KOMPETISI PENELITIAN MAHASISWA
SKRINING
FITOKIMIA PADA EKSTRAK BUAH Carica pubescens Lenne & K. Koch DENGAN
PELARUT BERBEDA
Oleh:
Juliana Afni Sitorus
(12620063)
FAKULTAS SAINS DAN
TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016
Kata kunci: Carica pubescens, skrining fitokimia,
metabolit sekunder
.
Carica pubescens merupakan
tumbuhan yang memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan Carica papaya
yang tumbuh di ketinggian
1.400-2.400 m dpl. C. pubescens bidang kesehatan sebagai antibakteri, aspek lingkungan sebagai pestisida
alami, aspek gizi sebagai antioksidan. Melihat potensi C. pubescens,
maka perlu dilakukan identifikasi kandungan metabolit sekunder melalui skrining
fitokimia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa kimia
buah C. pubescens dengan pelarut berbeda.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
kualitatif. Skrining fitokimia diawali dengan pembuatan ekstrak kemudian uji
reaksi warna untuk identifikasi alkaloid, flavonoid, saponin, tannin,
triterpenoid dan minyak atsiri.
Kandungan fitokimia pada daging buah C. pubescens dengan pelarut
etanol 70% diantaranya polifenol dan tanin, flavonoid, saponin, triterpenoid,
dan alkaloid pada pereaksi Mayer dan dragendoff, negatif pada pereaksi Wagner
dan minyak atsiri. Pada pelarut n-Heksana positif mengandung triterpenoid dan
minyak atsiri.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Penciptaan alam berserta isinya
semata-mata untuk kesejahteraan makhluk-Nya, satu diantara ciptaan-Nya adalah
tumbuhan. Allah SWT berfirman dalam surah as-Syu’araa ayat 7:
öNs9urr& (#÷rtt n<Î) ÇÚöF{$# ö/x. $oY÷Gu;/Rr& $pkÏù `ÏB Èe@ä. 8l÷ry AOÍx. ÇÐÈ
“dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi,
berapakah banyaknya kami tumbuhkan tumbuhan yang baik?”
Surah
as-Syu’araa ayat 7 menjelaskan bahwa penciptaan tumbuh-tumbuhan merupakan
tanda-tanda kebesaran-Nya (ash-Shiddieqy, 2000). Kata “kariim” berarti baik dan mulia. Adapun asal katanya yaitu al karam dalam bahasa Arab adalah al fadhl
(keutamaan). Nabatat al ardhu
dan anbatat mempunyai arti yang sama
yaitu menumbuhkan (Tafsir Al Qurthubi, 2009), sehingga tumbuhan baik pada ayat
tersebut dapat dimaknai bahwa tumbuhan mempunyai keutamaan dan keistimewaan.
Carica pubescens Lenne & K. Koch merupakan satu diantara
tumbuhan baik seperti penjelasan surah as-Syu’araa ayat 7. C. pubescens termasuk
dalam Familia Caricaceae yang memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan Carica papaya (Laily, 2012). C.
pubescens dikatakan sebagai
tumbuhan baik terkait aspek manfaatnya di bidang kesehatan sebagai antibakteri
(Novalina dkk, 2013), aspek
lingkungan sebagai pestisida alami (Supono dkk,
2014), aspek gizi sebagai antioksidan (Fatchurrozak, 2013; Indranila dkk, 2015). Tanaman dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional
apabila tanaman tersebut mengandung senyawa kimia yang mempunyai aktivitas
biologis (zat bioakif).
Studi mengenai
tanaman obat dan potensinya untuk kesehatan dewasa ini banyak dikembangkan,
tidak terkecuali penelitian pada tanaman C.
pubescens. Aktivitas biologis tanaman sebagai obat dikaitkan dengan
kandungan metabolit sekundernya. Menurut Hayati (2010), metabolit sekunder
adalah senyawa hasil biogenesis dari metabolit primer. Umumnya dihasilkan oleh
tumbuhan tingkat tinggi, yang bukan merupakan senyawa penentu kelangsungan
hidup secara langsung, tetapi lebih sebagai hasil mekanisme pertahanan diri
organisme. Kandungan senyawa metabolit sekunder telah terbukti bekerja sebagai
derivate antikanker, antibakteri dan antioksidan, antara lain adalah golongan
alkaloid, tanin, golongan polifenol dan turunanya.
Metode pendekatan
yang dapat memberikan informasi ada tidaknya senyawa metabolit sekunder dalam
tanaman yaitu metode skrining fitokimia (Harborne, 1987). Skrining fitokimia
merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang bertujuan
untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam
tanaman yang sedang diteliti. Metode skrining fitokimia dilakukan dengan
melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna. Hal
penting yang berperan penting dalam skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut
dan metode ekstraksi (Kristianti dkk.,
2008).
Menurut Harborne
(1984) senyawa metabolit sekunder yang umum terdapat pada tanaman adalah :
alkaloid, flavanoid, steroid, saponin, terpenoid dan tannin. Flavonoid
berfungsi untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektifitas vitamin C,
antiinflamasi, mencegah keropos tulang, sebagai antibiotik (Haris, 2011) dan
antioksidan (Fanny, 2014). Alkaloid kebanyakan
bersifat racun, tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan. Alkaloid
mempunyai efek berupa pemicu sistem saraf, menaikkan tekanan darah, mengurangi
rasa sakit, antimikroba, obat penenang, obat penyakit jantung (Simbala, 2009
dalam Aksara, 2013). Saponin, flavanoid, dan
tanin dapat dimanfaatkan sebagai larvasida nabati (Kardinan,
2002 dalam Supono dkk, 2014). Senyawa
alkaloid, polifenol dan flavonoid dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan (Tjay
dan Raharja, 2010). Hasil penelitian Indranila dkk., (2015) menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun C. pubescens mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, dan
fenol yang mempunyai aktivitas antioksidan.
Di Indonesia
tanaman C. pubescens dapat dijumpai di kawasan Bromo dan Cangar Jawa
Timur, serta Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah (Minarno, 2015). C. pubescens
yang tumbuh di dataran tinggi
Dieng telah banyak dilakukan berbeda halnya dengan di kawasan Bromo dan Cangar.
Berdasarkan observasi pendahuluan
peneliti pada tanggal 07 April 2016, C. pubescens secara kuantitas yang
tumbuh di Bromo lebih luas dan seragam dibandingkan dengan di kawasan Cangar.
Skrining fitokimia pada ekstrak buah C.
pubescens dengan pelarut berbeda yang berasal dari kawasan Bromo Jawa Timur
relatif belum pernah dilakukan, sehingga menjadi pertimbangan tempat
pengambilan sampel.
Pemilihan pelarut yang sesuai merupakan
faktor penting dalam proses ekstraksi (Depkes RI, 2008). Macam
pelarut dan tingkat kepolaran pelarut yang dipakai dalam proses ekstraksi dapat mempengaruhi proporsi
senyawa-senyawa kandungan yang tersari (Arista, 2013). Golongan triterpenoid/
steroid merupakan senyawa yang larut dalam pelarut non polar seperti n-heksan,
sedangkan golongan alkaloid termasuk senyawa semi polar yang dapat larut dalam
pelarut semi polar. Sedangkan senyawa flavonoid dan tanin dapat larut dalam
pelarut polar seperti metanol, etanol, etilasetat atau pelarut polar lainnya
(Harbourne, 1984).
Etanol dan air sudah umum digunakan
sebagai pelarut di bidang pangan dan obat-obatan dan cenderung lebih aman serta
ramah lingkungan dibandingkan metanol, etil, dan aseton (Melawaty, 2010). n-Heksana
merupakan salah satu pelarut yang baik untuk mengekstraksi senyawa-senyawa yang
bersifat non-polar karena memiliki beberapa keunggulan, diantaranya karena
pelarut ini bersifat relatif stabil, mudah menguap serta selektif dalam
melarutkan zat (Satria, 2013).
Berdasarkan
pemaparan latar belakang, penelitian Skrining
Fitokimia pada Ekstrak Buah Carica pubescens Lenne & K. Koch dengan Pelarut
Berbeda penting untuk dilakukan.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah
dalam penelitian adalah sebagai berikut.
1.
Bagaimanakah kandungan
fitokimia ekstrak buah C. pubescens dengan
pelarut berbeda?
1.3
Tujuan
Tujuan dalam
penelitian adalah sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui
kandungan fitokimia ekstrak buah C.
pubescens dengan pelarut berbeda
1.4
Manfaat
1.
Hasil penelitian
diharapkan dapat memberikan data mengenai pemanfaatan C. pubescens, sehingga C.
pubescens dikonservasi
2. Hasil
skrining fitokimia ekstrak C. pubescens
dapat dijadikan suatu upaya pengembangan C.
pubescens menjadi satu dari tanaman yang memiliki khasiat sebagai tanaman
obat
3. Sebagai
referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai penelitian C. pubescens yang ada di Indonesia
1.5
Batasan Masalah
Batasan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
- Buah C. pubescens yang digunakan berasal dari kawasan Bromo, Jawa Timur pada ketinggian 1.800 meter dpl
- Buah yang digunakan adalah buah mentah dengan karekateristik kulit buah berwarna hijau dengan tektur keras
- Tahap ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi dengan pelarut polar (etanol 70%) dan non polar (n-heksan)
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1
Tumbuhan dalam Al-Qur’an
Satu tanda
kebesaran Allah SWT yaitu penciptaan tumbuhan beraneka ragam baik yang serupa
dan tidak serupa. Allah berfirman dalam surah Al-Luqman ayat 10 :
t,n=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÎötóÎ/ 7uHxå $pktX÷rts? (
4s+ø9r&ur Îû ÇÚöF{$# zÓźuru br& yÏJs? öNä3Î/ £]t/ur $pkÏù `ÏB Èe@ä. 7p/!#y 4
$uZø9tRr&ur z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB $oY÷Gu;/Rr'sù $pkÏù `ÏB Èe@à2 8l÷ry AOÍx. ÇÊÉÈ
“Dia menciptkan langit tanpa tiang
sebagaimana kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan)
bumi agar ia (bumi) tidak menggoyahkan kamu; dan memperkembangbiakkan segala
jenis makhluk ergerak yang bernyawa di bumi. Dan kami turunkan air hujan dari
langit, lalu kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik”
Surah Luqman ayat
10 menjelaskan tentang beberapa tanda dan bukti kekuasaan Allah yang terdapat
di bumi, satu diantaranya penciptaan tumbuhan. Kata anbatat artinya menumbuhkan sedangkan kata zaujun artinya jenis (Al-Qurthubi, 2009) dan kata kariim artinya mulia dan banyak
manfaatnya (Al-Maragi, 1992). Dengan demikian ayat tersebut dapat ditafsirkan
bahwa Allah menurunkan air dari langit yakni air hujan dan dengan air hujan
tumbuhlah berbagai macam tumbuhan beraneka ragam dengan warna yang indah dan
banyak manfaatnya (Departemen Agama RI, 2010). Tumbuhan memiliki banyak manfaat
dikarenakan kandungan senyawanya yang berkhasiat.
