Kisah Sang Maha Santri Part.2


Jleb. 

Semua menjadi gelap yang membuat kami saling berpandangan, lalu terdengar suara riuh dari kamar musyrifah dan kamar lainnya. Spontan Raras mencabut kabel teko.

“Dekkk! Siapa yang ngidupin teko?! Lampunya jadi mati!”
 
“Woi! Lampunya ngejeglek!”

Kami yang menjadi terdakwa pun pura-pura ikut riuh menghebohkan suasana agar tak ketahuan.

"Gelaaaap!" ucap Olif kemudian disambung Raras

Tak lama kemudian lampu hidup kembali. Suara-suara riuh sudah reda. Kami tergelak, kecuali Gita terlihat murung karena tak jadi makan mie instan.

“Aku ada ide!” seru Izza seraya bangkit dari tempat duduknya. Diisinya mangkuk aluminum dengan air lalu menyolokkan kabel setrika. Mangkuk kecil itu diletakkan di atas setrika yang sudah dibalik. Beberapa menit kemudian air menjadi panas. Mie instan siap untuk direndam. Sungguh Izza anak pondokan sejati. 

***

Selain easy going, anak kamarku juga amat loyalitas. Setiap dapat kiriman bulanan, kami akan mengadakan makan bersama. Seperti sore ini, giliran Raras yang mentraktir.

Ketika sedang asyik makan bersama, azan Magrib berkumandang. Hal tersebut lantas membuat Izza terburu-buru. Diantara kami, memang Izza dan Olif yang paling rajin ke masjid.

“Gak apa, Za, salat di sini aja,” ucapku sambil menyuapkan nasi ke mulut. “Udah telat loh.”

Izza mengunyah nasi dengan kecepatan tinggi, “Tapi, enakan salat di masjid. Pahalanya lebih banyak.” 

“Sesekali gak apa salat di kamar, ‘kan kita juga berjamaah,” sahut Raras. “Gak diabsen, tenang aja.”

Ya, di ma'had kami, setiap shalat Subuh dan Magrib wajib di masjid. Karena itu, diadakan pengabsenan setiap dua waktu sholat itu. Barang siapa yang banyak absen sholat ke masjid, siap-siap saja kena hukum.

Setelah bujuk rayu maut, akhirnya Izza setuju untuk sholat jamaah di kamar. Selesai makan aku mengunci pintu kamar dan jendela. Sudah menjadi kebiasaan setiap Magrib para musyrifah akan memeriksa kamar-kamar.

Izza menggelar sajadah di depanku dan Raras. Sedangkan Gita dan Olif sedang datang bulan. Sejauh ini belum ada tanda-tanda razia. Terkadang musyrifah juga sibuk, jadi tak sempat menggerebek.

Kami memasuki rakaat kedua. Saat membaca surah al-Fatihah, samar-samar terdengar gedoran dari kamar paling ujung. Dan itu pasti musyrifah yang sedang razia. Alamak! Konsentrasiku pun terpecah. 

Izza bertakbir untuk rukuk. Dan ....

“Dek ...!” Mba musyrifah menggedor kamar kami seraya menggerakkan hendel pintu beberapa kali. “Dek, siapa di dalam?”

Kami diam seribu bahasa dalam keadaan rukuk. Pun Izza tak segera iktidal.

Tak bisa dipungkiri jantungku berdetak dua kali lipat. Seandainya tidak sedang dalam melangsungkan salat, mungkin kami bisa ngacir bersembunyi di kamar mandi atau samping lemari. Tapi ini ... kami sedang rukuk!

“Dek ...!” ulangi Mba Musyrifah sambil menggedor pintu beberapa kali. Tak lama kemudian gedoran itu berpindah ke kamar selanjutnya.

Alhamdulillah, selamat ucapku dalam hati.

Namun, ada yang aneh. Izza tak kunjung iktidal. Punggungku menjadi sakit karena kelamaan membungkuk. 

Satu detik, dua detik, tiga detik. Terdengar suara gelak Olif dan Gita dari arah kasur. 

“Heh, imammu lari!” seru Gita terpingkal-pingkal. 

Sontak aku dan Raras berdiri. Batal sudah salat kami. Dan memang benar. Sajadah Izza kosong. Rupanya saat mba musyrifah menggedor pintu, Izza lari menyelamatkan diri ke kamar mandi meninggalkan makmunnya yang sedang rukuk. Gokil, gokil!

Tak lama kemudian, kepala Izza muncul sambil cengengesan dari balik pintu kamar mandi. "Deg-deg an, aku," ucapnya.

Kami spontan ngakak kemudian mengulang sholat yang batal tadi.

Begitulah secuil kisah kami saat menjadi mahasantriwati.

*End.

Posting Komentar

0 Komentar