SKRINING FITOKIMIA PADA EKSTRAK BUAH Carica pubescens Lenne & K. Koch




KOMPETISI PENELITIAN MAHASISWA

SKRINING FITOKIMIA PADA EKSTRAK BUAH Carica pubescens Lenne & K. Koch DENGAN PELARUT BERBEDA



Oleh:
Juliana Afni Sitorus (12620063)






FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016



  ABSTRAK

Sitorus, Juliana Afni. 2016. Skrining Fitokimia pada Ekstrak Buah Carica pubescens Lenne & K. Koch dengan Pelarut Berbeda. Jurusan Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Pembimbing I: Dr. Eko Budi Minarno, M.Pd.


Kata kunci: Carica pubescens, skrining fitokimia, metabolit sekunder
.
Carica pubescens merupakan tumbuhan yang memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan Carica papaya yang tumbuh di ketinggian 1.400-2.400 m dpl. C. pubescens bidang kesehatan sebagai antibakteri, aspek lingkungan sebagai pestisida alami, aspek gizi sebagai antioksidan. Melihat potensi C. pubescens, maka perlu dilakukan identifikasi kandungan metabolit sekunder melalui skrining fitokimia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa kimia buah C. pubescens dengan pelarut berbeda.
 Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Skrining fitokimia diawali dengan pembuatan ekstrak kemudian uji reaksi warna untuk identifikasi alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, triterpenoid dan minyak atsiri.
Kandungan fitokimia pada daging buah C. pubescens dengan pelarut etanol 70% diantaranya polifenol dan tanin, flavonoid, saponin, triterpenoid, dan alkaloid pada pereaksi Mayer dan dragendoff, negatif pada pereaksi Wagner dan minyak atsiri. Pada pelarut n-Heksana positif mengandung triterpenoid dan minyak atsiri.




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penciptaan alam berserta isinya semata-mata untuk kesejahteraan makhluk-Nya, satu diantara ciptaan-Nya adalah tumbuhan. Allah SWT berfirman dalam surah as-Syu’araa ayat 7:
öNs9urr& (#÷rttƒ n<Î) ÇÚöF{$# ö/x. $oY÷Gu;/Rr& $pkŽÏù `ÏB Èe@ä. 8l÷ry AOƒÍx. ÇÐÈ  
dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami tumbuhkan tumbuhan yang baik?”

Surah as-Syu’araa ayat 7 menjelaskan bahwa penciptaan tumbuh-tumbuhan merupakan tanda-tanda kebesaran-Nya (ash-Shiddieqy, 2000). Kata “kariim” berarti baik dan mulia. Adapun asal katanya yaitu al karam dalam bahasa Arab adalah al fadhl  (keutamaan). Nabatat al ardhu dan anbatat mempunyai arti yang sama yaitu menumbuhkan (Tafsir Al Qurthubi, 2009), sehingga tumbuhan baik pada ayat tersebut dapat dimaknai bahwa tumbuhan mempunyai keutamaan dan keistimewaan.
Carica pubescens Lenne & K. Koch merupakan satu diantara tumbuhan baik seperti penjelasan surah as-Syu’araa ayat 7. C. pubescens termasuk dalam Familia Caricaceae yang memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan Carica papaya (Laily, 2012). C. pubescens dikatakan sebagai tumbuhan baik terkait aspek manfaatnya di bidang kesehatan sebagai antibakteri (Novalina dkk, 2013), aspek lingkungan sebagai pestisida alami (Supono dkk, 2014), aspek gizi sebagai antioksidan (Fatchurrozak, 2013; Indranila dkk, 2015). Tanaman dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional apabila tanaman tersebut mengandung senyawa kimia yang mempunyai aktivitas biologis (zat bioakif).
Studi mengenai tanaman obat dan potensinya untuk kesehatan dewasa ini banyak dikembangkan, tidak terkecuali penelitian pada tanaman C. pubescens. Aktivitas biologis tanaman sebagai obat dikaitkan dengan kandungan metabolit sekundernya. Menurut Hayati (2010), metabolit sekunder adalah senyawa hasil biogenesis dari metabolit primer. Umumnya dihasilkan oleh tumbuhan tingkat tinggi, yang bukan merupakan senyawa penentu kelangsungan hidup secara langsung, tetapi lebih sebagai hasil mekanisme pertahanan diri organisme. Kandungan senyawa metabolit sekunder telah terbukti bekerja sebagai derivate antikanker, antibakteri dan antioksidan, antara lain adalah golongan alkaloid, tanin, golongan polifenol dan turunanya.
Metode pendekatan yang dapat memberikan informasi ada tidaknya senyawa metabolit sekunder dalam tanaman yaitu metode skrining fitokimia (Harborne, 1987). Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti. Metode skrining fitokimia dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna. Hal penting yang berperan penting dalam skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi (Kristianti dkk., 2008).
Menurut Harborne (1984) senyawa metabolit sekunder yang umum terdapat pada tanaman adalah : alkaloid, flavanoid, steroid, saponin, terpenoid dan tannin. Flavonoid berfungsi untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektifitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang, sebagai antibiotik (Haris, 2011) dan antioksidan (Fanny, 2014). Alkaloid kebanyakan bersifat racun, tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan. Alkaloid mempunyai efek berupa pemicu sistem saraf, menaikkan tekanan darah, mengurangi rasa sakit, antimikroba, obat penenang, obat penyakit jantung (Simbala, 2009 dalam Aksara, 2013). Saponin, flavanoid, dan tanin dapat dimanfaatkan sebagai larvasida nabati (Kardinan, 2002 dalam Supono dkk, 2014). Senyawa alkaloid, polifenol dan flavonoid dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan (Tjay dan Raharja, 2010). Hasil penelitian Indranila dkk., (2015) menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun C. pubescens  mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, dan fenol yang mempunyai aktivitas antioksidan.
Di Indonesia tanaman C. pubescens dapat dijumpai di kawasan Bromo dan Cangar Jawa Timur, serta Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah (Minarno, 2015). C. pubescens yang tumbuh di dataran tinggi Dieng telah banyak dilakukan berbeda halnya dengan di kawasan Bromo dan Cangar. Berdasarkan observasi pendahuluan peneliti pada tanggal 07 April 2016, C. pubescens secara kuantitas yang tumbuh di Bromo lebih luas dan seragam dibandingkan dengan di kawasan Cangar. Skrining fitokimia pada ekstrak buah C. pubescens dengan pelarut berbeda yang berasal dari kawasan Bromo Jawa Timur relatif belum pernah dilakukan, sehingga menjadi pertimbangan tempat pengambilan sampel.
Pemilihan pelarut yang sesuai merupakan faktor penting dalam proses ekstraksi (Depkes RI, 2008). Macam pelarut dan tingkat kepolaran pelarut yang dipakai dalam proses  ekstraksi dapat mempengaruhi proporsi senyawa-senyawa kandungan yang tersari (Arista, 2013). Golongan triterpenoid/ steroid merupakan senyawa yang larut dalam pelarut non polar seperti n-heksan, sedangkan golongan alkaloid termasuk senyawa semi polar yang dapat larut dalam pelarut semi polar. Sedangkan senyawa flavonoid dan tanin dapat larut dalam pelarut polar seperti metanol, etanol, etilasetat atau pelarut polar lainnya (Harbourne, 1984).
Etanol dan air sudah umum digunakan sebagai pelarut di bidang pangan dan obat-obatan dan cenderung lebih aman serta ramah lingkungan dibandingkan metanol, etil, dan aseton (Melawaty, 2010). n-Heksana merupakan salah satu pelarut yang baik untuk mengekstraksi senyawa-senyawa yang bersifat non-polar karena memiliki beberapa keunggulan, diantaranya karena pelarut ini bersifat relatif stabil, mudah menguap serta selektif dalam melarutkan zat (Satria, 2013).
Berdasarkan pemaparan latar belakang, penelitian Skrining Fitokimia pada Ekstrak Buah Carica pubescens Lenne & K. Koch dengan Pelarut Berbeda penting untuk dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut.
1.      Bagaimanakah kandungan fitokimia ekstrak buah C. pubescens dengan pelarut berbeda?
1.3 Tujuan
Tujuan dalam penelitian adalah sebagai berikut.
1.      Untuk mengetahui kandungan fitokimia ekstrak buah C. pubescens dengan pelarut berbeda

1.4 Manfaat
1.      Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan data mengenai pemanfaatan C. pubescens, sehingga C. pubescens dikonservasi
2.      Hasil skrining fitokimia ekstrak C. pubescens dapat dijadikan suatu upaya pengembangan C. pubescens menjadi satu dari tanaman yang memiliki khasiat sebagai tanaman obat
3.      Sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai penelitian C. pubescens yang ada di Indonesia

1.5 Batasan Masalah
            Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
  1. Buah C. pubescens yang digunakan berasal dari kawasan Bromo, Jawa Timur pada ketinggian 1.800 meter dpl
  2. Buah  yang digunakan adalah buah mentah dengan karekateristik kulit buah berwarna hijau dengan tektur keras
  3. Tahap ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi dengan pelarut polar (etanol 70%) dan non polar (n-heksan)




BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan dalam Al-Qur’an
Satu tanda kebesaran Allah SWT yaitu penciptaan tumbuhan beraneka ragam baik yang serupa dan tidak serupa. Allah berfirman dalam surah Al-Luqman ayat 10 :
t,n=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÎŽötóÎ/ 7uHxå $pktX÷rts? ( 4s+ø9r&ur Îû ÇÚöF{$# zÓźuru br& yÏJs? öNä3Î/ £]t/ur $pkŽÏù `ÏB Èe@ä. 7p­/!#yŠ 4 $uZø9tRr&ur z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB $oY÷Gu;/Rr'sù $pkŽÏù `ÏB Èe@à2 8l÷ry AOƒÍx. ÇÊÉÈ  
“Dia menciptkan langit tanpa tiang sebagaimana kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi agar ia (bumi) tidak menggoyahkan kamu; dan memperkembangbiakkan segala jenis makhluk ergerak yang bernyawa di bumi. Dan kami turunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik”