Khasiat tumbuahan
bagi kesehatan dewasa ini banyak dikembangkan. Hal ini dikarenakan pengobatan
dengan tumbuhan relatif lebih aman dibandingkan dengan obat-obat sintesis.
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (2004)
pada zaman Rasulullah SAW terdapat 3 metode pengobatan yang
diajarkan, diantaranya: metode alamiah yaitu menggunakan herbal atau tanaman
obat sebagai pengobatan; pengobatan Ilahiah yaitu pengobatan yang dilakukan
dengan memanjatkan do’a kepada Allah swt agar diberikan kesembuhan;
metode
ilmiah yaitu kombinasi dari kedua jenis pengobatan tersebut. Rasulullah
SAW bersabda yang diriwayatkan Bukhari:
مَا
أنزل الله داءً إلا أنزل له شفاءً
Abu
Hurairah r.a berkata bahwa Rasulullah
bersabda, “setiap penyakit yang
diturunkan Allah pasti Dia turunkan juga obatnya.
Hadits
di atas menjelaskan bahwa syariat Islam telah memotivasi seluruh manusia unruk
berobat dalam rangka menjaga jiwa dan mengingatkan bahwa Allah telah
menciptakan obat bagi setiap penyakit. Islam juga memotivasi umatnya untuk
mencari dan menyingkap usaha-usaha duniawi yang telah dikuasakan oleh Allah
kepada manusia. At-tanzil (penurunan)
penyakit yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah merupakan penurunan alamiah
oleh makhluk (secara alami). Dalil tersebut merupakan petunujuk kepada para
hamba agar berupaya dan berusaha mencari kebaikan bagi kesehatan di dunia
(Fathullah, 2010
).
2.2
Carica pubescens Lenne & K Koch
Carica pubescens Lenne &
K. Koch merupakan satu diantara jenis tumbuh-tumbuhan yang dimaksud surah
Al-Luqman ayat 10. C. pubescens merupakan
buah asli dari Amerika Selatan dan telah terdistribusi secara luas di seluruh
Andean. Spesies ini diperkenalkan di Chili sejak 50 tahun lalu dan disebut juga
sebagai pepaya Chili. Pepaya Chili termasuk famili Caricaceae dengan nama
ilmiah Vasconcellea pubescens (Morales-Quintana,
2011 dalam Uribe, 2015). V.
pubescens
sinonim dari V. cundinamarcensis,
C.
pubescens, awalnya disebut C. candamarcensis (Badillo, 2000; Van Droogenbroeck dkk, 2002).
Di Indonesia
tanaman C. pubescens penyebaranya masih sangat terbatas, karena
membutuhkan kondisi klimatik dan edafik yang sangat khusus untuk memperluas
daerah distribusi tanaman C. pubescens misalnya temperatur yang rendah
dan curah hujan yang tinggi serta kesediaan unsur hara dalam tanah (Sugiyarto,
2012). C. pubescens tumbuh di tempat
dengan ketinggian 1.400-2.400 meter di atas permukaan laut (dpl), sehingga
sering disebut pula pepaya gunung atau karika (Laily dkk., 2012).
2.2.1
Klasifikasi
Klasifikasi C. pubescens menurut Conquist (1981) dalam Undang (1991) adalah
sebagai berikut.
Divisi : Magnoliophyta
Class :
Magnoliopsida
Ordo :
Dilleniidae
Famili : Caricaceae
Genus :
Carica
Spesies : Carica pubescens
Lenne & K. Koch
2.2.2 Nama Daerah
Di indonesia, C. pubescens dikenal dengan
nama pepaya gunung atau pepaya mini (Hidayat, 2000). Di dataran Tinggi Dieng,
tanaman ini dikenal dengan tiga nama yaitu: kates, gandul, dan karika. Dlam
bahasa Jawa, kates dan gandul sama-sama berarti pepaya (C. papaya). Di
Colombia, Bolivia dan Peru disebut mountain paw-paw. Di Santiago, dan
Chile disebut Chilean papaya atau mountain papaya. Di Inggris
disebut mountain papaya, di Perancis disebut chamburu
chamburochiluacan, papaya de tierra fria (Natural Resources Conservation
Service, 2010).
2.2.3 Deskripsi Morfologi
C. pubescens memiliki
hubungan kekerabatan dekat dengan Carica
papaya. Tanaman ini sekilas tampak seperti pepaya akan tetapi memiliki
karakter khusus yaitu pada daun bagian bawah, tangkai daun dan permukaan luar
bunga dipenuhi rambut (Laily, 2012). C.
pubescens merupakan perdu tidak berkayu dengan ketinggian antara 2-5 meter,
mempunyai jumlah cabang yang banyak dengan ukuran semua bagian tanaman lebih
kecil dibandingkan dengan pepaya pada umumnya. Daun C. pubescens merupakan daun tunggal yang berkumpul pada ujung
batang dan ujung cabang (Nurhayati, 2012). Morfologi C. pubescens dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar
2.1
Morfologi Carica pubescen Lenne & K. Koch
(Sumber:
Dokumentasi Pribadi)
Buah C.
pubescens memiliki beberapa perbedaan ciri dibanding dengan pepaya biasa (C.
papaya) yaitu buah berukuran lebih kecil dengan panjang 7-10 cm dengan
diameter 4-9 cm, (Hidayat, 2000). Gambar buah C. pubescens dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.2 Buah C. pubescens Mentah (Kiri), Matang (Kanan)
(Sumber:
Dokumentasi Pribadi)
2.2.4 Kandungan Kimia
Carica pubescens memiliki senyawa kimia yang dapat dimanfaatkan
untuk kehidupan sehari-hari. Simirgiotis (2009) menunjukkan teridentifikasinya
19 senyawa fenol pada buah yang tumbuh di Chili. Buah C. pubescens
mengandung zat antioksidan yang mampu menangkal radikal bebas dan mengandung enzim
pencernaan yang meningkatkan kerja alat pencernaan, absorbansi nutrien. C.
pubescens kaya akan vitamin C, serat, dan enzim papain sebagaimana terdapat
pada C. papaya (Hocman, 2007). Buah ini merupakan sumber kalsium, gula,
vitamin A dan C (Wikipedia, 2011).
C. pubescens banyak
mengandung minyak atsiri yang merupakan turunan asam lemak. Buah C. pubescens
positif mengandung flavanoid, polifenol, tanin, triterpenoid
(Minarno, 2015) dan vitamin C (Fatchurruzak, 2013). Daunnya mengandung senyawa
flavonoid, alkaloid, tanin, dan fenol (Novalina, 2013). Menurut Fitriningrum
(2013), bahwa buah C. pubescens kaya akan mikro nutrien seperti
karbohidrat, protein, lemak, enzim pencernaan, kalsium gula, mengandung banyak
serat gula dan minyak atsiri. Hasil penelitian yang dilakukan Sumaryono (2012),
menunjukkan bahwa buahnya mengandung enzim papain adalah suatu zat (enzim) yang
dapat diperoleh dari getah tanaman C. pubescens. Getah C. pubescens
hampir terdapat di semua bagian tanaman kecuali bagian akar, dan biji.
Kandungan papain paling banyak terdapat dalam buah yang masih muda. Selain itu,
getah C. pubescens cukup banyak mengandung enzim yang bersifat
proteolitik, atau enzim pengurai protein.
2.2.5 Manfaat
Daun C. pubencens dapat menyembuhkan penyakit
akibat cacing kremi, menyembuhkan demam malaria, beri-beri, mengobati sariawan,
sembelit, dan disentri amuba (Hidayat, 2000). Daun C. pubencens juga memiliki khasiat sebagai antibakteri yang dapat
digunakan untuk terapi penyakit diare (Novalina, 2013). Selanjutnya hasil
penelitian Indranila dkk., (2015)
menunjukkan bahwa daun C. pubescens mempunyai aktivitas antioksidan dengan nilai IC50
sebesar 30,8 ppm.
Buah C. pubencens dapat mempercepat pencernaan karbohidrat dan lemak,
menurunkan tekanan darah tinggi, memperlancarkan buang air besar, menyembuhkan
radang sendi, epilepsi dan kencing manis yang muncul karena proses pencernaan
makanan yang tidak sempurna (Hidayat, 2000). Karena kandungan papainnya buah C. pubencens dimanfaatkan di bidang
farmakologi (untuk mengobati arteriosklerosis) dan sebagai pelunak
daging (Sanchez 1994 dalam Moya Leon 2004).
Biji C.
pubencens dapat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit akibat cacing gelang,
mengatasi gangguan pencernaan, menyebabkan abortivum, dan mengobati
penyakit kulit. Pemberian ekstrak biji C.
pubencens juga menyebabkan kematian pada larva nyamuk A. aegypti pada
waktu pemaparan 24 dan 48 jam (Supono dkk,
2014). Getahnya dimanfaatkan sebagai obat luka bakar, jerawat, kutil, dan
eksem. Akarnya dimanfaatkan sebagai obat cacing kremi, obat batu ginjal, obat
sakit kandung kemih, obat encok, dan luka akibat gigitan ular berbisa.
2.2.6 Daerah Penyebaran
Penyebaran C.
pubescens masih sangat terbatas, karena membutuhkan kondisi klimatik dan
edafik yang sangat khusus untuk memperluas daerah distribusi tanaman C.
pubescens misalnya temperatur yang rendah dan curah hujan yang tinggi serta
kesediaan unsur hara dalam tanah (Sugiyarto, 2012). Di
Indonesia, spesies ini dapat dijumpai di kawasan Bromo dan Cangar Jawa Timur,
serta Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah (Minarno, 2015). C.
pubescens diintroduksi ke Indonesia pada masa menjelang Perang Dunia II
oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dan berhasil dikembangkan di pulau
Jawa tepatnya dataran tinggi Dieng Kabupaten Wonosobo. Pengembangan C.
pubescens di dataran tinggi Dieng
terdapat dibeberapa desayaitu desa Sikunang, Siterus Campursari, Patak
Banteng, Kalilembu, Jojogan, Parikesit, dan Igimranak. Tanaman ini merupakan
tanaman yang berasal dari Amerika tepatnya dari dataran tinggi Andes, Amarika
Selatan (Wikipedia, 2011). Natural Resoueces Conservation Service (2010)
juga menyebutkan persebaran C. pubescens meliputi wilayah Panama,
Venezuela, Bolivia, Colombia, Ekuador, dan Peru.
