan merupakan milik penjual sepenuhnya. Kategori obyek yang boleh
diperjualbelikan yaitu sesuatu yang dipandang sebagai harta bukan benda.
(3)
Islam
melararang jual beli organ tubuh manusia berdasarkan ayat al-Qur’an
(al-Baqarah: 195), hadits Nabi dan kategori dari obyek yang dapat
diperjualbelikan.
Berdasarkan
simpulan di atas, ada sejumlah saran yang perlu disampaikan, yaitu meneyelesaikan suatu masalah tidak harus menimbulkan masalah
lainnya. Masih banyak solusi yang bisa dijadikan jalan keluar, karena bumi
Allah sangatlah luas. Perlu ada kajian selanjutnya mengenai batasan-batasan
tidak diperbolehkannya jual beli organ tubuh manusia apabila ditinjau dari segi
kedaruratannya.
Al-Qur’anul Karim
Al-Suyuthi. Al-Asybah
wa al-Nazhair.1995. Beirut-Libanon: Dar al-Fikr
Kushendar, Deden. 2010. Ensiklopedia Jual Bei dalam Islam.
(online).
http://www.slideshare.net/ediawaludin3/ensiklopedia-jual-beli-dalam-islam. diakses Senin
20 Oktober 2014.
Muhammad bin Ibrahim. 2012. Ringkasan Fiqh Islam. (online),
http//: Team-Indonesia islamhouse.com. diakses 20 Oktober 2014.
Nata, Abuddin. 2003. Masail Al-Fiqhiyah. Jakarta: Prenada
Media.
Rusyd, Ibnu. Tanpa Tahun. Bidayatul Mujtahid. Beirut:
Daar-Fikr.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Suminar, Sri Ratna.2010. Aspek Hukum Dan Fiqih
Tentang Transaksi Organ Tubuh Untuk Transplantasi Organ Tubuh Manusia. Fakultas
Hukum Unisba. Vol. Xii. No. 1 Maret 2010.
Tanpa
Nama. Tanpa Tahun. Fiqhus Sunnah. (online), http://www.slideshare.net/ediawaludin3/ensiklopedia-jual-beli-dalam-islam. diakses Senin
20 Oktober 2014.
Tanpa
Nama. Tanpa Tahun. Subulus Salam. (online), http://www.slideshare.net/ediawaludin3/ensiklopedia-jual-beli-dalam-islam. diakses Senin
20 Oktober 2014.
Tanpa Nama. Tanpa Tahun. Terimpit Hutang Bapak Tiga Anak Ini Jual
Ginjalnya www.merdeka.com/peristiwa/terimpit-utang-bapak-tiga-anak-ini-jual-ginjalnya.html,
diakses Senin 20 Oktober 2014.
[1]
www.merdeka.com/peristiwa/terimpit-utang-bapak-tiga-anak-ini-jual-ginjalnya.html,
Judul artikel: Terimpit hutang
Bapak Tiga anak ini jual ginjalnya. Diakses Senin 20 Oktober
2014
[2] Hendi Suhendi,
Fiqh Muamalah, hal 70
[3] Muhammad bin
Ibrahim, Ringkasan Fiqh Islam, hal 6
[4] Deden
Kushendar, Ensiklopedia Jual Bei dalam Islam, hal. 39-40
[5] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid, Daar-Fikr hal 2/102.
[6] Hasbi Ash
Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, hal 141
[7] Abuddin Nata.
Masail Al-Fiqhiyah, hal 103
[8] Al-Suyuthi,
Al-Asybah wa al-Nazhair, (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1415 H/ 1995M), hal.62
[9] Abuddin Nata.
Masail Al-Fiqhiyah, hal 103
0 Komentar