Teman Tidur Part.1

 

Bagi mahasiswi perantauan sepertiku, berhemat merupakan suatu kewajiban. Sesuatu yang berhubungan dengan keuangan haruslah diperhitungkan. Termasuk dalam mencari tempat tinggal.  Daripada nge-kost, aku memilih mengontrak bersama teman lain. Tentu karena biayanya lebih murah meski sedikit jauh dari kampus.

Rumah hijau, kami menyebutnya. Bukan apa-apa, hanya karena dindingnya dicat hijau terang.  Sedikit terpencil, di belakang dan diapit dua rumah penduduk yang dipisihkan jalan sempit. Bersebelahan dengan puluhan kandang ayam tak terpakai. Meski demikian, kontrakan tersebut cukup nyaman karena jauh dari keramaian.

Aku dan tiga teman baru pindah beberapa bulan ke sini. Ada lima kamar yang masing-masing ditempati dua orang. Satu ruang tamu, dua kamar mandi di luar, gudang dan dapur. Aku dan Mira menempati kamar paling belakang, dekat ruang kosong yang digunakan anak-anak menumpuk buku atau barang yang tak dipakai.

“Itu bekas sumur, Ra?” tunjukku pada sebuah sumur yang dipenuhi lumutan juga rerumputan. Sumur tua itu hanya ditutupi seng berkarat. Letaknya persis di dekat jendela kamar kami, di belakang kandang ayam. 

“Iya, katanya pernah ada yang bunuh diri loh di sana,” ucap Mira santai seolah tak berita tersebut bukan sesuatu yang seram.

Padahal otakku sudah ke mana-mana. Teringat adegan sebuah fil horror Sadako. Jika sadako yang berambut panajang itu keluar dari televise, maka dalam cerita ini dia akan keluar dari sumur tua.


“Bunuh diri kenapa?” tanyaku penasaran. Pantas saja harga kontrakan ini sedikit miring dibandingkan yang lain. Aku mulai berspekulasi.

“Cuma katanya, belum tentu betul,” ucap Mira yang lagi-lagi dengan wajah datar. Ia memang sudah hampir setahun tinggal di rumah ini. “Lagian kalo kita gak ganggu, dia gak bakal macem-macem, kok. Tenang aja,” lanjutnya seolah mengerti isi pikiranku.

***

Tiga hari mengadakan PKL di kota sebelah, saat pulang, ada yang berbeda dengan kontrakan. Terlihat lebih luas dan bersih. Kandang-kandang ayam sebelah telah dibongkar. Kini hanya sebidang tanah kosong di sana.

 “Katanya mau dibikin kontrakan juga,” jawab Mira saat aku bertanya.

“Asyiiik! Bakal punya tetangga nih. Cewek apa cowok?” tanyaku antusias.

“Asyik apanya. Lah gara-gara dibongkar “penduduk” yang di sana pindah ke sini,” timpal Jihan anak kamar sebelah.

“Maksudnya?”

“Kamu belum tau?” Ia balik bertanya.

Aku menggeleng.

Jihan mulai berkisah. Ia pernah terbangun tengah malam. Saat hendak ke kamar mandi, ia melihat seperti ada beberapa anak kecil sedang bermain di depan kamarku yang dijadikan gudang. Bukan Jihan saja, teman lain juga pernah melihat hal yang sama, anak kecil bermain di sekitaran kontrakan kami.

“Sebelumnya emang ada sih, tapi cuma satu. Ini makin banyak,” tambah Erna, teman sekamar Jihan.

Kisah Erna lebih parah lagi. Saat-saat pembongkaran kandang ayam, ia pernah berhadapan langsung dengan teman baru yang tak kasat mata itu.

“Kaki sama tanganku kayak ada yang megangin, dingin. Pas aku buka mata, eh,  mereka duduk melingkar di sebelahku. Satu perempuan, satu laki-laki, tiga anak kecil. Semuanya serba putih-putih.”

“Yakin itu bukan mimpi?” tanyaku ragu.

“Engga, Fi. Aku sadar 100%. Mereka gak ngapa-ngapain, sih. Cuma nengokin aku, tapi dipelototin lima hantu sekaligus siapa yang gak keder, coba?”

“Eh, kalo diceritain gini mereka bisa dengar loh!” ucap Jihan.


(( bersambung ))

Posting Komentar

0 Komentar