2.3 Skrining
Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan
tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang
sedang diteliti. Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu
penelitian fitokimia yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan
senyawa yang terkandung dalam tanaman yang diteliti. Metode skrining fitokimia
dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu
pereaksi warna. Hal penting yang berperan penting dalam skrining fitokimia
adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi (Kristanti dkk, 2008).
Fitokimia merupakan ilmu
pengetahuan yang menguraikan aspek kimia suatu tanaman. Kajian fitokimia
meliputi uraian yang mencakup aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan
disimpan dalam organisme, yaitu struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan
serta metabolismenya, penyebaran secara alamiah dan fungsi biologisnya, isolasi
dan perbandingan komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis tanaman
(harborne, 1987; Sirait, 2007). Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan
ciri komponen bioaktif suatu ekstrak kasar yang mempunyai efek racun atau efek
farmakologis lain yang bermanfaat apabila diujikan dengan sistem biologi atau
bioassay (Harborne, 1987).
2.4 Metabolit Sekunder
Metabolisme pada makhluk hidup dapat
dibagi menjadi metabolisme primer dan metabolisme sekunder. Metabolisme primer
pada tumbuhan, seperti respirasi dan fotosintesis, merupakan proses yang
esensial bagi kehidupan tumbuhan. tanpa adanya metabolisme primer, metabolisme
sekunder merupakan proses yang tidak esensial bagi kehidupan organisme. Tidak
adanya atau hilangnya metabolit sekunder tidal menyebabkan kematian secara
langsung, akan tetapi dapat menyebabkan berkurangnya ketahanan hidup tumbuhan
secara tidak langsung (misalnya dari serangan herbivordan hama), ketahanan
terhadap penyakit, estetika, atau bahakan tidak memberikan efek sama sekali
bagi tumbuhan tersebut (Anggarwulan dan Solichatun, 2001).
Pada fase pertumbuhan, tumbuhan
utamanya memproduksi metabolit primer, sedangkan metabolit sekunder belum tentu
atau sedikit diproduksi. Sedangkan metabolit sekunder terjadi terjadi saat sel
yang lebih terspesilisasi (fase stasioner) (Najib, 2006). Metabolit sekunder
yang terdapat pada bahan alam merupakan hasil metabolit primer yang mengalami
reaksi yang spesifik sehingga mengahasilakan senyawa-senyawa tertentu
(Khatimah, 2016).
Metabolit sekunder merupkan produk
metabolisme yang khas pada suatu tanaman olh suatu organ tapi tidak
dimanfaatkan secara langsung sebagai sumber energi bagi tanaman tersebut ( taiz
dan Zeiger, 1998 dalam Khatimah, 2016). Metabolit sekunder tanaman dihasilkan
melalui reaksi metabolisme sekunder dari bahan organik primer (karbohidrat,
protein dan lemak) (Anggarwulan dan Solichatun, 2001). Metabolit sekunder
merupakan senyawa yang disintesis tanaman dan digolongkan menjadi lima yaitu
glikosida, terpenoid, fenol, flavonoid dan alkaloid (Vickery dan Vickery,
1981).
Metabolit sekunder disebut juga
dengan fitoaleksin. Fitoaleksin didefinisikan sebagai senyawa kimia yang
mempunyai berat molekul rendah dan memiliki sifat antimokroba atau antiparasit.
Senyawa ini diproduksi oleh tanaman pada waktu mengalami infeksi atau cekaman (stress)
lingkungan. Fitoaleksin merupakan senyawa kimia yang berasal dan derivat
flavonoid dan isoflavon, turunan sederhana dari fenilpropanoid, dan dari
sesquiterpens. Fitoaleksin berasal dari biosintesis metabolit primer yaitu
seperti 6-methoxymellein dan sesquiterpens serta derivat dari sam melonat dan
jalur biosintesa deoksiselulosa difosfat. Biosintesis fitoaleksin menggunakan
prekursor yang berasal dari jalur metabolit sekunder (Hammerschimidtt, 1999
dalam Khatimah, 2016). Bagan hubungan biosintesis metabolit primer menjadi
metabolit sekunder dapat dilihat pada gambar 22.
Gambar 2.3 Bagan Hubungan Biosintesis
Metabolit Primer menjadi Metabolit Sekunder (Sastrohamidjojo, 1996 dalam
Khatimah, 2016)
Metabolit primer (polisakarida,
protein, lemak dan asam nukleat) merupakan penyusun utama makhluk hidup,
sedangkan metabolit sekunder meski tidak sangat penting bagi eksistensi suatu
makhluk hidup tetapi sering berperan menghadapi spesies-spesies lain, misalnya
zat kimia untuk pertahanan, penarik seks, feromon (Manitto, 1981) untuk
bertahan terhadap predator, kompetitor dan untuk mendukung proses reproduksi (Herbert, 1996). Menurut
Harborne (1984) senyawa metabolit sekunder yang umum terdapat pada tanaman
adalah: alkaloida, flavanoid, steroid, saponin, terpenoid dan tannin.
2.4.1. Alkaloida
Alkaloid berasal dari dua suku
kata yaitu “alkali” yang berarti basa dan “oid” yang berarti mirip sehingga
pengertian alkaloida adalah senyawa yang mengandung nitrogen bersifat basa dan
mempunyai aktivitas farmakologis. Alkaloid pada umumnya merupakan senyawa
padat, berbentuk kristal atau amorf, tidak berwarna dan rasanya pahit. Dalam
bentuk bebas alkaloida merupakan basa lemah yang sukar larut dalam air tetapi
mudah larut dalam pelarut organik. Untuk identifikasi biasanya dilakukan dengan
menggunakan larutan pereaksi yang dapat membentuk endapan dengan alkaloida,
misalnya pereksi meyer, dragendorff (Rusdi, 1988).
Gambar 2.3 Struktur
Inti Alkaloid
Alkaloid juga merupakan golongan zat
metabolit sekunder yang terbesar, yang pada saat ini telah diketahui sekitar
5500 buah. Alkaloid pada umumnya mempunyai keaktifan fisiologi yang menonjol, sehingga oleh manusia alkaloid
sering dimanfaatkan untuk pengobatan. Struktur dari alkaloid beranekaragam, dari
mulai alkaloid berstruktur sederhana
sampai yang rumit. Salah satu alkaloid yang mempunyai struktur tersederhana
adalah nikotina, tetapi nikotina ini dampak fisiologinya cukup besar (Rustaman,
2006).
Kelompok senyawa alkaloid terdiri dari
alkaloid sesungguhnya, protoalkaloid, dan pseudoalkaloid. Alkaloid sesungguhnya
adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas phisiologi yang luas,
hampir tanpa terkecuali bersifat basa, lazim mengandung nitrogen dalam cincin
heterosiklis, diturunkan dari asam amino, dan biasanya terdapat dalam tanaman
sebagai garam asam organik. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana
dimana dalam nitrogen asam amino tidak terdapat cincin heterosiklis, dan
diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa.
Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino, dan biasanya senyawa
ini bersifat basa (Sastrohamidjojo, 1996).
Flavonoid merupakan salah satu
golongan fenol alam yang terbesar, mengandung 15 atom karbon dalam inti
dasarnya, terutama konfigurasi C6-C3-C6
artinya, kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzen
tersubtitusi) yang dihubungkan oleh alifatis tiga karbon. Flavonioda mencakup
banyak pigmen terdapat pada tumbuhan (Robinson 1995).
Struktur flavonoid dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2.4
Struktur Flavonoid (Sumber: Redha, 2010)
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat
pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid
dalam jaringan tumbuhan mula-mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan
reaksi warna (Harbone 1987). Flavonoid dapat diklasifikasikan menjadi flavon,
flavonol, flavonon, flavononon, isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron,
antosianidin, katekin, dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007).
Flavonoid memberikan konstribusi keindahan
dan kesemarakan pada buah-buahan di alam. Flavon memberikan warna kuning atau
jingga, antosianin memberikan warna merah, ungu atau biru, yaitu semua warna
yang terdapat pada pelangi kecuali warna hijau (Sastrohamidjojo 1996).
Flavonoid pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan tumbuh, pengaturan
fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson,
1995).
Kegunaan flavonoid juga ditemukan dalam
kehidupan manusia. Flavon bekerja sebagai stimulan pada jantung, hesperidin
mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidroksilasi bekerja sebagai
diuretik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait 2007). Flavonoid
dalam tubuh bertindak menghambat enzim lipooksiginase yang berperan dalam
biosintesis prostaglandin. Hal ini disebabkan flavonoida merupakan senyawa
pereduksi yang baik sehingga akan menghambat reaksi oksidasi (Robinson, 1995).
2.4.3. Tanin
Tanin merupakan salah satu jenis
senyawa yang termasuk ke dalam golongan polifenol. Tanin tersebar luas dalam
tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Dalam industri,
tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit
hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung
silang protein. Di dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan enzim
sitoplasma, tetapi bila jaringan rusak, misalnya bila hewan memakannya, maka
reaksi penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar
dicapai oleh cairan pecernaan hewan. Sebagian besar tumbuhan yang banyak
bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat.
2.4.4. Saponin
Saponin merupakan senyawa
glokosida kompleks dengan berat molekul tinggi yang dihasilkan terutama oleh
tanaman. Diberi nama saponin karena sifatnya menyerupai sabun (bahasa Latin “sapo”
berarti sabun). Berdasarkan struktur kimianya, saponin dikelompokkan menjadi
tiga kelas yaitu kelas steroid, kelas steroid alkaloid, dan kelas triterpenoid.
Sifat yang khas dari saponin antara lain berasa pahit dan berbusa dalam air
(Sukadana, 2007).
Gambar 2.5 Struktur
Saponin (Sumber: Robinson, 1995)
Menurut Harborne (1984), saponin
adalah glikosida triterpen dan sterol. Saponin merupakan senyawa aktif
permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan
kemampuannya membentuk busa yang stabil dalam air dan menghomolisis sel darah
merah. Dari segi pemanfaatan, saponin sangat ekonomis sebagai bahan baku
pembuatan hormon steroid, tetapi saponin kadang-kadang dapat menyebabkan
keracunan pada ternak (Robinson, 1991).
2.4.5. Triterpen dan Steroid
Triterpen adalah senyawa yang
kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintersis
diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualen. Senyawa ini
berstruktur siklik yang nisbi rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau
asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tak berwarna, berbentuk kristal,
seringkali bertitik leleh tinggi dan optis aktif, yang umurnya sukar dicirikan
karena tak ada kereaktifan kimianya.