Surah Luqman ayat 10 menjelaskan tentang beberapa tanda dan bukti kekuasaan Allah yang terdapat di bumi, satu diantaranya penciptaan tumbuhan. Kata anbatat artinya menumbuhkan sedangkan kata zaujun artinya jenis (Al-Qurthubi, 2009) dan kata kariim artinya mulia dan banyak manfaatnya (Al-Maragi, 1992). Dengan demikian ayat tersebut dapat ditafsirkan bahwa Allah menurunkan air dari langit yakni air hujan dan dengan air hujan tumbuhlah berbagai macam tumbuhan beraneka ragam dengan warna yang indah dan banyak manfaatnya (Departemen Agama RI, 2010). Tumbuhan memiliki banyak manfaat dikarenakan kandungan senyawanya yang berkhasiat. 
Khasiat tumbuahan bagi kesehatan dewasa ini banyak dikembangkan. Hal ini dikarenakan pengobatan dengan tumbuhan relatif lebih aman dibandingkan dengan obat-obat sintesis. Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (2004)  pada zaman Rasulullah SAW terdapat 3 metode pengobatan yang diajarkan, diantaranya: metode alamiah yaitu menggunakan herbal atau tanaman obat sebagai pengobatan; pengobatan Ilahiah yaitu pengobatan yang dilakukan dengan memanjatkan do’a kepada Allah swt agar diberikan kesembuhan; metode ilmiah yaitu kombinasi dari kedua jenis pengobatan tersebut. Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan Bukhari:
مَا أنزل الله داءً إلا أنزل له شفاءً
Abu Hurairah r.a berkata bahwa Rasulullah bersabda, “setiap penyakit yang diturunkan Allah pasti Dia turunkan juga obatnya.
Hadits di atas menjelaskan bahwa syariat Islam telah memotivasi seluruh manusia unruk berobat dalam rangka menjaga jiwa dan mengingatkan bahwa Allah telah menciptakan obat bagi setiap penyakit. Islam juga memotivasi umatnya untuk mencari dan menyingkap usaha-usaha duniawi yang telah dikuasakan oleh Allah kepada manusia. At-tanzil (penurunan) penyakit yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah merupakan penurunan alamiah oleh makhluk (secara alami). Dalil tersebut merupakan petunujuk kepada para hamba agar berupaya dan berusaha mencari kebaikan bagi kesehatan di dunia (Fathullah, 2010 ).

2.2 Carica pubescens Lenne & K Koch
            Carica pubescens Lenne & K. Koch merupakan satu diantara jenis tumbuh-tumbuhan yang dimaksud surah Al-Luqman ayat 10.  C. pubescens merupakan buah asli dari Amerika Selatan dan telah terdistribusi secara luas di seluruh Andean. Spesies ini diperkenalkan di Chili sejak 50 tahun lalu dan disebut juga sebagai pepaya Chili. Pepaya Chili termasuk famili Caricaceae dengan nama ilmiah Vasconcellea  pubescens (Morales-Quintana, 2011 dalam Uribe, 2015). V. pubescens  sinonim dari V. cundinamarcensis,  C. pubescens, awalnya disebut C. candamarcensis (Badillo, 2000; Van Droogenbroeck dkk, 2002).
Di Indonesia tanaman C. pubescens penyebaranya masih sangat terbatas, karena membutuhkan kondisi klimatik dan edafik yang sangat khusus untuk memperluas daerah distribusi tanaman C. pubescens misalnya temperatur yang rendah dan curah hujan yang tinggi serta kesediaan unsur hara dalam tanah (Sugiyarto, 2012). C. pubescens tumbuh di tempat dengan ketinggian 1.400-2.400 meter di atas permukaan laut (dpl), sehingga sering disebut pula pepaya gunung atau karika (Laily dkk., 2012).
2.2.1 Klasifikasi
Klasifikasi C. pubescens menurut Conquist (1981) dalam Undang (1991) adalah sebagai berikut.
Divisi               : Magnoliophyta
Class                : Magnoliopsida
Ordo                : Dilleniidae
Famili              : Caricaceae
Genus              : Carica
Spesies            : Carica pubescens Lenne & K. Koch

2.2.2 Nama Daerah
            Di indonesia, C. pubescens dikenal dengan nama pepaya gunung atau pepaya mini (Hidayat, 2000). Di dataran Tinggi Dieng, tanaman ini dikenal dengan tiga nama yaitu: kates, gandul, dan karika. Dlam bahasa Jawa, kates dan gandul sama-sama berarti pepaya (C. papaya). Di Colombia, Bolivia dan Peru disebut mountain paw-paw. Di Santiago, dan Chile disebut Chilean papaya atau mountain papaya. Di Inggris disebut mountain papaya, di Perancis disebut chamburu chamburochiluacan, papaya de tierra fria (Natural Resources Conservation Service, 2010).

2.2.3 Deskripsi Morfologi
C. pubescens memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan Carica papaya. Tanaman ini sekilas tampak seperti pepaya akan tetapi memiliki karakter khusus yaitu pada daun bagian bawah, tangkai daun dan permukaan luar bunga dipenuhi rambut (Laily, 2012). C. pubescens merupakan perdu tidak berkayu dengan ketinggian antara 2-5 meter, mempunyai jumlah cabang yang banyak dengan ukuran semua bagian tanaman lebih kecil dibandingkan dengan pepaya pada umumnya. Daun C. pubescens merupakan daun tunggal yang berkumpul pada ujung batang dan ujung cabang (Nurhayati, 2012). Morfologi C. pubescens dapat dilihat pada gambar berikut.





Gambar 2.1 Morfologi Carica pubescen Lenne & K. Koch
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Laily (2012) memaparkan bahwa tanaman C. pubescens cenderung bercabang-cabang. Percabangan muncul setelah batang utama dipangkas. Satu pohon C. pubescens memiliki belasan cabang, semakin banyak cabang semakin banyak buahnya, serta lingkar diameter batang dapat dua kali lebih besar. C. pubescens termasuk ke dalam golongan tanaman berdaun tidak lengkap, yaitu hanya terdiri dari tangkai dan helaian saja. Berdasarkan susunan tulang daunnya termasuk ke dalam tipe daun menjari tanpa pelepah. Bunga C. pubescens merupakan bunga majemuk, dalam satu individu memepunyai tiga macam bunga, yaitu bunga jantan hanya mempunyai benang sari, bunga betina hanya mempunyai putik, dan bunga hermaprodit yang mempunyai benang sari dan kepala putik.
Buah C. pubescens memiliki beberapa perbedaan ciri dibanding dengan pepaya biasa (C. papaya) yaitu buah berukuran lebih kecil dengan panjang 7-10 cm dengan diameter 4-9 cm, (Hidayat, 2000). Gambar buah C. pubescens dapat dilihat pada gambar berikut.

                                           
Gambar 2.2 Buah C. pubescens Mentah (Kiri), Matang (Kanan)
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

               Daging buah C. pubescens lebih tipis dengan warna hijau ketika mentah dan kuning sedikit jingga ketika matang (Sanchez 1994 dalam Moya Leon 2004) dan rasanya masam. Keunikan lain dari C. pubescens adalah bijinya terbungkus (bersalut) lapisan berlendir, berserat dan berair dengan aroma yang lebih kuat dibanding daging buahnya (Laily dkk., 2012). Buah ini memiliki aroma yang kuat dikarenakan tingginya kandungan papain, karena itu perlu dimasak sebelum dimakan. Buah C. pubescens telah diklasifikasikan sebagai buah klimakterik (Sanchez 1994 dalam Moya Leon 2004).

2.2.4 Kandungan Kimia
            Carica pubescens memiliki senyawa kimia yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari. Simirgiotis (2009) menunjukkan teridentifikasinya 19 senyawa fenol pada buah yang tumbuh di Chili. Buah C. pubescens mengandung zat antioksidan yang mampu menangkal radikal bebas dan mengandung enzim pencernaan yang meningkatkan kerja alat pencernaan, absorbansi nutrien. C. pubescens kaya akan vitamin C, serat, dan enzim papain sebagaimana terdapat pada C. papaya (Hocman, 2007). Buah ini merupakan sumber kalsium, gula, vitamin A dan C (Wikipedia, 2011).
            C. pubescens banyak mengandung minyak atsiri yang merupakan turunan asam lemak. Buah C. pubescens  positif mengandung  flavanoid, polifenol, tanin, triterpenoid (Minarno, 2015) dan vitamin C (Fatchurruzak, 2013). Daunnya mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, tanin, dan fenol (Novalina, 2013). Menurut Fitriningrum (2013), bahwa buah C. pubescens kaya akan mikro nutrien seperti karbohidrat, protein, lemak, enzim pencernaan, kalsium gula, mengandung banyak serat gula dan minyak atsiri. Hasil penelitian yang dilakukan Sumaryono (2012), menunjukkan bahwa buahnya mengandung enzim papain adalah suatu zat (enzim) yang dapat diperoleh dari getah tanaman C. pubescens. Getah C. pubescens hampir terdapat di semua bagian tanaman kecuali bagian akar, dan biji. Kandungan papain paling banyak terdapat dalam buah yang masih muda. Selain itu, getah C. pubescens cukup banyak mengandung enzim yang bersifat proteolitik, atau enzim pengurai protein.

