Surat Cinta untuk Julia di Tahun 2030

 

Asslamualaikum, Julia!

Jika kau membaca surat ini, bersyukurlah karena itu tandanya Allah masih memberimu kesempatan untuk mencari bekal yang banyak untuk akhirat.

Mungkin sekarang alismu sedang bertaut, bertanya-tanya, lalu sedikit mengernyit, kenapa tiba-tiba kau menuliskan sebuah surat untuk dirimu sendiri? Bukankah itu terasa aneh sekali? Tentu saja tidak. Aku hanya ingin mengajakmu sedikit bernostalgia tentang masa kecil kita. Supaya kau tidak lupa.

Bagaimana kabarmu di tahun 2030? Ah, aku berharap di tahun itu kita telah memiliki keluarga kecil yang bahagia. Tebakanku benar bukan? Sudah berapa anak kita? Apakah mereka sehat? Pasti mereka lucu-lucu dan menggemaskan. Aku sangat penasaran siapa laki-laki beruntung yang mendapatkanmu, hehehe.

Apakah kau bahagia? Jika iya, alhamdulillah. Syukuri apa yang telah Allah berikan. Bila sebaliknya, aku berharap kau tetap tegar.

Kau ingat, dulu sewaktu SD kau pernah pernah tinggal kelas karena tidak bisa membaca. Lalu kau harus mengulangi kelas satu setahun lagi. Selanjutnya tidak ada hal spesial yang terjadi. Kau sama seperti anak-anak lainnya. Sekolah di pagi hari lalu bermain saat siang.

Saat MTS aku ingat kau sangat membenci pelajaran Bahasa Arab. Sebabnya sangat tak terduga. Karena kau cadel, ya, kau tidak bisa melafalkan huruf R. Itu juga yang membuatmu insecure dan tak merasa utuh.

Namun, saat kelas tiga kau bisa menyebutkan huruf itu! Yeay! Ya, usaha keras berlatihmu bertahun-tahun terbayarkan lunas. Tak akan ada lagi orang yang akan menyakitimu lewat candaan lisan. Sungguh aku bangga padamu.

Menjadi Santriwati

Di tahun 2008 kau lanajutkan sekolah ke sebuah pesantren. Padahal kau membenci pelajaran bahasa Arab yang penuh dengan huruf R itu. Tapi, agar bisa sekolah di kota, kau pun menyanggupi menjadi santriwati. Aku maklum, waktu itu kau sangat bosa tinggal di kampung yang jauh dari peradaban.

Tahun 2008, kau sedang berusaha beradaptasi dengan lingkungan pondok. Hidup jauh dari orang tua, dikekang, belum lagi soal disiplin yang memusingkan. Ah, pasti kau merasa tersiksa waktu itu.

Di tahun itu pula kau pernah merengek pada Ibu minta pindah sekolah karena saat itu sahabat dekatmu hengkang dari pesantren. Aku ingat betul. Berhari-hari kau masih menangisi kepergian teman akrabmu.

Memasuki pertengahan tahun 2010 kau mulai betah dalam pesantren. Kau juga mulai nakal. Kau bolos lari pagi malah bersembunyi di gedung lantai tiga. Apesnya ketahuan oleh bagian kemanan dan kau dihukum berdiri di depan masjid.

Kau juga berkali-kali masuk qismul lughoh (bagian bahasa) karena ketahuan berbahasa Indonesia. Kedua telapak tanganmu   menjadi sasaran empuk libasan ustazah memakai hanger. Besoknya kau pun ke sana ke mari sibuk mencari jasusah (santriwati yang sengaja berbahasa Indonesia).

Ketika jadwal belajar malam, kau malah asyik melempar mangga di depan rumah ustad. Sialnya batu yang kau lempar mengenai jendela kaca, untung tidak pecah. Mengetahui itu, kau langsung kabur dengan temanmu. Dasar berandal.

Andai saja waktu itu kau menyerah, dan ikut pindah mungkin tak akan ada cerita ini. Tahun 2012 adalah waktu dimana gerbang kebebsan itu terbuka. Graduation day! Aku ingat waktu itu kau meneteskan air mata saat meninggalkan pesantren. Antara sedih dan bahagia kau akhirnya menjadi alumni yang husnul khatimah.

Malang, Kota Sejuta Kenangan

Tahun 2012 juga kau pindah ke kota Malang untuk menimba ilmu di sana. Biologi, itu jurusan yang kau pilih di Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim. Hidup sebagai perantau tak menjadi hambatan karena kau sudah terbiasa jauh dari keluarga.

Di kota ini pula kau berjumpa dengan beragam orang dengan suku yang berbeda-beda. Di sini juga kau pernah menyukai temanmu secara diam-diam. Memandanginya dari kejauhan. Kau tak bernyali untuk mengungkapkannya, hingga hari kelulusan. Kenapa kau ini lugu sekali, sih?

Skripsi lancar, meski pernah galau karena berulang revisi. Hingga akhirnya wisuda di penghujung tahun 2016. Lagi-lagi kau harus menteskan air mata karena harus berpisah dengan teman-temanmu. Empat tahun waktu yang cukup untuk merantau. Kini saatnya kembali.

Jika mengingat itu, rasanya hidupmu sangat indah. Seolah kau tak memiliki beban yang berarti. Hidupmu lurus dan selalu mendapatkan apa yang kau inginkan. Lalu, takdir sedikit ingin bercengkrama. Tahun 2017, empat bulan setelah wisudamu kau mengalami kecelakaan yang mengubah warna duniamu. Kau tak bisa berjalan!

Saat itu kau jatuh serendah-serendahnya. Kau menangisi takdir setiap malam. Hingga 2017 adalah tahun terburuk dalam hidup kita. Lalu, dengan terseok-seok kau bangkit dari sana. Jangan lupakan air mata itu. Hingga kau berhasil melewatinya setelah tiga tahun lamanya. 

Tiga tahun  “sakit” bukan waktu yang sebentar. Banyak lika-liku yang telah kau jalani. Berobat ke sana sini. Meski pernah sekali kau ingin mati, tapi kau tak melakukannya. Aku senang, masih ada secuil iman di dadamu. Jadi pesanku, bagaimanapun sulitnya hidupmu di tahun 2030 ini, bertahanlah. Aku percaya kau pasti bisa.

Di tahun 2018, saat kau sedang sakit, kau bergabung dalam dunia literasi. Hal yang tak pernah kau duga sebelumnya, bukan? Kau memakai nama pena Cassiopeia, yang artinya sebuah rasi bintang. Di sana kau menuliskan kisah-kisah kita selama menjadi santriwati. Tahukah engkau? Banyak yang menyukai cerita kita. Bahkan sebagian dari mereka berniat memasukkan anaknya ke pesantren. Keren bukan? Ya, semua itu berkat kegigihanmu di masa lalu.


Aku ingin berterima kasih telah bertahan melalui prosesnya dan menjaga diri ini dengan baik. Aku bangga padamu.

Salam sayang selalu.

Dari aku, dari tahun 2020.

 

 Ket: Jenis tulisan opini.


#OneDayOnePost

#ODOP

#ODOPChallenge3

Posting Komentar

0 Komentar