Gambar 2.6 Struktur
Inti (a) Terpenoid dan (b) Steroid
Uji yang banyak digunakan adalah
Lieberman-Buchard yang dengan kebanyakan triterpen dan sterol memberikan warna
hijau biru. Triterpen sekurang-kurangnya dapat dibagi menjadi empat
golongan senyawa: triterpena sebenarnya,
steroid, saponin, dan glikosida jantung. Kedua golongan yang terakhir
sebenarnya triterpen atau steroid yang terutama terdapat pada glokosida (Rustaman, 2006).
Sterol adalah triterpen yang
kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana
perhidrofenantrena. Dahulu sterol dianggap sebagai senyawa satwa
(sebagai hormon kelamin, asam empedu,
dan lain-lain), tetapi pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan dalam
jaringan tumbuhan. Sterol tertentu hanya
terdapat dalam tumbuhan rendah, contohnya ergosterol yang terdapat pada kamir dan sejumlah jamur. Sterol lainnya
terutama terdapat juga dalam tumbuhan
rendah, tetapi kadang-kadang terdapat juga dalam berbagai tumbuhan
tinggi, misalnya fukosterol, yaitu
steroid utama pada alga coklat dan juga terdeteksi pada kelapa (Rustaman,
2006).
2.4.6. Minyak Atsiri
Minyak
atsiri bukanlah senyawa murni akan tetapi merupakan campuran senyawa organik
yang kadang kala terdiri dari lebih besar dari 25 senyawa atau komponen yang berlainan.
Sebagian besar komponen minyak atsiri adalah senyawa yang hanya mengandung
karbon, dan hidrogen atau karbon, hidrogen dan oksigen yang tidak bersifat
aromatik yang secara umum disebut terpenoid. Minyak atsiri adalah zat berbau
yang terkandung dalam tanaman. Minyak ini disebut juga minyak menguap, minyak
eteris, minyak esensial karena pada suhu kamar mudah menguap. Istilah esensial
dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya. Dalam keadaan
segar dan murni, minyak atsiri umumnya tidak berwarna. Namun, pada penyimpanan
lama minyak atsiri dapat teroksidasi. Untuk mencegahnya, minyak atsiri harus
disimpan dalam bejana gelas yang berwarna gelap, diisi penuh, ditutup rapat,
serta disimpan di tempat yang kering dan sejuk (Gunawan & Mulyani, 2004).
2.5 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses
pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan bantuan pelarut (Suyitno, 1989). Prosedur
ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan senyawa yang diinginkan dan untuk
menghilangkan komponen yang tidak diinginkan dari tamanan menggunakan pelarut
yang selektif (Handa, 2008).
Bahan-bahan aktif seperti senyawa
antimikroba dan antioksidan yang terdapat pada tumbuhan pada umumnya diekstrak
dengan pelarut. Pada proses ekstraksi dengan pelarut, jumlah dan jenis senyawa
yang masuk ke dalam cairan pelarut sangat ditentukan oleh jenis pelarut yang
digunakan dan meliputi dua fase yaitu fase pembilasan dan fase ekstraksi. Pada
fase pembilasan, pelarut membilas komponen-komponen isi sel yang telah pecah
pada proses penghancuran sebelumnya. Pada fase ekstraksi, mula-mula terjadi
pembengkakan dinding sel dan pelonggaran kerangka selulosa dinding sel sehingga
pori-pori dinding sel menjadi melebar yang menyebabkan pelarut dapat dengan
leluasa masuk ke dalam sel. Bahan isi sel kemudian terlarut dalam pelarut
sesuai dengan tingkat kelarutannya lalu berdifusi keluar akibat adanya gaya
yang ditimbulkan perbedaan konsentrasi bahan terlarut yang terdapat di dalam
dan di luar sel (Voigt, 1995).
Satu dari metode
yang digunakan ekstraksi bahan alam yaitu maserasi. Maserasi merupakan metode
yang sederhana yang digunakan secara luas. Prosedurnya dilakukan dengan
merendam bahan tanaman (simplisia) dalam pelarut yang sesuai dalam wadah
tertutup pada suhu kamar. Pengadukan sesekali ataupun secara konstan dapat meningkatkan kecepatan ekstraksi.
Adapun
parameter kualitas dari ekstraksi tergantung oleh berbagai hal seperti jenis
bahan yang digunakan, jenis pelarut, dan prosedur ekstraksi. Sementara hasil
bahan aktif yang diekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni ukuran
bahan, tipe ekstraksi, waktu ekstraksi, temperatur, jenis pelarut, pH,
konsentrasi pelarut, dan polaritas (Tiwari dkk,
2011).
Faktor ukuran bahan juga
mempengaruhi hasil ekstraksi. Pengecilan ukuran suatu bahan yang akan
diekstraksi bertujuan untuk memperluas bidang permukaan bahan sehingga
akan mempercepat penetrasi pelarut ke dalam bahan yang akan diekstrak dan
mempercepat waktu ekstraksi. Namun ukuran bahan yang terlalu kecil juga
menyebabkan banyak minyak volatile yang menguap selama penghancuran (Tiwari dkk, 2011). Kemudian salah satu faktor
yang mempengaruhi hasil ektraksi adalah adalah suhu. Ekstraksi akan lebih cepat
dilakukan pada suhu tinggi. Namun penggunaan suhu yang terlalu tinggi juga
dapat menyebabkan kerusakan senyawa yang akan diekstrak.
Berdasarkan bentuk campuran yang
diekstraksi, dapat dibedakan dua macam ekstraksi yaitu (Kristanti dkk, 2008):
1. Ekstraksi
padat cair, jika substansi yang diekstraksi terdapat di dalam campurannya yang
berbentuk padat. Proses ini paling banyak ditemui di dalam usaha untuk
mengisolasi suatu substansi yang terkandung di dalam suatu bahan alam.
2. Ekstraksi
cair-cair, jika substansi yang diekstraksi terdapat di dalam campurannya yang
berbentuk cair.
2.6 Jenis- Jenis Pelarut
Penyarian zat aktif yang dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia
dalam cairan penyari yang sesuai selama beberapa jam sampai tiga hari pada
temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke dalam sel
melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi
antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya
tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi
rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan
konsentrasi antara larutan diluar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi
dilakukan pengadukan dan penggantian cairan penyari setiap hari. Endapan yang
diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan (Sudjadi, 1986).
Pemilihan pelarut
yang sesuai merupakan faktor penting dalam proses ekstraksi. Pelarut yang
digunakan adalah pelarut yang dapat menyari sebagian besar metabolit sekunder
yang diinginkan dalam simplisia (Depkes RI, 2008 dalam Astarina, 2013). Pelarut
organik berdasarkan konstanta elektrikum dapat dibedakan menjadi dua yaitu pelarut polar dan pelarut
non-polar. Konstanta dielektrikum dinyatakan
sebagai gaya tolak menolak antara dua pertikel yang bermuatan listrik
dalam suatu molekul. Semakin tinggi konstanta dielektrikumnya maka pelarut
bersifat semakin polar (Sudarmadji,
1989).
Macam pelarut dan tingkat kepolaran
pelarut yang dipakai dalam proses
ekstraksi dapat mempengaruhi proporsi senyawa-senyawa kandungan yang
tersari (Arista, 2013). Senyawa golongan flavonoid
termasuk senyawa polar dan dapat diekstraksi dengan pelarut yang bersifat
polar. Beberapa pelarut yang bersifat polar diantaranya, etanol, metanol, air,
dan etil asetat. Etanol dan air sudah umum
digunakan sebagai pelarut di bidang pangan dan obat-obatan dan cenderung lebih
aman serta ramah lingkungan dibandingkan metanol, etil, dan aseton (Melawaty,
2010).
Senyawa-senyawa non-polar dapat
diekstraksi dengan menggunakan pelarut yang bersifat non-polar pula, salah
satunya adalah n-heksan. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi berpengaruh
terhadap senyawa yang akan diekstrak. Berdasarkan sifat dan kepolaran pelarut,
maka dapat diketahui bahan aktif yang dilarutkan (Tabel 2). Beberapa
pelarut yang dapat digunakan dalam proses ekstraksi adalah:
1. n-Heksana
n-Heksana
(CH3(CH2)4CH3) adalah pelarut
petroleum yang mudah menguap. Awalan heks-
merujuk pada enam karbon atom yang terdapat pada heksana dan akhiran –ana berasal dari alkana, yang merujuk
pada ikatan tunggal yang menghubungkan atom-atom karbon tersebut. Ikatan pada heksana bersifat tunggal dan
kovalen sehingga menyebabkan n-heksana tidak reaktif sehingga sering digunakan
sebagai pelarut inert pada reaksi senyawa organik. Heksana mempunyai
karakteristik sangat tidak polar dan mudah menguap. Berat molekul heksana
adalah 86,17 gram/mol dengan titik leleh -94,3 sampai -95,3°C (Daintith, 1994).
n-heksan memiliki tetapan dielektrik pada suhu 200C sebesar 1,890
(Stahl, 1985).
Pelarut n-Heksana
merupakan salah satu pelarut yang baik untuk mengekstraksi senyawa-senyawa yang
bersifat non-polar karena memiliki beberapa keunggulan, diantaranya karena
pelarut ini bersifat relatif stabil, mudah menguap serta selektif dalam
melarutkan zat (Satria, 2013).
Heksana
dapat digunakan untuk mengekstraksi minyak nilam yang dapat digunakan sebagai
minyak atsiri. Selain itu heksana dapat digunakan sebagai solven untuk
mengekstraksi karotenoid dari CPO (Jos, 2004). Larutan campuran antrara heksana
dan benzena dapat digunakan untuk mengekstraksi minyak dari kopra. Sedangkan
larutan campuran antara heksana dan isopropanol dapat digunakan dalam penurunan
kadar limbah sintesis asam phospat dengan ekstraksi cair-cair (Mahmudi, 1997).
2. Kloroform
Kloroform
(CHCl3) merupakan salah satu senyawa haloform yang mudah menguap,
tidak berwarna; titik leleh -63,5°C; titik didih 61°C. Senyawa ini diproduksi
melalui proses klorinasi metana atau melalui reaksi haloform. Kloroform
digunakan sebagai pelarut dan bahan dasar untuk membuat senyawa lainnya
(Daintith, 1994). Kloroform memiliki
tetapan dielektrik pada suhu 200C sebesar 4,806 (Stahl, 1985).
Pelarut
kloroform (semi polar) memiliki konstanta dielektrikum sebesar 4,81. Pelarut
kloroform digunakan untuk menariki senyawa-senyawa yang bersifat non polar
sampai semi polar. Pelarut semi polar contohnya kloroform dapat mengekstrak
senyawa fenol, terpenoid, alkaloid, aglikon dan glikosida (Harborne, 1987).
3. Etil
asetat
Etil asetat (C2H5COOH)
merupakan senyawa turunan steroid yang memiliki berat molekul 72,08 g/mol.
