Derita Tukang Jus Part 2

 

Seperti biasanya, setiap pagi aku sibuk menata buah dan membersihkan kaca gerobak jus. Dari kejauhan terlihat pengemis itu berjalan mendekat dan berdiri tepat di depan warung lesehan. Iseng, kuperhatikan apa yang dilakukannya. Eh, ternyata dia gak minta makanan, tapi mau beli. Soalnya setelah si mas ngasih sebungkus nasi dia nyodorin uang 10.000-an. Tapi, ditolak sama si mas.

 

Kemudian pengemis itu melangkah ke toko sembako. Kuperhatikan lagi. Setelah mba Amira ngasih sebatang rokok, dia nyodorin uang 2.000 an. Lagi-lagi ditolak.

 

Mungkin karena kuperhatikan si pengemis jadi kegeeran. Untuk pertama kalinya dia mampir ke gerobakku. Tanpa basa-basi ia langsung meletakkan uang 5.000-an yang sudah lusuh ke dalam gerobak.

 

"Beli es," gumamnya pelan sambil menatap mataku.

 

Aku jadi salah tingkah, eh bingung. Bingung antara menerima uangnya apa engga. Kalau dia bilang minta es, pasti sudah kukasih. Tapi dia pengen beli. Buktinya dia langsung naruh uangnya tanpa diminta. Aku jadi perang batin. Antara menerima atau menolak uang itu.

 

Akhirnya kubuatkan jus yang harga 5.000-an. Jus jeruk paket komplit pakek gula, susu dan es. Setelah jus di tangan, tanpa sepatah kata dia langsung pergi meninggalkanku. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang semakin menjauh.


Sorenya ketika si bos dateng, kuceritakan kejadian tadi pagi.

 

"Lain kali kalo dia beli jangan terima uangnya. Kasih aja es marimas." Kebetulan kami juga menjual es marimas dan kawan-kawan.

 

Dahiku berkerut, tidak sependapat dengan si bos. Kenapa harus menolak uang si pengemis? Apa alasannya? Apakah karena dia kumuh? Dan uang itu lusuh? Bukankah dia juga punya hak yang sama dengan pembeli lainnya? Aku ngambil positifnya, mungkin si bos mau sedekah.

 

Sebulan kemudian aku resign dari kerjaan jus. Bukan karna insiden pagi itu, hanya saja kontrakku sudah berakhir.


***

 

"Cass, temenin beli jus yuk," ajak Hani, saat melihat gerobak jualan jus di pinggir jalan.

 

"Mas, jus semangkanya, satu," pesan Hani. Si mas mengangguk. Kemudian membelah buah semangka dan memotong menjadi beberapa bagian.

 

"Mas, esnya dikit aja," pinta Hani saat melihat si mas memasukkan es batu.

 

"Oh, iya." Si mas mengurangi es yang sudah terlanjur masuk ke blender.

 

"Susunya aja yang dibanyakin, Mas," tambah Hani saat si Mas menuang susu.  


Aku tersenyum kecil melihat Hani yang banyak maunya. Aku jadi teringat pengalamanku selama menjadi tukang jus. Memang, menjadi tukang jus juga harus memiliki kesabaran extra. Ada kalanya aku menghadapi pelanggan yang banyak maunya seperti temanku, Hani.

 

"Iya." Si mas menambahkan susu cair kemudian memblender.

 

"Semangkanya manis kan, Mas?" tanya Hani lagi. Aku menjawilnya supaya diam.

 

"Kalo kurang manis, mba minumnya sambil ngaca aja, pasti manis," jawab si mas kalem.

 

Aku tergelak. Hani salah tingkah.


*End.

 


Posting Komentar

0 Komentar