2.2.5 Manfaat
Daun C. pubencens dapat menyembuhkan penyakit akibat cacing kremi, menyembuhkan demam malaria, beri-beri, mengobati sariawan, sembelit, dan disentri amuba (Hidayat, 2000). Daun C. pubencens juga memiliki khasiat sebagai antibakteri yang dapat digunakan untuk terapi penyakit diare (Novalina, 2013). Selanjutnya hasil penelitian Indranila dkk., (2015) menunjukkan bahwa daun C. pubescens mempunyai aktivitas  antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 30,8 ppm.
Buah C. pubencens dapat mempercepat pencernaan karbohidrat dan lemak, menurunkan tekanan darah tinggi, memperlancarkan buang air besar, menyembuhkan radang sendi, epilepsi dan kencing manis yang muncul karena proses pencernaan makanan yang tidak sempurna (Hidayat, 2000). Karena kandungan papainnya buah C. pubencens dimanfaatkan di bidang farmakologi (untuk mengobati arteriosklerosis) dan sebagai pelunak daging (Sanchez 1994 dalam Moya Leon 2004).
 Biji C. pubencens dapat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit akibat cacing gelang, mengatasi gangguan pencernaan, menyebabkan abortivum, dan mengobati penyakit kulit. Pemberian ekstrak biji C. pubencens juga menyebabkan kematian pada larva nyamuk A. aegypti pada waktu pemaparan 24 dan 48 jam (Supono dkk, 2014). Getahnya dimanfaatkan sebagai obat luka bakar, jerawat, kutil, dan eksem. Akarnya dimanfaatkan sebagai obat cacing kremi, obat batu ginjal, obat sakit kandung kemih, obat encok, dan luka akibat gigitan ular berbisa.
2.2.6 Daerah Penyebaran
Penyebaran C. pubescens masih sangat terbatas, karena membutuhkan kondisi klimatik dan edafik yang sangat khusus untuk memperluas daerah distribusi tanaman C. pubescens misalnya temperatur yang rendah dan curah hujan yang tinggi serta kesediaan unsur hara dalam tanah (Sugiyarto, 2012). Di Indonesia, spesies ini dapat dijumpai di kawasan Bromo dan Cangar Jawa Timur, serta Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah (Minarno, 2015). C. pubescens diintroduksi ke Indonesia pada masa menjelang Perang Dunia II oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dan berhasil dikembangkan di pulau Jawa tepatnya dataran tinggi Dieng Kabupaten Wonosobo. Pengembangan C. pubescens di dataran tinggi Dieng  terdapat dibeberapa desayaitu desa Sikunang, Siterus Campursari, Patak Banteng, Kalilembu, Jojogan, Parikesit, dan Igimranak. Tanaman ini merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tepatnya dari dataran tinggi Andes, Amarika Selatan (Wikipedia, 2011). Natural Resoueces Conservation Service (2010) juga menyebutkan persebaran C. pubescens meliputi wilayah Panama, Venezuela, Bolivia, Colombia, Ekuador, dan Peru.

2.3 Skrining Fitokimia
               Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti. Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang diteliti. Metode skrining fitokimia dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna. Hal penting yang berperan penting dalam skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi (Kristanti dkk, 2008).
               Fitokimia merupakan ilmu pengetahuan yang menguraikan aspek kimia suatu tanaman. Kajian fitokimia meliputi uraian yang mencakup aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan disimpan dalam organisme, yaitu struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebaran secara alamiah dan fungsi biologisnya, isolasi dan perbandingan komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis tanaman (harborne, 1987; Sirait, 2007). Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri komponen bioaktif suatu ekstrak kasar yang mempunyai efek racun atau efek farmakologis lain yang bermanfaat apabila diujikan dengan sistem biologi atau bioassay (Harborne, 1987).

2.4 Metabolit Sekunder
Metabolisme pada makhluk hidup dapat dibagi menjadi metabolisme primer dan metabolisme sekunder. Metabolisme primer pada tumbuhan, seperti respirasi dan fotosintesis, merupakan proses yang esensial bagi kehidupan tumbuhan. tanpa adanya metabolisme primer, metabolisme sekunder merupakan proses yang tidak esensial bagi kehidupan organisme. Tidak adanya atau hilangnya metabolit sekunder tidal menyebabkan kematian secara langsung, akan tetapi dapat menyebabkan berkurangnya ketahanan hidup tumbuhan secara tidak langsung (misalnya dari serangan herbivordan hama), ketahanan terhadap penyakit, estetika, atau bahakan tidak memberikan efek sama sekali bagi tumbuhan tersebut (Anggarwulan dan Solichatun, 2001).
Pada fase pertumbuhan, tumbuhan utamanya memproduksi metabolit primer, sedangkan metabolit sekunder belum tentu atau sedikit diproduksi. Sedangkan metabolit sekunder terjadi terjadi saat sel yang lebih terspesilisasi (fase stasioner) (Najib, 2006). Metabolit sekunder yang terdapat pada bahan alam merupakan hasil metabolit primer yang mengalami reaksi yang spesifik sehingga mengahasilakan senyawa-senyawa tertentu (Khatimah, 2016).
Metabolit sekunder merupkan produk metabolisme yang khas pada suatu tanaman olh suatu organ tapi tidak dimanfaatkan secara langsung sebagai sumber energi bagi tanaman tersebut ( taiz dan Zeiger, 1998 dalam Khatimah, 2016). Metabolit sekunder tanaman dihasilkan melalui reaksi metabolisme sekunder dari bahan organik primer (karbohidrat, protein dan lemak) (Anggarwulan dan Solichatun, 2001). Metabolit sekunder merupakan senyawa yang disintesis tanaman dan digolongkan menjadi lima yaitu glikosida, terpenoid, fenol, flavonoid dan alkaloid (Vickery dan Vickery, 1981).
Metabolit sekunder disebut juga dengan fitoaleksin. Fitoaleksin didefinisikan sebagai senyawa kimia yang mempunyai berat molekul rendah dan memiliki sifat antimokroba atau antiparasit. Senyawa ini diproduksi oleh tanaman pada waktu mengalami infeksi atau cekaman (stress) lingkungan. Fitoaleksin merupakan senyawa kimia yang berasal dan derivat flavonoid dan isoflavon, turunan sederhana dari fenilpropanoid, dan dari sesquiterpens. Fitoaleksin berasal dari biosintesis metabolit primer yaitu seperti 6-methoxymellein dan sesquiterpens serta derivat dari sam melonat dan jalur biosintesa deoksiselulosa difosfat. Biosintesis fitoaleksin menggunakan prekursor yang berasal dari jalur metabolit sekunder (Hammerschimidtt, 1999 dalam Khatimah, 2016). Bagan hubungan biosintesis metabolit primer menjadi metabolit sekunder dapat dilihat pada gambar 22.


Gambar 2.3 Bagan Hubungan Biosintesis Metabolit Primer menjadi Metabolit Sekunder (Sastrohamidjojo, 1996 dalam Khatimah, 2016)


Metabolit primer (polisakarida, protein, lemak dan asam nukleat) merupakan penyusun utama makhluk hidup, sedangkan metabolit sekunder meski tidak sangat penting bagi eksistensi suatu makhluk hidup tetapi sering berperan menghadapi spesies-spesies lain, misalnya zat kimia untuk pertahanan, penarik seks, feromon (Manitto, 1981) untuk bertahan terhadap predator, kompetitor dan untuk  mendukung proses reproduksi (Herbert, 1996). Menurut Harborne (1984) senyawa metabolit sekunder yang umum terdapat pada tanaman adalah: alkaloida, flavanoid, steroid, saponin, terpenoid dan tannin.

2.4.1. Alkaloida
               Alkaloid berasal dari dua suku kata yaitu “alkali” yang berarti basa dan “oid” yang berarti mirip sehingga pengertian alkaloida adalah senyawa yang mengandung nitrogen bersifat basa dan mempunyai aktivitas farmakologis. Alkaloid pada umumnya merupakan senyawa padat, berbentuk kristal atau amorf, tidak berwarna dan rasanya pahit. Dalam bentuk bebas alkaloida merupakan basa lemah yang sukar larut dalam air tetapi mudah larut dalam pelarut organik. Untuk identifikasi biasanya dilakukan dengan menggunakan larutan pereaksi yang dapat membentuk endapan dengan alkaloida, misalnya pereksi meyer, dragendorff (Rusdi, 1988).
Gambar 2.3 Struktur Inti Alkaloid

Alkaloid juga merupakan golongan zat metabolit sekunder yang terbesar, yang pada saat ini telah diketahui sekitar 5500 buah. Alkaloid pada umumnya mempunyai keaktifan fisiologi  yang menonjol, sehingga oleh manusia alkaloid sering dimanfaatkan untuk  pengobatan.  Struktur dari alkaloid beranekaragam, dari mulai alkaloid berstruktur  sederhana sampai yang rumit. Salah satu alkaloid yang mempunyai struktur tersederhana adalah nikotina, tetapi nikotina ini dampak fisiologinya cukup besar (Rustaman, 2006).
Kelompok senyawa alkaloid terdiri dari alkaloid sesungguhnya, protoalkaloid, dan pseudoalkaloid. Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas phisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, lazim mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklis, diturunkan dari asam amino, dan biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organik. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana dalam nitrogen asam amino tidak terdapat cincin heterosiklis, dan diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino, dan biasanya senyawa ini bersifat basa (Sastrohamidjojo, 1996).

2.4.2 Flavonoid
               Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar, mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, terutama konfigurasi C6-C3-C6 artinya, kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzen tersubtitusi) yang dihubungkan oleh alifatis tiga karbon. Flavonioda mencakup banyak pigmen terdapat pada tumbuhan (Robinson 1995). Struktur flavonoid dapat dilihat pada gambar berikut ini.


Gambar 2.4 Struktur Flavonoid (Sumber: Redha, 2010)

Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna (Harbone 1987). Flavonoid dapat diklasifikasikan menjadi flavon, flavonol, flavonon, flavononon, isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin, dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007).
Flavonoid memberikan konstribusi keindahan dan kesemarakan pada buah-buahan di alam. Flavon memberikan warna kuning atau jingga, antosianin memberikan warna merah, ungu atau biru, yaitu semua warna yang terdapat pada pelangi kecuali warna hijau (Sastrohamidjojo 1996). Flavonoid pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson, 1995).
Kegunaan flavonoid juga ditemukan dalam kehidupan manusia. Flavon bekerja sebagai stimulan pada jantung, hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidroksilasi bekerja sebagai diuretik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait 2007). Flavonoid dalam tubuh bertindak menghambat enzim lipooksiginase yang berperan dalam biosintesis prostaglandin. Hal ini disebabkan flavonoida merupakan senyawa pereduksi yang baik sehingga akan menghambat reaksi oksidasi (Robinson, 1995).



2.4.3. Tanin
Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yang termasuk ke dalam golongan polifenol. Tanin tersebar luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat  khusus dalam jaringan kayu. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung silang protein. Di dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma, tetapi bila jaringan rusak, misalnya bila hewan memakannya, maka reaksi penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan pecernaan hewan. Sebagian besar tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat.

