Beberapa
tahun lalu aku bekerja menjaga gerobak jus. Buka dari jam 9 pagi sampai jam 7 malam
dengan gaji 25.000/hari. Dari situ aku mengerti ternyata mencari uang itu
susah. Namun, setidaknya aku mendapat pengalaman berharga selama menjadi tukang jus.
Jadi
tukang jus itu ada enak dan enggaknya. Enaknya bisa minum jus apapun setiap hari.
Gratis. Gak enaknya pembeli menganggapku, si tukang jus, punya wawasan luas
tentang kandungan, manfaat dan kecocokan antara satu buah dengan buah lain.
Pernah
ada bapak-bapak ngomong gini, "Dek, saya kan baru makan daging, kira-kira
jus apa ya yang bisa nurunin kolesterol?"
"Buah
apa ya, Pak?" Aku nanya balik sambil pura-pura mikir. Padahal bingung.
Setauku buah ya ... mengandung vitamin C, entah berpotensi menurunkan kolesterol
apa engga, aku gak tau.
Untung waktu itu aku punya kuota, jadi bisa googling. Kalo engga, reputasiku sebagai tukang jus akan dipertanyakan. Ceile! Setelah aku membuka beberapa artikel, pertanyaan si bapak pun terjawab dengan buah apel.
Di
lain waktu ada mas-mas bertanya dengan wajah serius, "Mba, jus wortel enaknya dimix pakek
apa, ya? Selain jeruk dan tomat."
Asli
aku bingung. Seumur-umur belum pernah minum jus wortel. Gak suka. Aku lebih
suka wortel disayur sop pakek kentang. Pertanyaan si mas kujawab dengan gelengan dan senyuman.
Selain
itu, jadi tukang jus juga dituntut mempunyai ingatan yang kuat. Ada pelangganku
yang membeli banyak jus setiap Senin sore.
"Mba,
jusnya jeruk empat, alpukat dua. Yang jeruk, dua gak pakek gula susunya
sedikit, satu gak pakek susu gak pakek es, satu lagi pakek susu aja. Terus
yang alpukat satu gak pakek gula gak pakek es, satu lagi gulanya sedikit pakek
susu putih."
Pertama
kali bapak ini pesan, aku harus bolak-balik nanya supaya gak salah. Selanjutnya, setiap Senin
sore aku menyediakan kertas, khusus buat mencatat pesanan si bapak langganan.
Di
lain waktu ada ibu separuh baya beli jus nanas. Aku paling malas bikin jus
nanas, karena harus mengupas kulitnya yang keras. Belum lagi membuang mata-matanya.
Rempong.
Setelah
buah nanas bersih, kupotong bagian batang tengahnya. Si ibu yang tadinya duduk
langsung bangkit dan berkata, "Mba, bonggolnya jangan dibuang, sayang. Ada kandungan
bromelinnya, bagus buat pencernaan."
Aku
manut, gak jadi membuang bonggol nanas. Mungkin si ibu guru biologi pikirku. Terlihat dari baju batik hitam putih yang biasa dipakai pengajar. Setelah memotong nanas, kumasukkan ke dalam blender, memberi gula, susu dan es. Di tengah aktivitas itu, si ibu tiba-tiba bersuara.
"Tau bromelin?" tanyanya sambil melihat blender yang sedang berkerja
Aku menggeleng.
"Bromelin
itu salah satu nama enzim. Tau enzim, kan?" Tanpa menunggu jawaban si ibu melanjutkan,
"Biokatalisator. Agen yang mempercepat suatu reaksi. Jadi enzim
bromelin ini fungsinya untuk memecah/mengurai protein supaya mudah
diserap tubuh. Nah, enzim bromelin banyak dikandung buah nanas."
Aku
diem aja pura-pura nyimak omongan si ibu. Kuliah 2 sks tentang enzim bromelin
berakhir begitu kusodorkan jus pesanannya.
Gerobak
jus yang kujaga terletak di depan toko sembako, bersebelahan dengan warung
makan lesehan. Di lingkungan itu ada seorang pengemis, kira-kira berumur 35 tahunan. Kadang dia datang ke toko sembako minta rokok. Setelah itu pindah ke
warung lesehan minta makanan. Tapi tidak pernah singgah ke lapakku. Satu hal
yang patut disyukuri.
Penampilan
pengemis itu nyeremin. Pakek sarung kumal, baju kaos bolong-bolong, bawa kresek
hitam entah apa isinya dan gak pakek sendal. Badan tanbul, kulit legam, dan
rambut gondrong yang sudah jelas tak pernah dikeramas.
Terkadang
setelah dikasih rokok si pengemis iseng duduk di emperan toko sambil menghitung
duitnya dari kaleng susu bekas. Jelas saja merusak pemandangan. Tapi mba Amira,
si penjaga toko gak berani mengusir, apalagi aku. Aku takut kalau-kalau dia mengamuk.
Untunglah mas-mas warung lesehan bersedia menolong kami.
Namun, ada yang berbeda pada hari itu. Selama ini aku telah salah menilai si pengemis.
(( bersambung ))
0 Komentar