Pelarut ini bersifat semi-polar (Daintith, 1994). Etil asetat merupakan pelarut
yang baik digunakan untuk ekstraksi karena dapat dengan mudah diuapkan, tidak
higroskopis, dan memiliki toksisitas rendah. Etil
asetat memiliki tetapan dielektrik pada suhu 200C sebesar 6,02 (Stahl, 1985).
4. Etanol
Etanol
atau alkohol (C2H5OH) merupakan cairan tidak berwarna
yang larut dalam air, densitas 0,6 (0ºC) titik leleh -169º C, titik didih
-102ºC. Memiliki gugus hidroksil (OH) pada alkohol yang menyebabkan bersifat
polar, sedangkan gugus alkil (R) merupakan gugus non polar. Proporsi dari kedua
gugus tersebut merupakan faktor yang menentukan sifat alkohol (Daintith, 1994).
Etanol memiliki tetapan dielektrik pada suhu 200C sebesar 20,7
(Stahl, 1985).
Etanol tidak menyebabkan pembengkakan
membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan terlarut. Etanol 70% sangat
efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal. Pemilihan etanol
70% sebagai pelarut dikarenakan etanol 70% memiliki kelebihan dalam mengekstrak
tanaman yaitu dapat mengekstrak senyawa aktif yang bersifat polar dan nonpolar
karena mempunyai dua gugus aktif yang beda kepolarannya. Kedua gugus aktif
tersebut yaitu gugus hidroksil yang polar dan gugus alkil yang nonpolar.
Senyawa yang dapat larut dalam etanol 70% diantaranya senyawa flavonoid,
saponin, tannin, dan senyawa aktif lainnya. Disamping itu, etanol 70 %
mempunyai titik didih yang rendah sehingga mudah diuapkan (Falahudin, 2008).
Hasil
penelitian Fathurrahman (2014) menunjukkan bahwa efek antioksidan ekstrak
etanol 70% daun sirsak (Anona nuricata
Linn) lebih kuat dibandingkan ekstrak etanol 96% dan etanol 50%. Etanol
dan air sudah umum digunakan sebagai pelarut di bidang pangan dan obat-obatan
dan cenderung lebih aman serta ramah lingkungan dibandingkan metanol, etil, dan
aseton (Melawaty, 2010).
5. Metanol
Metanol (CH3OH) adalah cairan yang tidak
berwarna, densitas 0,79 gram/mL; titik leleh -98°C, titik didih 64°C. Senyawa
ini dibuat melalui oksidasi katalitik dari metana dan digunakan sebagai pelarut
serta sebagai bahan baku untuk industri kimia (Daintith, 1994). Beberapa jenis
pelarut yang digunakan untuk melarutkan bahan aktif dapat dilihat pada tabel
2.1.
Tabel 2.1 Pelarut yang
Digunakan untuk Melarutkan Bahan Aktif
Jenis Pelarut
|
|||||
Air
|
Etanol
|
Metanol
|
Kloroform
|
Eter
|
Aseton
|
Antosianin
|
Tanin
|
Terpenoid
|
Terpenoid
|
Alkaloid
|
Fenol
|
Tanin
|
Sterol
|
Saponin
|
Flavonoid
|
Terpenoid
|
Flavonol
|
Saponin
|
Polifenol
|
Tannin
|
Asam
lemak
|
||
Terpenpid
|
Flavinol
|
Flavon
|
|||
Lektin
|
Terpenoid
|
Polifenol
|
|||
Polipeptida
|
Alkaloid
|
Xantolin
|
(Sumber
: Tiwari dkk., 2011)
Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang
berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah
larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Derajat polaritas tergantung
pada tahapan dielektrik, makin besar tahapan dielektrik semakin polar pelarut
tersebut (Nur dan Adijuwana 1989). Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2 Beberapa
Pelarut Organik dan Sifat Fisik
No
|
Pelarut
|
Titik Didih (oC)
|
Titik Beku (oC)
|
Konstanta Dielektrik (Debye)
|
1
|
Dietil Eter
|
35
|
-116
|
4,3
|
2
|
Karbon disulfide
|
46
|
-111
|
2,6
|
3
|
Aseton
|
56
|
-95
|
20,7
|
4
|
Kloroform
|
61
|
-64
|
4,8
|
5
|
Metanol
|
65
|
-98
|
32,6
|
6
|
Tetrahidrofuran
|
66
|
-65
|
7,6
|
7
|
Di-isopropil eter
|
68
|
-60
|
3,9
|
8
|
N-heksan
|
69
|
-94
|
1,9
|
9
|
Karbon Tetraklorida
|
76
|
-23
|
2,2
|
10
|
Etil asetat
|
77
|
-84
|
6,0
|
11
|
Etanol
|
78
|
-117
|
24,3
|
12
|
Benzena
|
80
|
5,5
|
2,3
|
13
|
Sikloheksana
|
81
|
5,5
|
2,0
|
14
|
Isopropanol
|
82
|
-89
|
18,3
|
15
|
Air
|
100
|
0
|
78,5
|
16
|
Dioksan
|
102
|
12
|
2,2
|
17
|
Toluena
|
111
|
-95
|
2,4
|
18
|
Asam asetat Glasial
|
118
|
17
|
6,2
|
19
|
N,N-dimetil formamida
|
154
|
-61
|
34,8
|
20
|
Dietilenaglikol
|
245
|
-10
|
37,7
|
Pelarut yang bersifat polar, mampu
mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin,
gula, asam amino, dan glikosida (Harborne 1987). Hasil ekstrak yang diperoleh
akan tergantung pada beberapa faktor antara lain kondisi alamiah senyawa
tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan
waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan perbandingan jumlah pelarut
terhadap jumlah sampel (Darusman et al. 1995).
Jenis
dan mutu pelarut yang digunakan menentukan keberhasilan proses ekstraksi.
Pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya, mempunyai
titik didih yang rendah, murah, tidak toksik, dan mudah terbakar (Ketaren
1986). Selain itu, keberhasilan ekstraksi juga tergantung pada banyaknya
ekstraksi yang dilakukan. Hasil yang baik diperoleh jika ekstraksi dilakukan
berulang-ulang dengan jumlah pelarut yang sedikit-sedikit. Efisiensi ekstraksi
dapat ditingkatkan dengan menggunakan luas kontak yang besar (Khopkar 2003).
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1
Waktu dan Tempat
Penelitian
dilaksanakan bulan Mei-September 2016. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Fisiologi Tumbuhan, Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
3.2
Alat dan Bahan
3.2.1
Alat
Alat yang
digunakan pada penelitian ini adalah: rotary vacuum evaporator,
inkubator Memmert, oven Memmert, blender, neraca analitik, ayakan ukuran 60 mesh, toples
kaca, corong, kertas saring, spatula, alat tulis, gelas ukur 5 ml, tabung
reaksi, pipet tetes, pisau dan alat dokumentasi.
3.2.2
Bahan
Bahan yang
digunakan yaitu: buah karika, air, etanol 70 %, asam klorida (HCl) 2N,
kloroform, asam sulfat pekat, asam asetat anhidrat, akuades, Besi (III) klorida
(FeCl3 1 %. 1%), pereaksi wagner, pereaksi dragendroff, pereaksi mayer, logam
magnesium, aquades, amonia pekat dan n heksan.
3.3
Tahap Ekstraksi
3.3.1 Persiapan Bahan
Buah
C. pubescens diperoleh dari Bromo,
Jawa Timur. Ditimbang daging buah C.
pubescens sebanyak 3 kg, dicuci dan dipotong, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari
tidak langsung kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 40oC
sampai kadar air habis yang disebut simplisia kasar. Pengeringan dilakukan
untuk menurunkan kadar air dalam sampel, menghentikan reaksi enzimatis dan
mencegah tumbuhnya jamur. Menurut Wijaya (2012) dalam Mutmainnah (2015) jika
kadar air dalam bahan masih tinggi dapat mendorong enzim melakukan aktivitasnya
mengubah kandungan kimia yang ada di dalam bahan menjadi produk lain. Sehingga
memungkinkan tidak lagi memiliki efek farmakologi seperti senyawa aslinya.
Simplisia
kasar ditimbang, selanjutnya diserbukkan dengan blender kemudian diayak dengan
ayakan ukuran 60 mesh sehingga dihasilkan simplisia serbuk dan ditimbang. Penghalusan
simplisia kasar menjadi serbuk dan halus bertujuan untuk memperluas permukaan
sampel sehingga memudahkaan kontak anatara pelarut dan sampel pada proses
ekstraksi. Semakin kecil ukuran sampel maka luas permukaannya semakin besar dan interaksi
kontak pelarut dalam ekstraksi semakin besar sehingga proses ekstraksi dapat
berjalan dengan efektif (Voight, 1995 dalam Mutmainnah 2015).
3.5.3.2 Pembuatan Ekstrak
Disiapkan
dua toples untuk proses meserasi. Tahap pertama dalam ekstraksi sampel yaitu
penimbangan simplisia. Simplisia buah mentah sebanyak 70 gr dibagi menjadi 2
bagian, masing-masing 35 gr. Simplisia buah matang sebanyak 35 gr dibagi
menjadi 2 bagian, masing-masing 15 gr. Setiap perlakuan sampel dimaserasi
dengan pelarut etanol 70% dan n-Heksana dengan perbandingan 1:4 lalu disimpan
dalam suhu kamar selama 24 jam setelah itu disaring. Proses maserasi dilakukan
selama 5 hari berturut-turut dengan beberapa kali pengadukan.
.
Hasil saringan dinamakan filtrat. Filtrat disimpan dan ampas diremaserasi.
Filtrat hasil maserasi diuapkan dari pelarutnya dengan rotary vacuum
evaporator. Ekstrak diinkubasi
pada suhu 37oC selama 24 jam hingga diperoleh ekstrak pekat. Ekstrak
pekat kemudian diuji kapasitas antioksidannya. Langkah kerja yang sama
dilakukan dengan pelarut n-Heksana dan simplisia serbuk buah mentah.
3.4 Uji Fitokimia Ekstrak Buah C. pubescens
1. Uji
flavonoid
1
gr ekstrak dilarutkan dalam 5ml etanol, ditambahkan 5 tetes HCl pekat dan 1,5
gram logam magnesium. Ekstrak positif mengandung alkaloid apabila larutan
berubah menjadi warna merah, kuning atau orange.
2. Uji
alkaloid
4
ml ekstrak dihaluskan ditambah kloroform, ditambah 10 ml amoniak dan 10 ml
kloroform, disaring ke tabung reaksi, ditambahkan 10 tetes asam sulfat 2 N.