2.4.4. Saponin
               Saponin merupakan senyawa glokosida kompleks dengan berat molekul tinggi yang dihasilkan terutama oleh tanaman. Diberi nama saponin karena sifatnya menyerupai sabun (bahasa Latin “sapo” berarti sabun). Berdasarkan struktur kimianya, saponin dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu kelas steroid, kelas steroid alkaloid, dan kelas triterpenoid. Sifat yang khas dari saponin antara lain berasa pahit dan berbusa dalam air (Sukadana, 2007).




Gambar 2.5 Struktur Saponin (Sumber: Robinson, 1995)

               Menurut Harborne (1984), saponin adalah glikosida triterpen dan sterol. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa yang stabil dalam air dan menghomolisis sel darah merah. Dari segi pemanfaatan, saponin sangat ekonomis sebagai bahan baku pembuatan hormon steroid, tetapi saponin kadang-kadang dapat menyebabkan keracunan pada ternak (Robinson, 1991).

2.4.5. Triterpen dan Steroid
Triterpen adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintersis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualen. Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tak berwarna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan optis aktif, yang umurnya sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan kimianya.





Gambar 2.6 Struktur Inti (a) Terpenoid dan (b) Steroid

Uji yang banyak digunakan adalah Lieberman-Buchard yang dengan kebanyakan triterpen dan sterol memberikan warna hijau biru. Triterpen sekurang-kurangnya dapat dibagi menjadi empat golongan  senyawa: triterpena sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Kedua golongan yang terakhir sebenarnya triterpen atau steroid yang terutama terdapat pada  glokosida (Rustaman, 2006).

Sterol adalah triterpen yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana  perhidrofenantrena. Dahulu sterol dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormon  kelamin, asam empedu, dan lain-lain), tetapi pada tahun-tahun terakhir ini makin  banyak senyawa tersebut yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Sterol tertentu  hanya terdapat dalam tumbuhan rendah, contohnya ergosterol yang terdapat pada  kamir dan sejumlah jamur. Sterol lainnya terutama terdapat juga dalam tumbuhan  rendah, tetapi kadang-kadang terdapat juga dalam berbagai tumbuhan tinggi,  misalnya fukosterol, yaitu steroid utama pada alga coklat dan juga terdeteksi pada kelapa (Rustaman, 2006).

2.4.6. Minyak Atsiri
Minyak atsiri bukanlah senyawa murni akan tetapi merupakan campuran senyawa organik yang kadang kala terdiri dari lebih besar dari 25 senyawa atau komponen yang berlainan. Sebagian besar komponen minyak atsiri adalah senyawa yang hanya mengandung karbon, dan hidrogen atau karbon, hidrogen dan oksigen yang tidak bersifat aromatik yang secara umum disebut terpenoid. Minyak atsiri adalah zat berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak ini disebut juga minyak menguap, minyak eteris, minyak esensial karena pada suhu kamar mudah menguap. Istilah esensial dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya. Dalam keadaan segar dan murni, minyak atsiri umumnya tidak berwarna. Namun, pada penyimpanan lama minyak atsiri dapat teroksidasi. Untuk mencegahnya, minyak atsiri harus disimpan dalam bejana gelas yang berwarna gelap, diisi penuh, ditutup rapat, serta disimpan di tempat yang kering dan sejuk (Gunawan & Mulyani, 2004).

2.5 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan bantuan pelarut (Suyitno, 1989). Prosedur ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan senyawa yang diinginkan dan untuk menghilangkan komponen yang tidak diinginkan dari tamanan menggunakan pelarut yang selektif (Handa, 2008).
Bahan-bahan aktif seperti senyawa antimikroba dan antioksidan yang terdapat pada tumbuhan pada umumnya diekstrak dengan pelarut. Pada proses ekstraksi dengan pelarut, jumlah dan jenis senyawa yang masuk ke dalam cairan pelarut sangat ditentukan oleh jenis pelarut yang digunakan dan meliputi dua fase yaitu fase pembilasan dan fase ekstraksi. Pada fase pembilasan, pelarut membilas komponen-komponen isi sel yang telah pecah pada proses penghancuran sebelumnya. Pada fase ekstraksi, mula-mula terjadi pembengkakan dinding sel dan pelonggaran kerangka selulosa dinding sel sehingga pori-pori dinding sel menjadi melebar yang menyebabkan pelarut dapat dengan leluasa masuk ke dalam sel. Bahan isi sel kemudian terlarut dalam pelarut sesuai dengan tingkat kelarutannya lalu berdifusi keluar akibat adanya gaya yang ditimbulkan perbedaan konsentrasi bahan terlarut yang terdapat di dalam dan di luar sel (Voigt, 1995).
Satu dari metode yang digunakan ekstraksi bahan alam yaitu maserasi. Maserasi merupakan metode yang sederhana yang digunakan secara luas. Prosedurnya dilakukan dengan merendam bahan tanaman (simplisia) dalam pelarut yang sesuai dalam wadah tertutup pada suhu kamar. Pengadukan sesekali ataupun secara konstan  dapat meningkatkan kecepatan ekstraksi.
Adapun parameter kualitas dari ekstraksi tergantung oleh berbagai hal seperti jenis bahan yang digunakan, jenis pelarut, dan prosedur ekstraksi. Sementara hasil bahan aktif yang diekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni ukuran bahan, tipe ekstraksi, waktu ekstraksi, temperatur, jenis pelarut, pH, konsentrasi pelarut, dan polaritas (Tiwari dkk, 2011).
Faktor ukuran bahan juga mempengaruhi hasil ekstraksi. Pengecilan ukuran suatu bahan yang akan diekstraksi bertujuan untuk memperluas bidang permukaan bahan sehingga akan  mempercepat penetrasi pelarut ke dalam bahan yang akan diekstrak dan mempercepat waktu ekstraksi. Namun ukuran bahan yang terlalu kecil juga menyebabkan banyak minyak volatile yang menguap selama penghancuran (Tiwari dkk, 2011). Kemudian salah satu faktor yang mempengaruhi hasil ektraksi adalah adalah suhu. Ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi. Namun penggunaan suhu yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kerusakan senyawa yang akan diekstrak.
Berdasarkan bentuk campuran yang diekstraksi, dapat dibedakan dua macam ekstraksi yaitu (Kristanti dkk, 2008):
1.      Ekstraksi padat cair, jika substansi yang diekstraksi terdapat di dalam campurannya yang berbentuk padat. Proses ini paling banyak ditemui di dalam usaha untuk mengisolasi suatu substansi yang terkandung di dalam suatu bahan alam.
2.      Ekstraksi cair-cair, jika substansi yang diekstraksi terdapat di dalam campurannya yang berbentuk cair.

