Kisah Sang Maha Santri Part.1

Maha santriwati. Sedikit aneh memang, aku pun merasakan hal yang sama saat pertama kali mendengarnya. Agak lucu-lucu gimana gitu. 

Maha santri atau santriwati adalah sebutan untuk kami, para mahasiswa mahasiswi baru di kampus hijau ini. Sudah menjadi kebijakan kampus selama semester satu dan dua seluruh mahasiswa baru alias maba tinggal di asrama. 

Layaknya pesantren, ma’had kampus pun memiliki berbagai kegiatan harian dan rutinan ala santri dan santriwati. Kami diajarkan bahasa Arab dan Inggris setiap pagi juga ada kajian rutinan bersama ustad. Begitu pun dengan disiplin, ada batasan-batasan yang tak boleh dilanggar. 

Awalnya aku cukup khawatir dengan status maha santriwati yang sebentar lagi akan kusandang. Terlebih lagi sebelumnya aku tak memiliki riwayat pendidikan sekolah berbasis Islam. Ya, you know lah, bagaimana stigma kata pesantren di kalangan anak muda. Paling pupoler sih, katanya hidup di ma’had itu berat. Serba disiplin dan serba ketat. 

Namun, karena kebijakan dari kampus begitu, mau tidak mau aku harus mematuhinya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku akan menjadi mahasantri dan tinggal dalam asrama.

Asrama Fatimah Az-Zahra lantai tiga, nomor lima puluh lima paling pojok samping tangga. Kamar inilah yang mempertemukanku dengan empat maha santriwati lain, Raras, Izza, Olif dan Gita. 

“Ayo, Fi! Pintunya keburu dikunci loh,” ucap Raras menarik paksa lenganku. 

Dengan setengah sadar aku bangkit lalu memakai jilbab instan yang tergeletak di atas lemari. Tinggal slup, langsung jadi. Kemudian mengikuti langkah Raras menuruni tangga. 

Salah satu agenda rutin mahasantri yang paling menjengkelkan menurutku yaitu shobahul lughoh atau pemberian kosa kata baru. Bayangkan saja, sehabis Subuh, saat langit belum terang sempurna kami sudah harus berduyun-duyun ke lapangan depan asrama.

Aku bergabung ke dalam kelompokku yang sudah membentuk lingkaran. Seperti biasanya, agar tidak mengantuk, para musyrifah (mahasiswi yang bertugas menjadi pendamping mahasantri) menyuruh kami menyanyikan beberapa jingle ma’had disertai gerakan.

“Ayo, Dek, yang semangat!” seru Mba Musyrifah dengan energik memimpin bernyanyi.

Yassalam, bukan makin ceria, aku makin kesal. Masa’ orang ngantuk disuruh joget-joget?

***

Bisa dibilang, aku beruntung karena mendapat teman sekamar yang easy going. Bersama mereka, pelan-pelan aku mulai terbiasa dengan kehidupan ma’had. Ala bisa karena biasa. Aku banyak belajar tentang arti kebersamaan. Misalnya sama-sama dihukum karena ketahuan tak jemaah ke masjid. 

Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam, pintu asrama sudah digembok para musyrifah. Para mahasantri sudah wajib di dalam kamar.

“Ada yang punya makanan, gak? Laper nih,” ucap Gita, cewek tembem yang selalu bercita-cita ingin bisa diet.

Izza yang sedang mengerjakan tugas menyahut, “Makan mie, mau? Tuh ambil di lemari.”

Gita kegirangan sebelum Raras mengucapkan kalimat tajam, “Bukannya kamu diet ya? Hayooo ... inget timbangan,” godanya terkekeh.

Gita mayun, sepertinya perang batin. Tak lama kemudian dia berjalan ke arah lemari Izza. “Gak apa-apa, dietnya besok aja,” ucapnya sambil mengambil dua bungkus mie instan. “Pada mau, gak?”

“Mauuu!” ucap kami kompak.

Empat mie instan tergeletak di meja. Masalah selanjutnya, beberapa minggu lalu terdapat peraturan baru, tidak boleh menggunkan teko listrik di asrama.

“Ntar kalo lampunya mati gimana? Bisa ketauan musyrifah loh,” ucap Olif cemas. Gadis ini memang paling taat aturan diantara kami.

“Kemaren kamar sebelah juga masak mie. Gak ada apa-apa kok,” timpalku meyakinkan.

Raras mengisi air dalam teko lalu mencolokkan ke stop kontak. “Tenang aja, nih aku bacain bismillah.”

Satu menit, dua menit, lima menit. Tak ada tanda-tanda berbahaya.

“Tuh, apa kubi—”

“Hei, itu kebakar!” pekik Izza memotong kalimatku menunjuk teko yang mengeluarkan asap dan berbau hangus.

Tak lama kemudian, sebuah kejadian mengejutkan kami semua.

(( bersambung ))

Posting Komentar

0 Komentar