Kemudian dikocok filtrat hingga terbentuk 2 lapisan, lapisan atas dipindahkan
ke 3 tabung reaksi, kemuadian dianalisis dengan pereaksi Mayer, Wagner dan
Dragendorff. Positif mengandung alkaloid apabila pada pereaksi Mayer terdapat
endapan putih, pereaksi Wagner terdapat endapan coklat kemerahan, dan pada
pereaksi Dragendorff terdapat endapan merah jingga.
3. Uji
Polifenol dan Tannin
1
ml ekstrak ditambah pelarut hingga terendam, kemudian ditambahan 2-3 tetes FeCl
1%. Ekstrak positif mengandung polifenol dan tannin apabila larutan berubah
menjadi warna biru tua atau kehijauan.
4. Uji
steroid/ Triterpenoid
1
ml ekstrak ditambah asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat. Positif
mengandung steroid apabila larutan berwarna biru atau hijau. Positif mengandung
triterpenoid apabila berubah menjadi warna ungu atau jingga.
5) Uji Minyak Atsiri
Uji minyak atsiri dilakukan dengan terlebih dahulu menyiapkan 1 ml
ekstrak yang telah dilarutkan dalam pelarutnya. Selanjutnya larutan tersebut
diuapkan pada cawan poselen di atas hotplate hingga dipeoleh residu. Dari
residu tersebut jika tercium bau yang khas maka positif mengandung minyak
atsiri.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Preparasi Sampel
Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah buah mentah C. pubescens. Buah C.
pubescens diperoleh dari Desa Mororejo, Tosari, Pasuruan Jawa Timur. Proses
pembuatan simplisia dilakukan di UPT Materia Medica Batu, dimulai dari sortasi,
pembersihan, pencucian, penirisan, perajangan, pengeringan dengan oven hingga
pengemasan. Dilakukan sortasi agar didapatkan buah yang seragam baik kematangan
maupun teksturrnya. Pembersihan dan pencucian dilakukan untuk menhilangakan
biji dan kotoran berupa tanah yang dapat mempengaruhi proses ekstraksi. Sampel
dikeringkan di bawah matahari secara tidak langsung agar senyawa terkandung
tidak rusak, kemudian dimasukkan ke dalam oven.
Pengeringan
dilakukan untuk menurunkan kadar air dalam sampel, menghentikan reaksi
enzimatis dan mencegah tumbuhnya jamur. Menurut Wijaya (2012) dalam Mutmainnah
(2015) jika kadar air dalam bahan masih tinggi dapat mendorong enzim melakukan
aktivitasnya mengubah kandungan kimia yang ada di dalam bahan menjadi produk
lain. sehingga memungkinkan tidak lagi memiliki efek farmakologi seperti
senyawa aslinya. Hal ini tidak akan terjadi jika sampel segera dikeringkan
hingga kadar air menjadi rendah. Menurut Harborne (1987) pengeringan dengan
cara aliran udara (kering angin) lebih baik daripada mengunakan pengeringan
suhu tinggi untuk mencegah rusaknya kandunagn senyawa. Kadar air yang tinggi akan
menggangu proses ektraksi dikarekan pelarut akan sulit berdifusi masuk melewati
dinding sel untuk menarik senyawa kimia dalam simplisia.
Penghalusan
simplisia kasar menjadi serbuk dan halus bertujuan untuk memperluas permukaan
sampel sehingga memudahkaan kontak anatara pelarut dan sampel pada proses
ekstraksi. Semakin kecil ukuran sampel maka luas permukaannya semakin besar dan interaksi
kontak pelarut dalam ekstraksi semakin besar sehingga proses ekstraksi dapat
berjalan dengan efektif (Voight, 1995 dalam Mutmainnah 2015). Penghalusan juga
akan memecah sel-sel yang terdapat di dalam jaringan, sehingga komponen yang
akan diekstrak dapat cepat keluar dari bahan yang akan mempercepat proses
ekstraksi. Simplisia serbuk buah matang dan mentah C. pubescens dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar
4.1 Simplisia Serbuk Buah Mentah C. pubescens
4.2
Ekstraksi Sampel
Buah
C. pubescens diekstraksi dengan
metode maserasi (ekstraksi cara dingin). Metode ini dipilih karena dapat
mencegah terurainya metabolit yang tidak tahan panas. Selain itu, peralatan
yang digunakan pada metode maserasi sederhana dan mudah didapatkan. Tahap
pertama dalam ekstraksi sampel yaitu penimbangan simplisia. Simplisia buah
mentah sebanyak 70 gr dibagi menjadi 2 bagian, masing-masing 35 gr. Sampel
dimaserasi dengan pelarut etanol 70% dan n-heksan dengan perbandingan 1:4.
Proses maserasi dilakukan selama 5 hari berturut-turut dengan beberapa kali
pengadukan.
Hasil
maserasi (maserat) yang diperoleh kemudian disaring dengan kartas saring kasar.
Hasil penyaringan (filtrat) diuapkan dari pelarutnya dengan menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 50oC
kemudian dipekatkan dengan cara diinkubasi pada suhu 37oC selama 24
jam. Randemen ekstrak yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.1
Hasil Randemen Ekstrak
No
|
Sampel
|
Warna Ekstrak
|
Berat Ekstrak (gr)
|
Randemen Ekstrak (%)
(b/b)
|
1
|
Etanol buah mentah
|
Coklat kehitaman
|
8,9
|
29,67
|
3
|
n-Heksana buah mentah
|
Kuning kehijauan
|
6,47
|
21,57
|
Berdasarkan tabel
4.1 diketahui bahwa kstrak kasar daging
buah C. pubescens dengan pelarut
etanol memiliki nilai rendemen lebih besar (29,67%) dibandingkan dengan ekstrak
pelarut n-Heksan (21,57%). Etanol merupakan pelarut polar yang dapat melarutkan
senyawa-senyawa yang bersifat polar juga. Oleh karena itu, diduga bahwa pada
ekstrak kasar daging buah C. pubescens
memiliki kandungan senyawa polar lebih tinggi daripada senyawa non polar.
4.3 Skrining Fitokimia
Ekstrak Buah C. pubescens
4.3.1 Pelarut Etanol 70%
Analisis fitokimia pada
daging buah C. pubescens secara
kualitatif dilakukan untuk mengetahui keberadaan senyawa alkaloid, tannin,
flavonoid, saponin, triterpenoid dan minyak atsiri. Hasil skrining fitokimia
pada ekstrak kasar etanol 70% daging buah
C. pubescens dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 4.2
Hasil Skrining Fitokimia Daging Buah C.
pubescens
No
|
Jenis
Skrining Fitokimia
|
Gambar
|
Ketengan
|
1
|
Alkaloid:
a. Mayer
|
Positif
|
|
b. Wagner
|
Negatif
|
||
c. Dragendorff
|
Negatif
|
||
2
|
Polifenol
& Tannin
|
Positif
|
|
3
|
Flavonoid
|
Positif
|
|
4
|
Saponin
|
Positif
|
|
5
|
Steroid/
Triterpenoid
|
Positif
|
|
6
|
Minyak
Atsiri
|
Negatif
|
1. Alkaloid
Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kasar daging buah C. pubescens positif mengandung alkaloid
dengan pereaksi Mayer. Reaksi positif dari pereaksi Mayer yaitu terbentuknya
endapan yang berwarna jingga. Sedangkan hasil negatif pada pereaksi Wagner dan
Drangendoff. Pada pereaksi Wagner tidak terdapat endapandan pada pereaksi
Wagner terbentuk endapan hitam kehijauan. Menurut Harborne (1987) hasil uji
dinyatakan positif apabila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih
kekuningan, dengan pereaksi dengan pereaksi Wagner membentuk endapan coklat dan
dengan pereaksi Dragendorff membentuk endapan merah sampai jingga.
Pengujian senyawa alkaloid dengan
menggunakan reagen Mayer, Wagner, dan Dragendorff, menyebabkan reaksi
pengendapan karena adanya penggantian ligan. Atom nitrogen yang mempunyai
pasangan elektron bebas pada alkaloid mengganti ion iod dalam reagen Mayer,
reagen Dragendroff, dan reagen Wagner. Hal tersebut mengakibatkan terbentuknya
endapan jingga terhadap penambahan reagen Dragendroff, hal ini karena nitrogen
digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang merupakan ion
logam.
Terbentuknya endapan putih kekuningan pada
penambahan reagen Mayer karena nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion
logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II) membentuk kompleks kalium-alkaloid
yang mengendap (Marliana dkk, 2005;
Sangi dkk., 2008).
Pada penambahan pereaksi Mayer, larutan
merkurium(II) klorida ditambah kalium iodida akan bereaksi membentuk endapan
merah merlurium(II) iodida. Jika kalium iodida ditambah berlebih maka akan
terbentuk kalium tetraiodomerkurat(II). Alkaloid mengandung aom nitrogen yang
mempunyai pasangan elektron bebas sehingga dapat digunakan untuk membentuk
ikatan kovalen koordinat dengan ion logam. Pada uji alkaloid dengan penambahan
pereaksi mayer, diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion
logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat(II) membentuk kompleks kalium alkaloid
yang mengendap. Perkiraan reaksi yang terjadi pada uji Mayer ditunjukkan pada
gambar berikut.
Gambar 4.2 Dugaan reaksi Alkaloid dengan
Pereaksi Mayer
(Sumber: Marliana, 2005)
Hasil uji alkaloid dengan pereaksi Wagner
pada penelitian ini negatif dikarenakan terbentuknya endapan hijau kehitaman.
Menurut Marlina dkk, (2005) hasil positif uji alkaloid dengan pereaksi
Wagner ditandai dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai muda.
Diprkirakan endapan terebut adalah kalium-alkaloid. Pada penamabahan pereaksi
Wagner, iodin bereaksi dengan ion I- dari kalium iodida menghasilkan ion I3-
yang berwarna coklat. Pada uji wagner, ion logam K+ akan membentuk ikatan
kovalen koordinat dengan nitrogen pada alkaloid membentuk kompleks
kalium-alkaloid yang mengendap. Perkiraan reaksi yang terjadi pada uji Wagner
ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar 4.3 Dugaan reaksi Alkaloid dengan
pereaksi Wagner
Uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff
pada penelitian ini negatif dikarenakan tidak terbentuknya endapan. Menurut
Marlina dkk, (2005) hasil positif uji alkaloid dengan pereaksi
Dragendorff ditunjukkan dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai kuning.
PEB dari atom nitrogen pada senyawa alkaloid dapat membentuk ikatan kovalen
koordinat dengan K+ dugaan reaksi alkaloid dengan pereaksi Dragendorff
dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4.4 Dugaan reaksi alkaloid dengan
pereaksi Dragendorff
(Sumber: Marliana dkk,
2005)
2. Tanin
Hasil skrining fitokimia menunjukkan bawa
ekstrak daging buah C. pubescens positif mengandung tanin. Hal
ini dibuktikan dengan terbentuknya warna hijau kehitaman setelah penambahan
FeCl3 1%.