2.6 Jenis- Jenis Pelarut
Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk  simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama beberapa jam sampai tiga hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan diluar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan penyari setiap hari. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan (Sudjadi, 1986).
Pemilihan pelarut yang sesuai merupakan faktor penting dalam proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan adalah pelarut yang dapat menyari sebagian besar metabolit sekunder yang diinginkan dalam simplisia (Depkes RI, 2008 dalam Astarina, 2013). Pelarut organik berdasarkan konstanta elektrikum dapat dibedakan menjadi  dua yaitu pelarut polar dan pelarut non-polar. Konstanta dielektrikum dinyatakan  sebagai gaya tolak menolak antara dua pertikel yang bermuatan listrik dalam suatu molekul. Semakin tinggi konstanta dielektrikumnya maka pelarut bersifat semakin  polar (Sudarmadji, 1989).    
Macam pelarut dan tingkat kepolaran pelarut yang dipakai dalam proses  ekstraksi dapat mempengaruhi proporsi senyawa-senyawa kandungan yang tersari (Arista, 2013). Senyawa golongan flavonoid termasuk senyawa polar dan dapat diekstraksi dengan pelarut yang bersifat polar. Beberapa pelarut yang bersifat polar diantaranya, etanol, metanol, air, dan etil asetat. Etanol dan air sudah umum digunakan sebagai pelarut di bidang pangan dan obat-obatan dan cenderung lebih aman serta ramah lingkungan dibandingkan metanol, etil, dan aseton (Melawaty, 2010).
Senyawa-senyawa non-polar dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut yang bersifat non-polar pula, salah satunya adalah n-heksan. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi berpengaruh terhadap senyawa yang akan diekstrak. Berdasarkan sifat dan kepolaran pelarut, maka dapat diketahui bahan aktif yang dilarutkan (Tabel 2). Beberapa pelarut yang dapat digunakan dalam proses ekstraksi adalah:
1.      n-Heksana
n-Heksana (CH3(CH2)4CH3) adalah pelarut petroleum yang mudah menguap. Awalan heks- merujuk pada enam karbon atom yang terdapat pada heksana dan akhiran –ana berasal dari alkana, yang merujuk pada ikatan tunggal yang menghubungkan atom-atom karbon tersebut.  Ikatan pada heksana bersifat tunggal dan kovalen sehingga menyebabkan n-heksana tidak reaktif sehingga sering digunakan sebagai pelarut inert pada reaksi senyawa organik. Heksana mempunyai karakteristik sangat tidak polar dan mudah menguap. Berat molekul heksana adalah 86,17 gram/mol dengan titik leleh -94,3 sampai -95,3°C (Daintith, 1994). n-heksan memiliki tetapan dielektrik pada suhu 200C sebesar 1,890 (Stahl, 1985).
Pelarut n-Heksana merupakan salah satu pelarut yang baik untuk mengekstraksi senyawa-senyawa yang bersifat non-polar karena memiliki beberapa keunggulan, diantaranya karena pelarut ini bersifat relatif stabil, mudah menguap serta selektif dalam melarutkan zat (Satria, 2013).
Heksana dapat digunakan untuk mengekstraksi minyak nilam yang dapat digunakan sebagai minyak atsiri. Selain itu heksana dapat digunakan sebagai solven untuk mengekstraksi karotenoid dari CPO (Jos, 2004). Larutan campuran antrara heksana dan benzena dapat digunakan untuk mengekstraksi minyak dari kopra. Sedangkan larutan campuran antara heksana dan isopropanol dapat digunakan dalam penurunan kadar limbah sintesis asam phospat dengan ekstraksi cair-cair (Mahmudi, 1997).
2.      Kloroform
Kloroform (CHCl3) merupakan salah satu senyawa haloform yang mudah menguap, tidak berwarna; titik leleh -63,5°C; titik didih 61°C. Senyawa ini diproduksi melalui proses klorinasi metana atau melalui reaksi haloform. Kloroform digunakan sebagai pelarut dan bahan dasar untuk membuat senyawa lainnya (Daintith, 1994).  Kloroform memiliki tetapan dielektrik pada suhu 200C sebesar 4,806 (Stahl, 1985).
Pelarut kloroform (semi polar) memiliki konstanta dielektrikum sebesar 4,81. Pelarut kloroform digunakan untuk menariki senyawa-senyawa yang bersifat non polar sampai semi polar. Pelarut semi polar contohnya kloroform dapat mengekstrak senyawa fenol, terpenoid, alkaloid, aglikon dan glikosida (Harborne, 1987).
3.      Etil asetat
Etil asetat (C2H5COOH) merupakan senyawa turunan steroid yang memiliki berat molekul 72,08 g/mol. Pelarut ini bersifat semi-polar (Daintith, 1994). Etil asetat merupakan pelarut yang baik digunakan untuk ekstraksi karena dapat dengan mudah diuapkan, tidak higroskopis, dan memiliki toksisitas rendah. Etil asetat memiliki tetapan dielektrik pada suhu 200C sebesar 6,02  (Stahl, 1985).
4.      Etanol
Etanol atau alkohol (C2H5OH) merupakan cairan tidak berwarna yang larut dalam air, densitas 0,6 (0ºC) titik leleh -169º C, titik didih -102ºC. Memiliki gugus hidroksil (OH) pada alkohol yang menyebabkan bersifat polar, sedangkan gugus alkil (R) merupakan gugus non polar. Proporsi dari kedua gugus tersebut merupakan faktor yang menentukan sifat alkohol (Daintith, 1994). Etanol memiliki tetapan dielektrik pada suhu 200C sebesar 20,7 (Stahl, 1985).
Etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan terlarut. Etanol 70% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal. Pemilihan etanol 70% sebagai pelarut dikarenakan etanol 70% memiliki kelebihan dalam mengekstrak tanaman yaitu dapat mengekstrak senyawa aktif yang bersifat polar dan nonpolar karena mempunyai dua gugus aktif yang beda kepolarannya. Kedua gugus aktif tersebut yaitu gugus hidroksil yang polar dan gugus alkil yang nonpolar. Senyawa yang dapat larut dalam etanol 70% diantaranya senyawa flavonoid, saponin, tannin, dan senyawa aktif lainnya. Disamping itu, etanol 70 % mempunyai titik didih yang rendah sehingga mudah diuapkan (Falahudin, 2008).
Hasil penelitian Fathurrahman (2014) menunjukkan bahwa efek antioksidan ekstrak etanol 70% daun sirsak (Anona nuricata Linn) lebih kuat dibandingkan ekstrak etanol 96% dan etanol 50%. Etanol dan air sudah umum digunakan sebagai pelarut di bidang pangan dan obat-obatan dan cenderung lebih aman serta ramah lingkungan dibandingkan metanol, etil, dan aseton (Melawaty, 2010).
5.      Metanol
Metanol (CH3OH) adalah cairan yang tidak berwarna, densitas 0,79 gram/mL; titik leleh -98°C, titik didih 64°C. Senyawa ini dibuat melalui oksidasi katalitik dari metana dan digunakan sebagai pelarut serta sebagai bahan baku untuk industri kimia (Daintith, 1994). Beberapa jenis pelarut yang digunakan untuk melarutkan bahan aktif dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Pelarut yang Digunakan untuk Melarutkan Bahan Aktif
Jenis Pelarut
Air
Etanol
Metanol
Kloroform
Eter
Aseton
Antosianin
Tanin
Terpenoid
Terpenoid
Alkaloid
Fenol
Tanin
Sterol
Saponin
Flavonoid
Terpenoid 
Flavonol
Saponin
Polifenol
Tannin

Asam lemak

Terpenpid
Flavinol
Flavon



Lektin
Terpenoid
Polifenol



Polipeptida
Alkaloid
Xantolin



(Sumber : Tiwari dkk., 2011)


Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Derajat polaritas tergantung pada tahapan dielektrik, makin besar tahapan dielektrik semakin polar pelarut tersebut (Nur dan Adijuwana 1989). Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2 Beberapa Pelarut Organik dan Sifat Fisik
No
Pelarut
Titik Didih (oC)
Titik Beku (oC)
Konstanta Dielektrik (Debye)
1
Dietil Eter
35
-116
4,3
2
Karbon disulfide
46
-111
2,6
3
Aseton
56
-95
20,7
4
Kloroform
61
-64
4,8
5
Metanol
65
-98
32,6
6
Tetrahidrofuran
66
-65
7,6
7
Di-isopropil eter
68
-60
3,9
8
N-heksan
69
-94
1,9
9
Karbon Tetraklorida
76
-23
2,2
10
Etil asetat
77
-84
6,0
11
Etanol
78
-117
24,3
12
Benzena
80
5,5
2,3
13
Sikloheksana
81
5,5
2,0
14
Isopropanol
82
-89
18,3
15
Air
100
0
78,5
16
Dioksan
102
12
2,2
17
Toluena
111
-95
2,4
18
Asam asetat Glasial
118
17
6,2
19
N,N-dimetil formamida
154
-61
34,8
20
Dietilenaglikol
245
-10
37,7


Pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino, dan glikosida (Harborne 1987). Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al. 1995).
            Jenis dan mutu pelarut yang digunakan menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya, mempunyai titik didih yang rendah, murah, tidak toksik, dan mudah terbakar (Ketaren 1986). Selain itu, keberhasilan ekstraksi juga tergantung pada banyaknya ekstraksi yang dilakukan. Hasil yang baik diperoleh jika ekstraksi dilakukan berulang-ulang dengan jumlah pelarut yang sedikit-sedikit. Efisiensi ekstraksi dapat ditingkatkan dengan menggunakan luas kontak yang besar (Khopkar 2003).


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan bulan Mei-September 2016. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: rotary vacuum evaporator, inkubator Memmert, oven Memmert, blender, neraca analitik, ayakan ukuran 60 mesh,  toples kaca, corong, kertas saring, spatula, alat tulis, gelas ukur 5 ml, tabung reaksi, pipet tetes, pisau dan alat dokumentasi.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan yaitu: buah karika, air, etanol 70 %, asam klorida (HCl) 2N, kloroform, asam sulfat pekat, asam asetat anhidrat, akuades, Besi (III) klorida (FeCl3 1 %. 1%), pereaksi wagner, pereaksi dragendroff, pereaksi mayer, logam magnesium, aquades, amonia pekat dan n heksan.

3.3 Tahap Ekstraksi
3.3.1 Persiapan Bahan
Buah C. pubescens diperoleh dari Bromo, Jawa Timur. Ditimbang daging buah C. pubescens sebanyak 3 kg, dicuci dan dipotong,  kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari tidak langsung kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 40oC sampai kadar air habis yang disebut simplisia kasar. Pengeringan dilakukan untuk menurunkan kadar air dalam sampel, menghentikan reaksi enzimatis dan mencegah tumbuhnya jamur. Menurut Wijaya (2012) dalam Mutmainnah (2015) jika kadar air dalam bahan masih tinggi dapat mendorong enzim melakukan aktivitasnya mengubah kandungan kimia yang ada di dalam bahan menjadi produk lain. Sehingga memungkinkan tidak lagi memiliki efek farmakologi seperti senyawa aslinya.
Simplisia kasar ditimbang, selanjutnya diserbukkan dengan blender kemudian diayak dengan ayakan ukuran 60 mesh sehingga dihasilkan simplisia serbuk dan ditimbang. Penghalusan simplisia kasar menjadi serbuk dan halus bertujuan untuk memperluas permukaan sampel sehingga memudahkaan kontak anatara pelarut dan sampel pada proses ekstraksi. Semakin kecil ukuran sampel maka luas  permukaannya semakin besar dan interaksi kontak pelarut dalam ekstraksi semakin besar sehingga proses ekstraksi dapat berjalan dengan efektif (Voight, 1995 dalam Mutmainnah 2015).
3.5.3.2 Pembuatan Ekstrak
Disiapkan dua toples untuk proses meserasi. Tahap pertama dalam ekstraksi sampel yaitu penimbangan simplisia. Simplisia buah mentah sebanyak 70 gr dibagi menjadi 2 bagian, masing-masing 35 gr. Simplisia buah matang sebanyak 35 gr dibagi menjadi 2 bagian, masing-masing 15 gr. Setiap perlakuan sampel dimaserasi dengan pelarut etanol 70% dan n-Heksana dengan perbandingan 1:4 lalu disimpan dalam suhu kamar selama 24 jam setelah itu disaring. Proses maserasi dilakukan selama 5 hari berturut-turut dengan beberapa kali pengadukan.
. Hasil saringan dinamakan filtrat. Filtrat disimpan dan ampas diremaserasi. Filtrat hasil maserasi diuapkan dari pelarutnya dengan rotary vacuum evaporator. Ekstrak diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam hingga diperoleh ekstrak pekat. Ekstrak pekat kemudian diuji kapasitas antioksidannya. Langkah kerja yang sama dilakukan dengan pelarut n-Heksana dan simplisia serbuk buah mentah.

