Aku menganggap seseorang yang menuliskan titel di belakang namanya adalah orang-orang pamer, ingin diakui bahwa dia berpendidikan. Seakan-akan gelar itu membikin namanya terlihat lebih bermakna. Tersirat kebanggan di sana. Padahal, bukankah kita sekolah untuk menuntut ilmu? Bukan mengejar gelar, kan?
Biasanya, setelah diwisuda banyak orang akan mengubah nama di berbagai akun media sosialnya. Hal ini juga terjadi dengan teman-teman seangkatanku. Awalnya hanya Fulan menjadi Fulan, S.Kom. atau Fulan, S. SE. Risih membacanya. Ayolah, itu hanya sebuah nama akun media sosial. Mungkin jika bisa, mereka-mereka ini akan berbondong-bondong ke kantor dukacapil untuk menambahkan titel di KTP-nya.
Contoh lain yang sangat banyak terjadi adalah saat membuat undangan pernikahan. Tertera nama si mempelai diimbuhkan embel-embel S. ini dan S. itu. Apa coba tujuannya kalau bukan untuk pamer? Padahal gelar sarjana tidaklah mempengaruhi sah tidaknya pernikahan seseorang.
Suatu kali, aku membuat proposal magang. Kemudian meminta persetujuan dosen pembimbing. Saat akan menandatangani lembar rekomendasi, alis ibu dosen bertaut. "Gelar saya, kok tidak ditulis, Mba?" Protesnya sambil menambahkan kata Dr. di depan nama dan M.P. di belakangnya.
"Oh, iya, Bu, hehehe," jawabku sambil mesem-mesem gak jelas.
"Diperbaiki dulu, ya. Gelar saya jangan lupa." Ibu dosen menyerahkan kembali proposal itu untuk direvisi.
*Di luar ruangan dosen.
"Liat nih, aku lupa nulis titel ibunya." Aku menujukkan kertas hasil koreksian tadi ke Munaroh, teman sekelasku.
"Kwkwkw .... Kok bisa lupa?" Munaroh terkekeh sambil melihat lembar proposalku yang ditolak.
"Heleh, cuma gelar aja lho!” ucapku kesal. “Yang penting nama ibunya, kan, gak keliru. Gitu aja harus revisi."
"Gak segampang itu, Ani!” kata Munaroh dengan wajah serius. “Wajar dong ibunya sewot. Dia capek-capek kuliah sampek S3. Eh, kamu malah enak-enakan ngapus gelarnya. Gak sedikit waktu, tenaga, biaya, dan air mata yang dikeluarkan. Kamu aja yang masih strata-1 udah termehek-mehek buat skripsi, apalagi ibunya yang udah S3?"
Sejak itu aku tersadar. Benar kata Munaroh. Adalah hal lumrah seseorang mengimbuhkan gelar sarjana yang diraih di belakang namanya. Bukan bermaksud sombong, mereka hanya ingin menikmati hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun. Tidak adil bukan kalau menjudge mereka semata-mata cuma ingin pamer?
Walau aku pribadi
jarang menambahkan embel-embel itu. Aku lebih suka diimbuhkan gelar Ny. di
depan namaku. Kalau kalian, bagiamana?
2 Komentar
Kalau buatku, gelar itu jadi kebanggaan Orangtua. Sebuah pengakuan bahwa mereka berhasil juga menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi mba. Cuma biasanya gelar akan kupakai cuma saat akan membuat CV atau lamaran pekerjaan saja
BalasHapusIya, sependapat, Kak. Cerita di atas cuma fiksi, hehehe
Hapus