Pengujian tanin dan polifenol dilakukan
dengan penambahan FeCl3 1%. Pereaksi FeCl3 1 % merupakan
pereaksi umum untuk mengidentifikasi senyawa fenol termasuk tanin. Pada
penambahan FeCl3 1%. Golongan tanin terhidrolisis sehingga
menghasilkan warna biru kehitaman dan tanin terkondensasi akan menghasilkan
warna hijau kehitaman. Perubahan warna ini terjadi ketika penambahan FeCl3
1% yang bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil yang ada pada senyawa tanin
(Sangi dkk., 2008). Reaksi pada uji
polifenol dan tannin dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 4.5
Reaksi Tanin dengan FeCl3
3. Flavonoid
Hasil uji fitokimia ekstrak daging buah C. pubescens menunjukkan hasil positif
mengandung flavonoid ditandai dengan adanya perubahan warna pada tabung kedua,
ketiga, dan keempat setelah penambahan NaOH, H2SO4 dan
Mg-HCL dibandingkan kontrol. hasil ini diperkuat denga penelitian Laily (2014)
dan Khotimah (2016) bahwa ekstrak etanol tanaman C. pubescens positif mengandung senyawa flavonoid.
Penambahan HCl pekat dalam identifikasi
flavonoid digunakan untuk menghidrolisis flavonoid menjadi aglikonnya, yaitu
dengan menghidrolisis O-glikosil. Glikosil akan tergantikan oleh H+ dari
asam karena sifatnya yang elektrofilik. Glikosida berupa gula yang biasa
dijumpai yaitu glukosa, galaktosa, dan raminosa. Reduksi dengan Mg dan HCl
pekat ini menghasilkan senyawa komplek yang berwarna merah atau jingga pada flavonol,
flavon, flanonol dan xanton (Robinson, 1985). Warna merah yang dihasilkan
menandakan adanya flavonoid akibat dari reduksi oleh asam klorida pekat dengan
magnesium (Robinson, 1995).
Identifikasi flavonoid menggunakan uji
Wilstater menunjukkan warna jingga yang berarti positif adanya flavonoid.
Magnesium dan asam klorida pada uji Wilstater bereaksi membentuk
gelembung-gelemung yang merupakn gas H2. Sedangkan logam Mg dan HCl
pekat pada uji ini berfungsi berfungsi untuk mereduksi inti benzopiron yang terdapat
pada struktur flavonoid sehingga terbentuk perubahan warna menjadi merah atau
jingga. Jika dalam suatu ekstrak tumbuhan terdapat senyawa flavonoid akan
terbentuk garam flavilium saat penambahan Mg dan HCl yang berwarna merah atau
jingga (Prashant dkk., 2011). Reaksi
pembentukan garam flavilium dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4.6
Mekanisme Pembentukan Garam Flavilium
4. Triterpenoid
Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa
dalam ekstral etanol daging buah C. pubescens positif mengandung
triterpenoid, ditandai dengan terbentuknya cincin kecoklatan pada larutan uji
setelah penambahan asam sulfat pekat sebanyak 2 ml melalui dinding tabung.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman C. papaya mengandung
metabolit sekunder triterpenoid menunjukkan bahwa senyawa tersebut memiliki
aktivitas sebagai antibakteri yaitu monoterpenoid linalool, diterpenoid,
phytol, triterpenoid saponin, triterpenoid glikosida (Marlinda, 2013 dalam
Minarno, 2015).
Siadi (2012) menjelaskan bahwa identifikasi
terpenoid dan steroid menggunakan uji Lieberman-Burchard (anhidrat asetat-H2SO4
pekat) yang memberikan warna hijau-biru. Identifikasi terpenoid dan steroid
positif apabila terbentuknya cincin coklat pada batas larutan saat ditambah
dengan H2SO4 serta terlihat warna hijau saat larutan
diteteskan pada plat tetes. Perubahan warna dikarenakan terjadinya oksidasi
pada golongan senyawa terpenoid/steroid melalui pembentukan ikatan rangkap
terkonjugasi. Prinsip reaksi uji terpenoid yaitu kondensasi atau pelepasan H2O
dan penggabungan karbokation. Reaksi ini diawali dengan proses asetilisasi
gugus hidroksil menggunakan asam asetat anhidrat. Gugus asetil akan lepas,
sehingga terbentuk ikatan rangkap. Selanjutnya terjadi pelepasan gugus hidrogen
beserta elektronnya, mengakibatkan ikatan rangakap berpindah. Senyawa ini
mengalami resonansi yang bertindak sebagai elektrofil atau karbokation.
Serangan karbokation menyebabkan adisi elektrofili, diikuti dengan pelepasan
hidrogen. Kemudian gugus hidrogen berserta elektronnya dilepas, akibatnya
senyawa mengalami perpanjangan konjugasi yang memperlihatkan munculnya cincin
coklat.
5. Saponin
Hasil analisis identifikasi metabolit
sekunder dari daging buah C. pubescens
menunjukkan positif mengandung saponin ditandai dengan terbentuknya busa
setelah pengocokan dan bertahan selama 30 detik. Menurut Robinson (1995)
senyawa yang memiliki gugus polar dan non polar bersifat aktif permukaan
sehingga saat saponin dikocok dengan air dapat membentuk misel. Pada struktur
misel gugus polar menghadap ke luar dan gugus non polarnya menghadap ke dalam,
keadaan inilah yang tmpak seperti busa. Busa yang ditimbulakan saponin
dikarekan adanya kombinasi struktur senyawa penyusunnya yaitu rantai sapogenin
non-polar dan rantai samping polar yang larut dalam air (Kristianingsih, 2008).
Reaksi hidrolisis saponin dalam air dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4.7 Reaksi Hidrolisis Saponin dalam
Air
(Sumber: Marliana dkk., 2005)
6. Minyak Atsiri
Hasil skrining fitokimia ekstrak
etanol daging buah c. pubescens menunjukkan hasil yang negatif ditandai dengan
tidak terdapat bau yang khas pada residu sampel setelah diuapkan di cawan
porselen. Hal ini dikarenakan faktor pelarut etanol (polar) saat tahap
ekstraksi yang digunakan, sedangkan minyak atsiri bersifat nonpolar. Menurut Siedel (2008) dalam Khotimah (2016)
pemilihan pelarut dan metode ekstraksi akan mempengaruhi hasil kandungan
senyawa metabolit sekunder yang dapat terekstraksi. Pemilihan pelarut ekstraksi
umumnya menggunakan prinsip like disolves like, dimana senyawa nonpolar akan
larut dalam pelarit non polar sedangkan senyawa polar akan larut padapelarut
polar.
4.3.2 Pelarut n-Heksana
Skrining fitokimia pada
daging buah C. pubescens secara
kualitatif dilakukan untuk mengetahui keberadaan senyawa alkaloid, tannin,
flavonoid, saponin, triterpenoid dan minyak atsiri. Hasil skrining fitokimia
pada ekstrak kasar daging buah C.
pubescens dengan pelarut n-Heksan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel
4.3 Hasil Skrining Fitokimia Daging Buah C.
pubescens
No
|
Jenis
Skrining Fitokimia
|
Gambar
|
Ketengan
|
1
|
Alkaloid:
a. Mayer
|
Negatif
|
|
b. Wagner
|
Negatif
|
||
c. Dragendorff
|
Negatif
|
||
2
|
Polifenol
& Tannin
|
Negatif
|
|
3
|
Flavonoid
|
Negatif
|
|
4
|
Saponin
|
Negatif
|
|
5
|
Steroid/
Triterpenoid
|
Positif
|
|
6
|
Minyak
Atsiri
|
Positif
|
1. Alkaloid
Identifikasi
senyawa alkloid pada ekstrak kasar n-Heksan menggunakan tiga pereaksi yaitu
pereaksi mayer, Wagner dan Dragendorff. Hasil identifikasi dari ketiga pereaksi
tersebut menunjukkan negatif mengandung alkaloid. Hal ini dibuktikan pada
pereaksi Mayer tidak terbentuk endapan putih kekuningan akan tetapi terbentuk
larutan berwarna putih kekuningan. Pada pereaksi Wagner terbentuk larutan
berwarna hijau kecoklatan tanpa adanya endapan yang seharusnya terdapat endapan
coklat. Pada pereaksi Dragendorff
terbentuk larutan hijau kekuningan tanpa endapan. Hasil uji positif ppereaksi
Dragendorff ditandai dengan terbentuknya endapanmerah samapai jingga.
hasil uji dinyatakan positif apabila
dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, dengan pereaksi
dengan pereaksi Wagner membentuk endapan coklat dan dengan pereaksi Dragendorff
membentuk endapan merah sampai jingga Harborne (1987).
Hasil negatif pada identifikasi senyawa
alkaloid pada ekstrak n-heksana daging buah C.
pubescens ini dikarenakan faktor pelarut. Pelarut non polar seperti
n-Heksan akan melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat non-polar. Menurut
Harborne (1987), pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak senyawa
alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino, dan
glikosida. Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor
antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan,
ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi,
dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al.
1995).
2.
Polifenol dan Tannin
Hasil
skrining fitokimia pada ekstrak kasar daging buah C. pubescens menunjukkan negatif mengandung polifenol dan tannin.
Hasil ini ditandai dengan tidak terbentuknya larutan yang berwarna hijau tua
atau biri kehitaman setelah penambahan FeCl 1%. Larutan yang terbentuk yaitu
berwarna hijau kekuningan hal ini dikarenakan warna asli dari ekstrak pekat
memang hijau kekuningan.
3.
Flavonoid
Uji
flavonoid pada ekstrak kasar n-Heksan daging buah C. pubescens menggunakan empat perlakuan. Perlakuan pertaama
sebagai kontol, kedua dengan penambahan Mg-HCl pekat, perlakuan ketiga
penambahan NaOH dan perlakuan terakihir H2SO4. Hasil positif apabila terdapat perubahan
warna pada ketiga perlakuan apabila dibandingakn dengan warna kontrol. Hasil
uji menunjukkan bahwa pada ekstrak n-Heksana daging buah C. pubescens negatif mengandung flavonoid.
4.
Saponin
Uji
saponin pada ekstrak kasar n-Heksan daging buah C. pubescens dengan penambahan aquades panas pada sampel kemudian dikocok. Uji
positif apabila terdapat busa yang bertahan selama 30 detik setelah pengocokan.
Hasil identifikasi pada ekstrak kasar n-Heksan daging buah C. pubescens menunjukkan negatif mengandung saponin.
5.