3.4 Uji Fitokimia Ekstrak Buah C. pubescens
1.    Uji flavonoid
1 gr ekstrak dilarutkan dalam 5ml etanol, ditambahkan 5 tetes HCl pekat dan 1,5 gram logam magnesium. Ekstrak positif mengandung alkaloid apabila larutan berubah menjadi warna merah, kuning atau orange.
2.    Uji alkaloid
4 ml ekstrak dihaluskan ditambah kloroform, ditambah 10 ml amoniak dan 10 ml kloroform, disaring ke tabung reaksi, ditambahkan 10 tetes asam sulfat 2 N. Kemudian dikocok filtrat hingga terbentuk 2 lapisan, lapisan atas dipindahkan ke 3 tabung reaksi, kemuadian dianalisis dengan pereaksi Mayer, Wagner dan Dragendorff. Positif mengandung alkaloid apabila pada pereaksi Mayer terdapat endapan putih, pereaksi Wagner terdapat endapan coklat kemerahan, dan pada pereaksi Dragendorff terdapat endapan merah jingga.
3.    Uji Polifenol dan Tannin
1 ml ekstrak ditambah pelarut hingga terendam, kemudian ditambahan 2-3 tetes FeCl 1%. Ekstrak positif mengandung polifenol dan tannin apabila larutan berubah menjadi warna biru tua atau kehijauan.
4.    Uji steroid/ Triterpenoid
1 ml ekstrak ditambah asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat. Positif mengandung steroid apabila larutan berwarna biru atau hijau. Positif mengandung triterpenoid apabila berubah menjadi warna ungu atau jingga.

5) Uji Minyak Atsiri
Uji minyak atsiri dilakukan dengan terlebih dahulu menyiapkan 1 ml ekstrak yang telah dilarutkan dalam pelarutnya. Selanjutnya larutan tersebut diuapkan pada cawan poselen di atas hotplate hingga dipeoleh residu. Dari residu tersebut jika tercium bau yang khas maka positif mengandung minyak atsiri.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Preparasi Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah mentah C. pubescens. Buah C. pubescens diperoleh dari Desa Mororejo, Tosari, Pasuruan Jawa Timur. Proses pembuatan simplisia dilakukan di UPT Materia Medica Batu, dimulai dari sortasi, pembersihan, pencucian, penirisan, perajangan, pengeringan dengan oven hingga pengemasan. Dilakukan sortasi agar didapatkan buah yang seragam baik kematangan maupun teksturrnya. Pembersihan dan pencucian dilakukan untuk menhilangakan biji dan kotoran berupa tanah yang dapat mempengaruhi proses ekstraksi. Sampel dikeringkan di bawah matahari secara tidak langsung agar senyawa terkandung tidak rusak, kemudian dimasukkan ke dalam oven.
Pengeringan dilakukan untuk menurunkan kadar air dalam sampel, menghentikan reaksi enzimatis dan mencegah tumbuhnya jamur. Menurut Wijaya (2012) dalam Mutmainnah (2015) jika kadar air dalam bahan masih tinggi dapat mendorong enzim melakukan aktivitasnya mengubah kandungan kimia yang ada di dalam bahan menjadi produk lain. sehingga memungkinkan tidak lagi memiliki efek farmakologi seperti senyawa aslinya. Hal ini tidak akan terjadi jika sampel segera dikeringkan hingga kadar air menjadi rendah. Menurut Harborne (1987) pengeringan dengan cara aliran udara (kering angin) lebih baik daripada mengunakan pengeringan suhu tinggi untuk mencegah rusaknya kandunagn senyawa. Kadar air yang tinggi akan menggangu proses ektraksi dikarekan pelarut akan sulit berdifusi masuk melewati dinding sel untuk menarik senyawa kimia dalam simplisia.
Penghalusan simplisia kasar menjadi serbuk dan halus bertujuan untuk memperluas permukaan sampel sehingga memudahkaan kontak anatara pelarut dan sampel pada proses ekstraksi. Semakin kecil ukuran sampel maka luas  permukaannya semakin besar dan interaksi kontak pelarut dalam ekstraksi semakin besar sehingga proses ekstraksi dapat berjalan dengan efektif (Voight, 1995 dalam Mutmainnah 2015). Penghalusan juga akan memecah sel-sel yang terdapat di dalam jaringan, sehingga komponen yang akan diekstrak dapat cepat keluar dari bahan yang akan mempercepat proses ekstraksi. Simplisia serbuk buah matang dan mentah C. pubescens dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 4.1 Simplisia Serbuk Buah Mentah C. pubescens

4.2 Ekstraksi Sampel
            Buah C. pubescens diekstraksi dengan metode maserasi (ekstraksi cara dingin). Metode ini dipilih karena dapat mencegah terurainya metabolit yang tidak tahan panas. Selain itu, peralatan yang digunakan pada metode maserasi sederhana dan mudah didapatkan. Tahap pertama dalam ekstraksi sampel yaitu penimbangan simplisia. Simplisia buah mentah sebanyak 70 gr dibagi menjadi 2 bagian, masing-masing 35 gr. Sampel dimaserasi dengan pelarut etanol 70% dan n-heksan dengan perbandingan 1:4. Proses maserasi dilakukan selama 5 hari berturut-turut dengan beberapa kali pengadukan.
            Hasil maserasi (maserat) yang diperoleh kemudian disaring dengan kartas saring kasar. Hasil penyaringan (filtrat) diuapkan dari pelarutnya dengan menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 50oC kemudian dipekatkan dengan cara diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Randemen ekstrak yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut.



Tabel 4.1 Hasil Randemen Ekstrak
No
Sampel
Warna Ekstrak
Berat Ekstrak (gr)
Randemen Ekstrak (%) (b/b)
1
Etanol buah mentah
Coklat kehitaman
8,9
29,67
3
n-Heksana buah mentah
Kuning kehijauan
6,47
21,57

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa kstrak kasar  daging buah C. pubescens dengan pelarut etanol memiliki nilai rendemen lebih besar (29,67%) dibandingkan dengan ekstrak pelarut n-Heksan (21,57%). Etanol merupakan pelarut polar yang dapat melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat polar juga. Oleh karena itu, diduga bahwa pada ekstrak kasar daging buah C. pubescens memiliki kandungan senyawa polar lebih tinggi daripada senyawa non polar.

4.3 Skrining Fitokimia Ekstrak Buah C. pubescens
4.3.1 Pelarut Etanol 70%
            Analisis fitokimia pada daging buah C. pubescens secara kualitatif dilakukan untuk mengetahui keberadaan senyawa alkaloid, tannin, flavonoid, saponin, triterpenoid dan minyak atsiri. Hasil skrining fitokimia pada ekstrak kasar etanol 70%  daging buah C. pubescens dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.2 Hasil Skrining Fitokimia Daging Buah C. pubescens
No
Jenis Skrining Fitokimia
Gambar
Ketengan
1
Alkaloid:
a.       Mayer

Positif
b.      Wagner
Negatif
c.       Dragendorff
Negatif
2
Polifenol & Tannin
Positif
3
Flavonoid
Positif
4
Saponin
Positif
5
Steroid/ Triterpenoid
Positif
6
Minyak Atsiri
Negatif

1. Alkaloid
Hasil skrining fitokimia  menunjukkan bahwa  ekstrak kasar daging buah C. pubescens positif mengandung alkaloid dengan pereaksi Mayer. Reaksi positif dari pereaksi Mayer yaitu terbentuknya endapan yang berwarna jingga. Sedangkan hasil negatif pada pereaksi Wagner dan Drangendoff. Pada pereaksi Wagner tidak terdapat endapandan pada pereaksi Wagner terbentuk endapan hitam kehijauan. Menurut Harborne (1987) hasil uji dinyatakan positif apabila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, dengan pereaksi dengan pereaksi Wagner membentuk endapan coklat dan dengan pereaksi Dragendorff membentuk endapan merah sampai jingga.
Pengujian senyawa alkaloid dengan menggunakan reagen Mayer, Wagner, dan Dragendorff, menyebabkan reaksi pengendapan karena adanya penggantian ligan. Atom nitrogen yang mempunyai pasangan elektron bebas pada alkaloid mengganti ion iod dalam reagen Mayer, reagen Dragendroff, dan reagen Wagner. Hal tersebut mengakibatkan terbentuknya endapan jingga terhadap penambahan reagen Dragendroff, hal ini karena nitrogen digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang merupakan ion logam.
Terbentuknya endapan putih kekuningan pada penambahan reagen Mayer karena nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap (Marliana dkk, 2005; Sangi dkk., 2008).
Pada penambahan pereaksi Mayer, larutan merkurium(II) klorida ditambah kalium iodida akan bereaksi membentuk endapan merah merlurium(II) iodida. Jika kalium iodida ditambah berlebih maka akan terbentuk kalium tetraiodomerkurat(II). Alkaloid mengandung aom nitrogen yang mempunyai pasangan elektron bebas sehingga dapat digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan ion logam. Pada uji alkaloid dengan penambahan pereaksi mayer, diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat(II) membentuk kompleks kalium alkaloid yang mengendap. Perkiraan reaksi yang terjadi pada uji Mayer ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar 4.2 Dugaan reaksi Alkaloid dengan Pereaksi Mayer
(Sumber: Marliana, 2005)

Hasil uji alkaloid dengan pereaksi Wagner pada penelitian ini negatif dikarenakan terbentuknya endapan hijau kehitaman. Menurut Marlina dkk, (2005)   hasil positif uji alkaloid dengan pereaksi Wagner ditandai dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai muda. Diprkirakan endapan terebut adalah kalium-alkaloid. Pada penamabahan pereaksi Wagner, iodin bereaksi dengan ion I- dari kalium iodida menghasilkan ion I3- yang berwarna coklat. Pada uji wagner, ion logam K+ akan membentuk ikatan kovalen koordinat dengan nitrogen pada alkaloid membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap. Perkiraan reaksi yang terjadi pada uji Wagner ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar 4.3 Dugaan reaksi Alkaloid dengan pereaksi Wagner

Uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff pada penelitian ini negatif dikarenakan tidak terbentuknya endapan. Menurut Marlina dkk, (2005)   hasil positif uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff ditunjukkan dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai kuning. PEB dari atom nitrogen pada senyawa alkaloid dapat membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ dugaan reaksi alkaloid dengan pereaksi Dragendorff dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4.4 Dugaan reaksi alkaloid dengan pereaksi Dragendorff
(Sumber: Marliana dkk, 2005)

