“Sebuah Kisah tentang Hati Patah yang Menolak Pasrah”
Iya, blurb novel karya Azhar Nurun Ala yang satu ini hanya sebaris kalimat itu.
Lelaki Pilihan Maharani merupakan buku kedua dari serial Maharani. Tentang seorang sarjana Biologi yang memilih menjadi petani kangkung yang sukses agar layak bersanding dengan wanita anggun bernama Maharani. Namun, niat mulia itu tersandung restu dari sang ayah wanita. Kalian bisa membaca sekilas ulasan buku pertama Mahar untuk Maharani di sini
Di buku kedua ini usaha Salman untuk meluluhkan hati Pak Umar—ayah Maharani—kian sulit. Ditambah kemunculan second lead, Ajran Kabiran, sahabat sekaligus malaikat penyelamat Salman yang juga jatuh hati pada Maharani. Konflik cerita cinta segitiga pun kian kompleks. Novel cinta segitiga mungkin sudah banyak dikisahkan dengan alur berbeda. Namun, justru di situlah letak keseruannya. Kita diajak memilih antara memperjuangkan atau merelakan cinta.
Maharani dilema memilih antara Salman, sahabat kecil yang ia cintai tapi tak direstui atau Ajran lelaki baik dan mapan yang ayahnya pilihkan. Singkat kata, Maharani menerima pinangan Ajran, yang kemudian keputusannya itu ia sesali. Dengan suara mengiba, Maharani memohon pembatalan pertunangan. Sayangnya, Pak Umar, si lelaki berhati dingin, menganggap permintaan putrinya itu hanya angin lalu saja. Sang ayah percaya, cinta hanya masalah waktu. Witing tresno jalaran soko kulino. Cinta bisa tumbuh dengan seiring berjalannya waktu. Pak Umar lupa, bagaimana cinta bisa tumbuh jika tak pernah ditanam?
Marahani panik. Ia tak ingin menikah dengan lelaki asing. Alih-alih menghadapi masalah, Maharani malah minggat dari rumah. Sebuah tindakan yang childish sekali menurut saya. Toh, Ajran sebenarnya tipikal lelaki yang gak neko-neko. Saya pun tersulut emosi, apaan sih, Maharani ini? drama banget.
Namun, setelah beberapa lembar melanjutkan bacaan saya sebagai perempuan kemudian tersadar. Bagi perempuan perasaan adalah nomor satu. Kenyamanan hati lebih berarti. Jika di posisi Maharani saya juga akan kalut. Bayangan dinikahkan dengan orang yang tidak dicintai pastilah bagai momok mengerikan. Meski sebenarnya Ajran adalah lelaki yang baik. Tapi, kembali lagi, tak ada tawar menawar untuk urusan hati. Kita tidak bisa memilih kepada siapa ia jatuh, kepada siapa ia berlabuh. Begitulah cinta.
Ajran, ia adalah laki-laki pekerja keras yang selalu merencanakan masa depan dengan matang. Semua rencana disusun dan sudah diperhitungkan. Fokus dan tak pernah tergoda dengan yang namanya pacaran. Lugu soal perempuan. Nol besar dalam urusan percintaan. Saya tergelak saat ia mengirim pesan pertama pada Maharani. Niat hati ingin bersikap romantis malah berakhir miris.
Salman, ia juga laki-laki baik jago silat yang kebetulan kenal Maharani duluan. Humoris dan nyambung secara obrolan. Bersama Salman, percakapan absurd dan tak berfaedah terasa menyenangkan. Jelas saja Maharani lebih nyaman dengan Salman. Sifatnya sederhana dan tidak mau banyak. Merasa puas dengan apa yang membuat hatinya merasa utuh. Dan ia menemukan keutuhan itu dalam sosok Maharani. Jadi, ini dia alasan kegetolan Salman mempertahankan Maharani meski sudah dilamar oleh sahabatnya sendiri.
Lalu siapakah yang akan
memenangkan hati Maharani? Kalian baca sendiri, ya?
Ada satu percakapan antara Salman dan Ajran yang paling mengena di hati saya sebagai pembaca:
“Manusia memang cenderung ngelihat kesulitan sebagai sebuah ketidakadilan. Itu normal, kok. Tapi, ngerasa bahwa setiap hal dalam hidup harus selalu berjalan sesuai keinginan kita adalah penyakit yang bakal menelan kita hidup-hidup.”
Sebenarnya saya sempat kesal dengan tokoh Maharani, demi memenangkan hati gadis itu, persahabatan Salman dan Ajran yang sudah lama terjalin, menjadi retak. Ditambah lagi, tokoh Maharani tidak dijabarkan sespesial itu. Hanya gadis lulusan pesantren yang mendapat beasiswa ke Mesir. Sepanjang buku ini, saya mencari-cari nilai plus dari seorang Maharani. Persaingan yang begitu ketat antara Salman dan Ajran membuat saya berekspetasi pastilah sosok Maharani mirip Zahrana dalam Novel Cinta Suci Zahrana. Perempuan cerdas dengan segudang prestasi luar biasa yang membanggakan. Sayangnya, saya tak menemukan itu, Kak Azhar hanya mengunakan kata “cantik” dan “anggun” untuk menggambarkan seorang Maharani.