Triterpenoid
Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa
dalam ekstral n-Heksana daging buah C. pubescens positif mengandung
triterpenoid, ditandai dengan terbentuknya cincin kecoklatan pada larutan uji
setelah penambahan asam sulfat pekat sebanyak 2 ml melalui dinding tabung.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman C. papaya mengandung
metabolit sekunder triterpenoid menunjukkan bahwa senyawa tersebut memiliki
aktivitas sebagai antibakteri yaitu monoterpenoid linalool, diterpenoid,
phytol, triterpenoid saponin, triterpenoid glikosida (Marlinda, 2013 dalam
Minarno, 2015). Senyawa terpen umumnya merupakan senyawa yang larut dalam lemak
(Harborne, 1987).
6. Minyak Atsiri
Hasil skrining fitokimia
pada ekstrak kasar n-heksana C. pubescens menunjukkan positif mengandung
minyak atsiri. Hal ini ditandai terdapat bau yang khas dari sampel setelah
penguapan. Minyak atsiri merupakan metabolit sekunder yang bersifat non-polar.
Oleh karena itu minyak atsiri dapat diekstrak dengan pelarut yang non polar
juga.
4.3
Kandungan Fitokimia Buah C. pubescens
dalam Perspektif Islam
Allah
memiliki sifat Ar-Rahman-Ar-Rahim yang bemakna kasih sayang, keduanya
berasal dari akar kata “Ar-Rahmah”. Ar-Rahman adalah kasih sayang Allah yang
bersifat umum di dunia ini, kepada seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali,
sedangakan Ar-Rahim hanya diberikan kepada orang-orang yang beriman (Haidir,
2003). Satu diantara bentuk kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya yaitu
penciptaan tumbuhan baik yang dapat dimanfaatkan oleh makhluk-Nya. Allah
berfirman dalam surah as-Syu’araa ayat 7 :
öNs9urr& (#÷rtt n<Î) ÇÚöF{$# ö/x. $oY÷Gu;/Rr& $pkÏù `ÏB Èe@ä. 8l÷ry AOÍx. ÇÐÈ
“Dan
Apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di
bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
Kata karim digunakan untuk menggambarkan segala sesuatu yang baik bagi
setiap objek yang disifatinya. Tumbuhan baik adalah tumbuhan yang subur dan
bermanfaat (Shihab, 2002). Satu diantara tumbuhan baik yaitu C. pubescens yang dapat diambil
manfaatnya.
C. pubescens memiliki
kandungan senyawa kimia diantaranya alkaloid, flavonoid, tannin, saponin,
triterpenoid dan minyak atsiri yang dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan,
antibakteri, larvasida nabati.
C. pubescens menurut peneliti
terdapat beberapa kelemahan diantaranya memiliki daging buah yang tipis,
bertekstur kenyal, rasanya asam sehingga kurang diminati dan membutuhkan
pengolahan sebelum dikonsumsi. Dibalik
kelemahan tersebut pada daging buah C.
pubescens terdapat kandungan vitamin C dan metabolit sekunder yang berpotensi
sebagai antioksidan. Dengan demikian surah ali-Imran 191 yang berbunyi:
t$uZ/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ ....
ÇÊÒÊÈ
"Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia”
Ayat tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa
segala sesuatu yang diciptakan Allah memiliki pelajaran dan tujuan yang mulia,
mustahil Allah berbuat main-main (Tafsir al-Qur’an al-Aisar, 2007). Allah tidak
menciptakan semua dengan sia-sia, melainkan dengan penuh pelajaran bagi
makhluk-Nya yang berfikir.
BAB
V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1.
Kandungan fitokimia pada daging buah C. pubescens dengan pelarut
etanol 70% diantaranya polifenol dan tanin,
flavonoid, saponin, triterpenoid, dan alkaloid pada pereaksi Mayer dan
dragendoff, negatif pada pereaksi Wagner dan minyak atsiri. Pada pelarut
n-Heksana positif mengandung triterpenoid dan minyak atsiri.
5.2
Saran
1.
Perlu dilakuan
skrining fitokimia dengan metode KLT agar data yang dihasilkan lebih valid.
2.
Perlu dilakukan
penelitian lanjutan mengenai kandungan total masing-masing senyawa
DAFTAR
PUSTAKA
Aksara, R. Weny J.A. dan Musa, La Alio. 2013. Identifikasi Senyawa Alkaloid dari Ekstrak
Metanol Kulit Batang Mangga (Mangifera indica L). Jurnal Entropi. Vol. 8. No.1.
Al-Qurthubi,
Syaikh Imanm. 2009. Tafsir Al-Qurthubi.
Jakarta: Pustaka Azzam
Arista, M. 2013. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol 80% dan 96% Daun
Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.). Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. Vol.2 No.2.
Ash-Sdddieqy, M.H.T. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Badillo,
V.M., 2000. Carica L. vs Vasconcella St. Hil. (Caricaceae): con
la rehabilitación de este último. Ernstia 10, 74–79.
Departemen Agama RI. 2009. Al-Quran dan Terjemah. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema.
Departemen
Kehutanan Republik Indonesia. 2010. (http://www.dephut.go.id ) diakses
tanggal 29 Maret 2016.
Fanny, Y.G. 2014. Pengaruh Pelarut Terhadap Karakteristik Ekstrak Daun Senduduk (Melastoma malabathricum, L). Skripsi Tidak Diterbitkan. Universitas Andalas.
Faqih, A.K. dan Tim Ulama. 2001. Tafsir Nurul Qur’an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur’an. Jakarta:
Penerbit Al-Huda.
Fatchurrozak. Suranto. dan Sugiyarto. 2013. Pengaruh Ketinggian Tempat
Terhadap Kandungan Vitamin C dan Zat Antioksidan pada Buah Carica pubescens di
Dataran Tinggi Dieng. El-Vivo. Vol.1. No.1. Hal 24-31.
Fathurrachman, D. A. 2014. Pengaruh Konsentrasi Pelarut
Terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona muricata Linn) dengan Metode Peredaman Radikal Bebas DPPH. Skripsi Deterbitkan. Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung
: Penerbit ITB.
Haris, M. 2011. Penentuan Kadar Flavanoid Total dan Aktivitas Antioksidan dari Daun Dewa (Gynura
pseudochina [Lour] DC) dengan Spektrofotometer
UV-Visibel. Skripsi Tidak
Diterbitkan. Fakultas Farmasi. Padang. Universitas Anadalas.
Hidayat, S. 2000. Prospek Papaya Gunung Carica
pubescens Lenne & K. Koch dari Sikunang Pegunungan Dieng, Wonosobo. Proseding Seminar Hari Cinta Puspa dan Satwa
Nasional. Bogor.
Indranila
dan Maria Ulfah. 2015. Uji
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Karika (Carica pubescens)
dengan Metode Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) Berserta Identifikasi Senyawa Alkaloid, Fenol dan Flavonoid.
Prosiding
Seminar Nasional Peluang Herbal Sebagai Alternatif
Medicine. Semarang.
Khotimah, Khusnul. 2016. Skrining Fitokimia dan
Identifikasi Metabolit Sekunder Senyawa Karpain pada Ekstrak Metanol Daun Carica pubescens Lenne & K. Koch
dengan LC/MS (Liquid Chromatograph-tandem
Mass Spectrometry). Skripsi
Diterbitkan. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Malang.
Malang.
Laily A. N, dkk.
2012. Karakterisasi Carica pubescens Lenne & K. Koch Berdasarkan
Morfologi, Kapasitas Antioksidan, dan Pola Pita Protein di Dataran Tinggi
Dieng. Nusantara Bioscience.
4: 16-21.
Marlina, S.D. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis
Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edule
Jacq. Swartz) dalam Ekstrak Etanol. Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta. Biofarmasi.
3(1): 26-31.
Melawaty, L. 2010. Ekstraksi Pigmen Antosianin Paprika Merah (Capsicum anuum) dengan Menggunakan Asam
Tartarat. Laporan Penelitian.Teknik
Kimia UKI-Paulus. Makasar.
Minarno, E.B. 2015. Skrining
Fitokimia dan Kandungan Total Flavanoid Pada Buah Carica pubescens Lenne
& K. Koch di Kawasan Bromo, Cangar, dan Dataran Tinggi Dieng. El-Hayah. Vol. 5,
No.2.
Moya-Leon,
M.A. Mario Moya. dan Raul Herrera. 2004. Ripening of Mountain Papaya (Vasconcellea
pubescens) and Ethylene Dependence of Some Ripening Events. Postharvest Biology and Technology 34:
211–218.
Novalina, D. Sugiyarto. dan Ari Susilowati. 2013. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Carica pubescens dari Dataran
Tinggi Dieng terhadap Bakteri Penyebab Penyakit Diare. El-Vivo.Vol.1, No.1, Hal 1-12.
Nurhayati, N. 2012. Populasi dan Karakter Morfologi Tanaman Carica pubescens di Dataran Tinggi
Dieng. Tesis Tidak Diterbitkan. Prodi
Biosain PPS Universitas Sebelas Maret.
Prashant, dkk.
2011. Phytochemical Screening and Extraction. Internationale Pharmaceutica Sciencia. 1(1): 1-9.
Robinson, T. 1995. Kandungan
Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Bandung: ITB Press.
Setyowati, W.A., Sri Retno., Ashadi., Bakti Mulyani., dan Cici Putri. 2014.
Skrining Fitokimia dan identifikasi komponen Utama Ekstrak Metanol Kulit durian
(Durio zibethinus Murr.) Varietas Petruk. Seminar Nasional dan Pendidikan
Kimia VI.UNS Surakarta.
Siadi, K. 2012. Ekstrak Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropa curcas) sebagai Biopestisida
yang Efektif dengan Penambahan larutan NaCl. Jurnal Mipa. 35(2): 77-83.
Sugiyarto. 2012. Sebaran Sistem
Budidaya Carica pubescens di Dataran Tinggi Dieng Serta Potensi Transplantasinya
ke Daerah lain. Seminar Nasional Biodiversitas V. Airlangga. Surabaya
Supono. Sugiyarto.
dan Ari Susilowati. 2014. Potensi Ekstrak Biji Karika (Carica pubescens)
sebagai Larvasida Nyamuk Aedes Aegypti. El-Vivo. Vol.2. No.1, Hal 78-89.
Uribe, Elsa dkk. 2015.
Extraction Techniques for Bioactive Compounds and Antioxidant Capacity
Determination of Chilean Papaya (Vasconcellea pubescens) Fruit. Journal of
Chemistry.
LAMPIRAN
Pengeringan
buah C. pubescens
|
Simlisia
serbuk buah C. pubescens
|
Proses
Maserasi
|
Proses
pemekatan ekstrak
|
Ekstrak
pekat: 1.etanol; 2. N-Heksana
|
Uji kualitatif ekstrak buah c. pubescens
|
0 Komentar