2. Tanin
Hasil skrining fitokimia menunjukkan bawa ekstrak daging buah C. pubescens positif mengandung tanin. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya warna hijau kehitaman setelah penambahan FeCl3 1%.
Pengujian tanin dan polifenol dilakukan dengan penambahan FeCl3 1%. Pereaksi FeCl3 1 % merupakan pereaksi umum untuk mengidentifikasi senyawa fenol termasuk tanin. Pada penambahan FeCl3 1%. Golongan tanin terhidrolisis sehingga menghasilkan warna biru kehitaman dan tanin terkondensasi akan menghasilkan warna hijau kehitaman. Perubahan warna ini terjadi ketika penambahan FeCl3 1% yang bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil yang ada pada senyawa tanin (Sangi dkk., 2008). Reaksi pada uji polifenol dan tannin dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 4.5 Reaksi Tanin dengan FeCl3

3. Flavonoid
Hasil uji fitokimia ekstrak daging buah C. pubescens menunjukkan hasil positif mengandung flavonoid ditandai dengan adanya perubahan warna pada tabung kedua, ketiga, dan keempat setelah penambahan NaOH, H2SO4 dan Mg-HCL dibandingkan kontrol. hasil ini diperkuat denga penelitian Laily (2014) dan Khotimah (2016) bahwa ekstrak etanol tanaman C. pubescens positif mengandung senyawa flavonoid.
Penambahan HCl pekat dalam identifikasi flavonoid digunakan untuk menghidrolisis flavonoid menjadi aglikonnya, yaitu dengan menghidrolisis O-glikosil. Glikosil akan tergantikan oleh H+ dari asam karena sifatnya yang elektrofilik. Glikosida berupa gula yang biasa dijumpai yaitu glukosa, galaktosa, dan raminosa. Reduksi dengan Mg dan HCl pekat ini menghasilkan senyawa komplek yang berwarna merah atau jingga pada flavonol, flavon, flanonol dan xanton (Robinson, 1985). Warna merah yang dihasilkan menandakan adanya flavonoid akibat dari reduksi oleh asam klorida pekat dengan magnesium (Robinson, 1995).
Identifikasi flavonoid menggunakan uji Wilstater menunjukkan warna jingga yang berarti positif adanya flavonoid. Magnesium dan asam klorida pada uji Wilstater bereaksi membentuk gelembung-gelemung yang merupakn gas H2. Sedangkan logam Mg dan HCl pekat pada uji ini berfungsi berfungsi untuk mereduksi inti benzopiron yang terdapat pada struktur flavonoid sehingga terbentuk perubahan warna menjadi merah atau jingga. Jika dalam suatu ekstrak tumbuhan terdapat senyawa flavonoid akan terbentuk garam flavilium saat penambahan Mg dan HCl yang berwarna merah atau jingga (Prashant dkk., 2011). Reaksi pembentukan garam flavilium dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4.6 Mekanisme Pembentukan Garam Flavilium

4. Triterpenoid
Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa dalam ekstral etanol daging buah C. pubescens positif mengandung triterpenoid, ditandai dengan terbentuknya cincin kecoklatan pada larutan uji setelah penambahan asam sulfat pekat sebanyak 2 ml melalui dinding tabung. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman C. papaya mengandung metabolit sekunder triterpenoid menunjukkan bahwa senyawa tersebut memiliki aktivitas sebagai antibakteri yaitu monoterpenoid linalool, diterpenoid, phytol, triterpenoid saponin, triterpenoid glikosida (Marlinda, 2013 dalam Minarno, 2015).
Siadi (2012) menjelaskan bahwa identifikasi terpenoid dan steroid menggunakan uji Lieberman-Burchard (anhidrat asetat-H2SO4 pekat) yang memberikan warna hijau-biru. Identifikasi terpenoid dan steroid positif apabila terbentuknya cincin coklat pada batas larutan saat ditambah dengan H2SO4 serta terlihat warna hijau saat larutan diteteskan pada plat tetes. Perubahan warna dikarenakan terjadinya oksidasi pada golongan senyawa terpenoid/steroid melalui pembentukan ikatan rangkap terkonjugasi. Prinsip reaksi uji terpenoid yaitu kondensasi atau pelepasan H2O dan penggabungan karbokation. Reaksi ini diawali dengan proses asetilisasi gugus hidroksil menggunakan asam asetat anhidrat. Gugus asetil akan lepas, sehingga terbentuk ikatan rangkap. Selanjutnya terjadi pelepasan gugus hidrogen beserta elektronnya, mengakibatkan ikatan rangakap berpindah. Senyawa ini mengalami resonansi yang bertindak sebagai elektrofil atau karbokation. Serangan karbokation menyebabkan adisi elektrofili, diikuti dengan pelepasan hidrogen. Kemudian gugus hidrogen berserta elektronnya dilepas, akibatnya senyawa mengalami perpanjangan konjugasi yang memperlihatkan munculnya cincin coklat.

5. Saponin  
Hasil analisis identifikasi metabolit sekunder dari daging buah C. pubescens menunjukkan positif mengandung saponin ditandai dengan terbentuknya busa setelah pengocokan dan bertahan selama 30 detik. Menurut Robinson (1995) senyawa yang memiliki gugus polar dan non polar bersifat aktif permukaan sehingga saat saponin dikocok dengan air dapat membentuk misel. Pada struktur misel gugus polar menghadap ke luar dan gugus non polarnya menghadap ke dalam, keadaan inilah yang tmpak seperti busa. Busa yang ditimbulakan saponin dikarekan adanya kombinasi struktur senyawa penyusunnya yaitu rantai sapogenin non-polar dan rantai samping polar yang larut dalam air (Kristianingsih, 2008). Reaksi hidrolisis saponin dalam air dapat dilihat pada gambar berikut.


 











Gambar 4.7 Reaksi Hidrolisis Saponin dalam Air
(Sumber: Marliana dkk., 2005)

6. Minyak Atsiri
            Hasil skrining fitokimia ekstrak etanol daging buah c. pubescens menunjukkan hasil yang negatif ditandai dengan tidak terdapat bau yang khas pada residu sampel setelah diuapkan di cawan porselen. Hal ini dikarenakan faktor pelarut etanol (polar) saat tahap ekstraksi yang digunakan, sedangkan minyak atsiri bersifat nonpolar.  Menurut Siedel (2008) dalam Khotimah (2016) pemilihan pelarut dan metode ekstraksi akan mempengaruhi hasil kandungan senyawa metabolit sekunder yang dapat terekstraksi. Pemilihan pelarut ekstraksi umumnya menggunakan prinsip like disolves like, dimana senyawa nonpolar akan larut dalam pelarit non polar sedangkan senyawa polar akan larut padapelarut polar.



4.3.2 Pelarut n-Heksana
            Skrining fitokimia pada daging buah C. pubescens secara kualitatif dilakukan untuk mengetahui keberadaan senyawa alkaloid, tannin, flavonoid, saponin, triterpenoid dan minyak atsiri. Hasil skrining fitokimia pada ekstrak kasar daging buah C. pubescens dengan pelarut n-Heksan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.3 Hasil Skrining Fitokimia Daging Buah C. pubescens
No
Jenis Skrining Fitokimia
Gambar
Ketengan
1
Alkaloid:
a.       Mayer

Negatif
b.      Wagner
Negatif
c.       Dragendorff
Negatif
2
Polifenol & Tannin
Negatif
3
Flavonoid
Negatif
4
Saponin
Negatif
5
Steroid/ Triterpenoid
Positif
6
Minyak Atsiri
Positif


1.  Alkaloid
Identifikasi senyawa alkloid pada ekstrak kasar n-Heksan menggunakan tiga pereaksi yaitu pereaksi mayer, Wagner dan Dragendorff. Hasil identifikasi dari ketiga pereaksi tersebut menunjukkan negatif mengandung alkaloid. Hal ini dibuktikan pada pereaksi Mayer tidak terbentuk endapan putih kekuningan akan tetapi terbentuk larutan berwarna putih kekuningan. Pada pereaksi Wagner terbentuk larutan berwarna hijau kecoklatan tanpa adanya endapan yang seharusnya terdapat endapan coklat.  Pada pereaksi Dragendorff terbentuk larutan hijau kekuningan tanpa endapan. Hasil uji positif ppereaksi Dragendorff ditandai dengan terbentuknya endapanmerah samapai jingga.
hasil uji dinyatakan positif apabila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, dengan pereaksi dengan pereaksi Wagner membentuk endapan coklat dan dengan pereaksi Dragendorff membentuk endapan merah sampai jingga Harborne (1987).
Hasil negatif pada identifikasi senyawa alkaloid pada ekstrak n-heksana daging buah C. pubescens ini dikarenakan faktor pelarut. Pelarut non polar seperti n-Heksan akan melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat non-polar. Menurut Harborne (1987), pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino, dan glikosida. Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al. 1995).

2. Polifenol dan Tannin
            Hasil skrining fitokimia pada ekstrak kasar daging buah C. pubescens menunjukkan negatif mengandung polifenol dan tannin. Hasil ini ditandai dengan tidak terbentuknya larutan yang berwarna hijau tua atau biri kehitaman setelah penambahan FeCl 1%. Larutan yang terbentuk yaitu berwarna hijau kekuningan hal ini dikarenakan warna asli dari ekstrak pekat memang hijau kekuningan.
           
3. Flavonoid
            Uji flavonoid pada ekstrak kasar n-Heksan daging buah C. pubescens menggunakan empat perlakuan. Perlakuan pertaama sebagai kontol, kedua dengan penambahan Mg-HCl pekat, perlakuan ketiga penambahan NaOH dan perlakuan terakihir H2SO4.  Hasil positif apabila terdapat perubahan warna pada ketiga perlakuan apabila dibandingakn dengan warna kontrol. Hasil uji menunjukkan bahwa pada ekstrak n-Heksana daging buah C. pubescens negatif mengandung flavonoid.

4. Saponin
            Uji saponin pada ekstrak kasar n-Heksan daging buah C. pubescens dengan penambahan aquades  panas pada sampel kemudian dikocok. Uji positif apabila terdapat busa yang bertahan selama 30 detik setelah pengocokan. Hasil identifikasi pada ekstrak kasar n-Heksan daging buah C. pubescens menunjukkan negatif mengandung saponin.