Namun, setelah menamatkan buku ini kembali saya menyadari bahwa—kalau meminjam istilah generasi milenial— ke-uwu-an sebuah cerita cinta tak harus lahir dari karakter mahasempurna. Relationship goals bisa datang dari siapa saja dengan secara yang sederhana. Karena setiap dari kita adalah sumber cinta.
Terima kasih sudah membaca.
31 Komentar
Bicara cinta dan wanita memang pelik, kalaupun selalu ada drama faktanya memang seperti itu. Apalagi wanita dan perasaannya terkadang ambigu untuk didefinisikan...
BalasHapusKerennnn Mbaakkkk👍👍
Kalau di istilah jawa, lanang menang milih, wong wadon menang nolak. Laki-laki bebas menunjuk/memilih tapi wanita bebas menentukan siapa yang dia terima.
HapusIyes, mbaa. Alasan klise: aku udah nyaman sama diaaa, kwkwkw.
HapusKeren Mbak tulisannya, mudah sekali dipahami. Setelah baca tulisan ini malah jadi penasaran sama bukunya hehe
BalasHapusB aja sebenarnya bukunya, hehe
HapusKalau di istilah jawa, wong lanang menang milih, wong wadon menang nolak. Laki-laki bebas menunjuk/memilih tapi wanita bebas menentukan siapa yang dia terima.
BalasHapusIya, kak. Meski keputusan mutlak tergantung orang tua
HapusAaahh bagus mbaak tulisannya.. jadi lebih faham kenapa orang yang Nyawang selalu berkomentar..wkwkwkwk
BalasHapusKwkwkww
HapusJadi ingat sebuah lagu (dengan diedit sepelunya):
BalasHapusCinta itu sederhana... Yang rumit itu bapakmu
Mencintaimu itu mudah... Yang sulit adalah membuat bapakmu juga merestuiku
Pak, terimalah aku jadi mantumu
HapusKalau masalah cinta, aahh sudahlah hanya hati yang bisa menilai hehe
BalasHapusCinta tak kenal logika
HapusKalau kata mba Nana, jangan cari pembenaran cinta di akal, nggak akan pernah ketemu. Tapi cari pembenarannya di hati.
BalasHapusEaaa.....
HapusKita bisa menikah dengan siapa saja, tapi kita tidak bisa menghindar pada siapa hati akan jatuh. Hiyaaa. Btw Salman nama anaknya Azhar Nurun Ala juga ya..
BalasHapusIyaa kak
HapusAda hal yang gak bisa dikatakan dan hanya tindakan ... terutama wanita ... itu misteri ...bisa berkata iya ... padahal tidak ... dan itu selalu menyelamatkan wanita itu ... begitu Maharani ... kueren novel ini ... pernah baca sekilas tapi blm selesai ...
BalasHapusMasih ada buku ke- 3 nya kwkwk
Hapuswah yg sangat saya notice malah kutipannya mbak, keren, "manusia terkadang memandang kesulitan sebagai ketidakadilan", reminder nih heheh
BalasHapusIya mba, berasa nampol kalimatnya
Hapuswah wah kalau sudah membahas yang namanya cinta, abjad a-z tak akan usai membahasnya.
BalasHapustapi ngomong paragraf setelah gambar itu asli dari bukunya bukan? hehe maklum belum pernah baca..
Engga, Kak. Itu saya yg nulis, kecuali yg warna ungu
Hapuskalimat-kalimat Kak Jul yang nyeritain lagi novelnya membuat yang baca kebawa, jadi penasaran pengen baca kelanjutannya kisah mereka gimanaa :)
BalasHapusLoh, ini review bukunya Azhar Nurun Ala toh. Aku punya bukunya yang Seribu wajah Ayah & Tuhan Maha Romantis, tapi nggak tamat kubaca. Hehe...
BalasHapusReview bukunya keren sekali, aku kebawa emosi. Penasaran juga isi ceritanya gimana. Aku suka.
Bagus kak review novelnya, aku jadi penasaran.
BalasHapusTapi memang benar sih, urusan cinta mah nggak bisa dipaksa, walau itu mungkin untuk kebaikan kita sekali pun. Tapi tetap saja, dengan seiring waktu cinta baru 'pun akan bersemi ...
Ah... Rasanya jadi pengen segera beli bukunya terus baca😂 Keren kak, bahasanya bisa ngalir gitu, enak
BalasHapusSuatu kalimat yang indah tentang makna cinta, sebuah renungan untuk kita "Karena setiap dari kita adalah sumber cinta"
BalasHapusiyasih klo aku jadi maharani pasti bingung juga
BalasHapusUhuk, jadi teringat waktu ituu...
BalasHapusGara - gara review ini, jadi pengen baca bukunya
BalasHapus