Derita Tukang Jus Part.1

 

Beberapa tahun lalu aku bekerja menjaga gerobak jus. Buka dari jam 9 pagi sampai jam 7 malam dengan gaji 25.000/hari. Dari situ aku mengerti ternyata mencari uang itu susah. Namun, setidaknya aku mendapat pengalaman berharga selama menjadi tukang jus.

 

Jadi tukang jus itu ada enak dan enggaknya. Enaknya bisa minum jus apapun setiap hari. Gratis. Gak enaknya pembeli menganggapku, si tukang jus, punya wawasan luas tentang kandungan, manfaat dan kecocokan antara satu buah dengan buah lain.

 

Pernah ada bapak-bapak ngomong gini, "Dek, saya kan baru makan daging, kira-kira jus apa ya yang bisa nurunin kolesterol?"

 

"Buah apa ya, Pak?" Aku nanya balik sambil pura-pura mikir. Padahal bingung. Setauku buah ya ... mengandung vitamin C, entah berpotensi menurunkan kolesterol apa engga, aku gak tau.

 

Untung waktu itu aku punya kuota, jadi bisa googling. Kalo engga, reputasiku sebagai tukang jus akan dipertanyakan. Ceile! Setelah aku membuka beberapa artikel, pertanyaan si bapak pun terjawab dengan buah apel. 

 

Di lain waktu ada mas-mas bertanya dengan wajah serius, "Mba, jus wortel enaknya dimix pakek apa, ya? Selain jeruk dan tomat." 

 

Asli aku bingung. Seumur-umur belum pernah minum jus wortel. Gak suka. Aku lebih suka wortel disayur sop pakek kentang. Pertanyaan si mas kujawab dengan gelengan dan senyuman.

 

Selain itu, jadi tukang jus juga dituntut mempunyai ingatan yang kuat. Ada pelangganku yang membeli banyak jus setiap Senin sore.

 

"Mba, jusnya jeruk empat, alpukat dua. Yang jeruk, dua gak pakek gula susunya sedikit, satu gak pakek susu gak pakek es, satu lagi pakek susu aja.  Terus yang alpukat satu gak pakek gula gak pakek es, satu lagi gulanya sedikit pakek susu putih."

 

Pertama kali bapak ini pesan, aku harus bolak-balik nanya supaya gak salah. Selanjutnya, setiap Senin sore aku menyediakan kertas, khusus buat mencatat pesanan si bapak langganan.

 

Di lain waktu ada ibu separuh baya beli jus nanas. Aku paling malas bikin jus nanas, karena harus mengupas kulitnya yang keras. Belum lagi membuang mata-matanya. Rempong.

 

Setelah buah nanas bersih, kupotong bagian batang tengahnya. Si ibu yang tadinya duduk langsung bangkit dan berkata, "Mba, bonggolnya jangan dibuang, sayang. Ada kandungan bromelinnya, bagus buat pencernaan."

 

Aku manut, gak jadi membuang bonggol nanas. Mungkin si ibu guru biologi pikirku. Terlihat dari baju batik hitam putih yang biasa dipakai pengajar. Setelah memotong nanas, kumasukkan ke dalam blender, memberi gula, susu dan es. Di tengah aktivitas itu, si ibu tiba-tiba bersuara.

 

"Tau bromelin?" tanyanya sambil melihat blender yang sedang berkerja


Aku menggeleng.

 

"Bromelin itu salah satu nama enzim. Tau enzim, kan?" Tanpa menunggu jawaban si ibu melanjutkan, "Biokatalisator. Agen yang mempercepat suatu reaksi. Jadi enzim bromelin ini fungsinya untuk memecah/mengurai protein supaya  mudah diserap tubuh. Nah, enzim bromelin banyak dikandung buah nanas."

 

Aku diem aja pura-pura nyimak omongan si ibu. Kuliah 2 sks tentang enzim bromelin berakhir begitu kusodorkan jus pesanannya.

 

Gerobak jus yang kujaga terletak di depan toko sembako, bersebelahan dengan warung makan lesehan. Di lingkungan itu ada seorang pengemis, kira-kira berumur 35 tahunan. Kadang dia datang ke toko sembako minta rokok. Setelah itu pindah ke warung lesehan minta makanan. Tapi tidak pernah singgah ke lapakku. Satu hal yang patut disyukuri.

 

Penampilan pengemis itu nyeremin. Pakek sarung kumal, baju kaos bolong-bolong, bawa kresek hitam entah apa isinya dan gak pakek sendal. Badan tanbul, kulit legam, dan rambut gondrong yang sudah jelas tak pernah dikeramas.

 

Terkadang setelah dikasih rokok si pengemis iseng duduk di emperan toko sambil menghitung duitnya dari kaleng susu bekas. Jelas saja merusak pemandangan. Tapi mba Amira, si penjaga toko gak berani mengusir, apalagi aku. Aku takut kalau-kalau dia mengamuk. Untunglah mas-mas warung lesehan bersedia menolong kami.


Namun, ada yang berbeda pada hari itu. Selama ini aku telah salah menilai si pengemis. 



(( bersambung ))

Posting Komentar

0 Komentar