5. Triterpenoid
Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa dalam ekstral n-Heksana daging buah C. pubescens positif mengandung triterpenoid, ditandai dengan terbentuknya cincin kecoklatan pada larutan uji setelah penambahan asam sulfat pekat sebanyak 2 ml melalui dinding tabung. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman C. papaya mengandung metabolit sekunder triterpenoid menunjukkan bahwa senyawa tersebut memiliki aktivitas sebagai antibakteri yaitu monoterpenoid linalool, diterpenoid, phytol, triterpenoid saponin, triterpenoid glikosida (Marlinda, 2013 dalam Minarno, 2015). Senyawa terpen umumnya merupakan senyawa yang larut dalam lemak (Harborne, 1987).

6. Minyak Atsiri
            Hasil skrining fitokimia pada ekstrak kasar n-heksana C. pubescens menunjukkan positif mengandung minyak atsiri. Hal ini ditandai terdapat bau yang khas dari sampel setelah penguapan. Minyak atsiri merupakan metabolit sekunder yang bersifat non-polar. Oleh karena itu minyak atsiri dapat diekstrak dengan pelarut yang non polar juga.

4.3 Kandungan Fitokimia Buah C. pubescens dalam Perspektif Islam
            Allah memiliki sifat Ar-Rahman-Ar-Rahim yang bemakna kasih sayang, keduanya berasal dari akar kata “Ar-Rahmah”. Ar-Rahman adalah kasih sayang Allah yang bersifat umum di dunia ini, kepada seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali, sedangakan Ar-Rahim hanya diberikan kepada orang-orang yang beriman (Haidir, 2003). Satu diantara bentuk kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya yaitu penciptaan tumbuhan baik yang dapat dimanfaatkan oleh makhluk-Nya. Allah berfirman dalam surah as-Syu’araa ayat 7 :
öNs9urr& (#÷rttƒ n<Î) ÇÚöF{$# ö/x. $oY÷Gu;/Rr& $pkŽÏù `ÏB Èe@ä. 8l÷ry AOƒÍx. ÇÐÈ 
“Dan Apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?

Kata karim digunakan untuk menggambarkan segala sesuatu yang baik bagi setiap objek yang disifatinya. Tumbuhan baik adalah tumbuhan yang subur dan bermanfaat (Shihab, 2002). Satu diantara tumbuhan baik yaitu C. pubescens yang dapat diambil manfaatnya.
C. pubescens memiliki kandungan senyawa kimia diantaranya alkaloid, flavonoid, tannin, saponin, triterpenoid dan minyak atsiri yang dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan, antibakteri, larvasida nabati.
C. pubescens menurut peneliti terdapat beberapa kelemahan diantaranya memiliki daging buah yang tipis, bertekstur kenyal, rasanya asam sehingga kurang diminati dan membutuhkan pengolahan sebelum dikonsumsi.  Dibalik kelemahan tersebut pada daging buah C. pubescens terdapat kandungan vitamin C dan metabolit sekunder yang berpotensi sebagai antioksidan. Dengan demikian surah ali-Imran 191 yang berbunyi:
t$uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ .... ÇÊÒÊÈ  
"Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia”

 Ayat tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah memiliki pelajaran dan tujuan yang mulia, mustahil Allah berbuat main-main (Tafsir al-Qur’an al-Aisar, 2007). Allah tidak menciptakan semua dengan sia-sia, melainkan dengan penuh pelajaran bagi makhluk-Nya yang berfikir.





BAB V
PENUTUP
                                   

5.1 Kesimpulan
            Berdasarkan penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.      Kandungan fitokimia pada daging buah C. pubescens dengan pelarut etanol 70% diantaranya polifenol dan tanin, flavonoid, saponin, triterpenoid, dan alkaloid pada pereaksi Mayer dan dragendoff, negatif pada pereaksi Wagner dan minyak atsiri. Pada pelarut n-Heksana positif mengandung triterpenoid dan minyak atsiri.


5.2  Saran
1.      Perlu dilakuan skrining fitokimia dengan metode KLT agar data yang dihasilkan lebih valid.
2.      Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kandungan total masing-masing senyawa



DAFTAR PUSTAKA

Aksara, R. Weny J.A. dan Musa, La Alio. 2013. Identifikasi Senyawa Alkaloid dari Ekstrak Metanol Kulit Batang Mangga (Mangifera indica L). Jurnal Entropi. Vol. 8. No.1.
Al-Qurthubi, Syaikh Imanm. 2009. Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam
Arista, M. 2013. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol 80% dan 96% Daun Katuk (Sauropus androgynus  (L.) Merr.). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. Vol.2 No.2.
Ash-Sdddieqy, M.H.T. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Badillo, V.M., 2000. Carica L. vs Vasconcella St. Hil. (Caricaceae): con la rehabilitación de este último. Ernstia 10, 74–79.
Departemen Agama RI. 2009. Al-Quran dan Terjemah. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema.
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2010. (http://www.dephut.go.id ) diakses tanggal 29 Maret 2016.

Fanny, Y.G. 2014. Pengaruh Pelarut Terhadap Karakteristik Ekstrak Daun Senduduk (Melastoma malabathricum, L). Skripsi Tidak Diterbitkan. Universitas Andalas.

Faqih, A.K. dan Tim Ulama. 2001. Tafsir Nurul Qur’an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur’an. Jakarta: Penerbit Al-Huda.
Fatchurrozak. Suranto. dan Sugiyarto. 2013. Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Kandungan Vitamin C dan Zat Antioksidan pada Buah Carica pubescens di Dataran Tinggi Dieng. El-Vivo. Vol.1. No.1. Hal 24-31.
Fathurrachman, D. A. 2014. Pengaruh Konsentrasi Pelarut Terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona muricata Linn) dengan Metode Peredaman Radikal Bebas DPPH. Skripsi Deterbitkan. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung : Penerbit ITB.
Haris, M. 2011. Penentuan Kadar Flavanoid Total dan  Aktivitas Antioksidan dari Daun Dewa (Gynura pseudochina [Lour] DC) dengan Spektrofotometer  UV-Visibel. Skripsi Tidak Diterbitkan. Fakultas Farmasi. Padang. Universitas Anadalas.
Hidayat, S. 2000. Prospek Papaya Gunung Carica pubescens Lenne & K. Koch dari Sikunang Pegunungan Dieng, Wonosobo. Proseding Seminar Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional. Bogor.
 Indranila dan Maria Ulfah. 2015. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Karika (Carica pubescens) dengan Metode Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) Berserta Identifikasi Senyawa Alkaloid, Fenol dan Flavonoid. Prosiding Seminar Nasional Peluang Herbal Sebagai Alternatif Medicine. Semarang.
Khotimah, Khusnul. 2016. Skrining Fitokimia dan Identifikasi Metabolit Sekunder Senyawa Karpain pada Ekstrak Metanol Daun Carica pubescens Lenne & K. Koch dengan LC/MS (Liquid Chromatograph-tandem Mass Spectrometry). Skripsi Diterbitkan. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Malang. Malang.
Laily A. N, dkk. 2012. Karakterisasi Carica pubescens Lenne & K. Koch Berdasarkan Morfologi, Kapasitas Antioksidan, dan Pola Pita Protein di Dataran Tinggi Dieng. Nusantara Bioscience. 4: 16-21.
Marlina, S.D. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edule Jacq. Swartz) dalam Ekstrak Etanol. Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta. Biofarmasi. 3(1): 26-31.
Melawaty, L. 2010. Ekstraksi Pigmen Antosianin Paprika Merah (Capsicum anuum) dengan Menggunakan Asam Tartarat. Laporan Penelitian.Teknik Kimia UKI-Paulus. Makasar.
Minarno, E.B. 2015. Skrining Fitokimia dan Kandungan Total Flavanoid Pada Buah Carica pubescens Lenne & K. Koch di Kawasan Bromo, Cangar, dan Dataran Tinggi Dieng. El-Hayah. Vol. 5, No.2.
Moya-Leon, M.A. Mario Moya. dan Raul Herrera. 2004. Ripening of Mountain Papaya (Vasconcellea pubescens) and Ethylene Dependence of Some Ripening Events. Postharvest Biology and Technology 34: 211–218.
Novalina, D. Sugiyarto. dan Ari Susilowati.  2013. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Carica pubescens dari Dataran Tinggi Dieng terhadap Bakteri Penyebab Penyakit Diare. El-Vivo.Vol.1, No.1, Hal 1-12.
Nurhayati, N. 2012. Populasi dan Karakter Morfologi Tanaman Carica pubescens di Dataran Tinggi Dieng. Tesis Tidak Diterbitkan. Prodi Biosain PPS Universitas Sebelas Maret.
Prashant, dkk. 2011. Phytochemical Screening and Extraction. Internationale Pharmaceutica Sciencia. 1(1): 1-9.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Bandung: ITB Press.
Setyowati, W.A., Sri Retno., Ashadi., Bakti Mulyani., dan Cici Putri. 2014. Skrining Fitokimia dan identifikasi komponen Utama Ekstrak Metanol Kulit durian (Durio zibethinus Murr.) Varietas Petruk. Seminar Nasional dan Pendidikan Kimia VI.UNS Surakarta.
Siadi, K. 2012. Ekstrak Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropa curcas) sebagai Biopestisida yang Efektif dengan Penambahan larutan NaCl. Jurnal Mipa. 35(2): 77-83.
Sugiyarto. 2012. Sebaran Sistem Budidaya Carica pubescens di Dataran Tinggi Dieng Serta Potensi Transplantasinya ke Daerah lain. Seminar Nasional Biodiversitas V. Airlangga. Surabaya
Supono.  Sugiyarto. dan Ari Susilowati. 2014. Potensi Ekstrak Biji Karika (Carica pubescens) sebagai Larvasida Nyamuk Aedes Aegypti. El-Vivo. Vol.2. No.1, Hal 78-89.
Uribe, Elsa dkk. 2015. Extraction Techniques for Bioactive Compounds and Antioxidant Capacity Determination of Chilean Papaya (Vasconcellea pubescens) Fruit. Journal of Chemistry.




LAMPIRAN

Pengeringan buah C. pubescens

Simlisia serbuk buah C. pubescens
Proses Maserasi
Proses pemekatan ekstrak

Ekstrak pekat: 1.etanol; 2. N-Heksana
Uji kualitatif ekstrak buah c. pubescens



Posting Komentar

0 Komentar