Hai, selamat datang di blogku!
Kali ini aku mau review film Korea tentang perjuangan anak pertama sebagai tulang punggung keluarga, judulnya Ode to My Father. Film ini cukup menguras air mata, dan bisa membuat dadamu menjadi sesak. Mohon sediakan tisu sebelum menonton.
Perang Korea
Cerita dibuka dengan menampilkan seorang kakek, Doek-soo dan istrinya mengenang masa lalu. Karakter Doek-soo amat mudah marah dan galak. Ia marah-marah pada seorang makelar karena ingin membeli toko kelontong jadulnya. Kesan pertama, sih kayaknya si kakek ini nyebelin dan bukan suami yang romatis.
Alur flash back membawa setting pada Korea di tahun 1950 saat terjadi perang saudara. Perang tersebut awal mula Korea terbagi menjadi dua, bagian utara dan selatan. Sebelumnya Korea dijajah oleh Jepang, sama seperti halnya Indonesia. Saat Jepang lumpuh di tahun 1945, Indonesia berhasil memerdekakan diri, walau belum stabil dan hampir dikuasai Belanda kembali. Namun, berbeda dengan Korea, setelah Perang Dunia II berakhir dan dimenangkan oleh Sekutu, Korea jatuh ke tangan Uni Soviet (bagian Utara) dan Amerika (bagian Selatan). Masing-masing berpegang pada ideologi masing-masing, hingga pemisahan itu terjadi di tahun 1945 dan memicu perang saudara dari tahun 1950-1953.
Berawal dari sana, saat perang terjadi, sebuah keluarga terpisah saat evakuasi berlangsung. Doek-soo, bocah laki-laki berumur sekitar 10-12 tahun dan ribuan penduduk lain mengungsi dari Hungnam, bagian utara Korea, ke Busan dengan kapal perang Amerika. Doek-soo menggendong adiknya, Mak-soon, tertatih-tatih memanjat jaring untuk menaiki kapal berdesakan dengan pengungsi lain. Hingga di pijakan terakhir, saat Doek-soo hendak naik ke atas kapal, tiba-tiba Mak-soon terlepas dari gendongan.
Sang ayah memutuskan turun dari kapal buat nyariin Mak-soon. Di tengah hiruk pikuk itu, ayahnya berpesan: Jika ia tak kembali, maka Dok-soo menjadi kepala keluarga. Artinya apa pun yang terjadi ia harus mengutamakan keluarga. Scene ini mengandung bawang, dua kali nonton saya ikut merasakan kesedihan Dok-soo. Saya tidak bisa membayangkan anak umur 12 tahun jadi kepala keluarga.
Tanggung Jawab Anak Pertama
Kapal pun berangkat tanpa sang ayah. Dok-soo, ibu dan kedua adiknya tinggal di rumah bibi di Busan yang membuka toko barang-barang impor. Janjinya, ayah Doek-soo akan menyusul. Sayangnya, si ayah gak muncul-muncul. Dari sinilah perjuangan Doek-soo dimulai. Ia bekerja apa saja untuk membantu ibunya, menyemir sepatu hingga menjadi kuli angkut. Ia merelakan cita-citanya demi menghidupi dan menyekolahkan kedua adiknya. Mengutamakan mereka daripada dirinya.
Jika menilik gemerlapnya Korea Selatan saat ini, kita gak akan menyangka jika dulu, pasca perang Korea Selatan pernah mengalami kemelaratan. Ekonomi masyarakatnya sebelas dua belas dengan rakyat Indonesia. Hidup di bawah garis kemiskinan dan kelaparan di mana-mana.
Demi janjinya pada sang ayah, Doek-soo kerja mati-matian sejak kecil. Sekitar tahun 1960-an, adiknya yang akan masuk Universitas yang membutuhkan banyak biaya. Doek-soo menyanggupi menjadi kuli batu bara di Jerman, pekerjaan kasar yang taruhannya nyawa. Berangkatlah ia bersama Dal-goo, sahabatnya sejak kecil.
Ada Cinta di Jerman
Namanya juga film Korea, kurang sedap rasanya jika tidak ada sisi romantisnya. Di tengah kerinduannya pada kampung halaman, Doek-soo bertemu dengan gadis Korea, Young-ja yang berprofesi sebagai perawat. Cerita sedih hidup Doek-soo berubah menjadi ceria saat bersama Young-ja. Ia yang tak pernah jatuh cinta menjadi mendadak berbunga-bunga. Mereka saling berbagi cerita dan menghabiskan waktu di akhir pekan dengan bertamasya di taman kota.
Namun, suatu hari terjadi ledakan di pertambangan yang hampir merengkut nyawa Doek-soo. Kejadian itu dan visanya yang akan habis memaksa Doek-soo kembali ke Korea Selatan.
Kembali Merantau
Setelah menikah dengan Young-ja, tanggung jawab Dok-soo pada keluarganya belum usai. Adik-adiknya telah sarjana, ia juga membelikan sang ibu sebuah rumah. Namun, kali ini Doek-soo butuh uang untuk membiayai pernikahan adik bungsunya dan membeli toko bibinya. Toko tersebut menjadi harapan satu-satunya untuk bertemu ayahnya. Dok-soo terpaksa mengambil tawaran menjadi tentara bantuan perang di Vietnam dengan bayaran yang cukup tinggi.
Menjadi tentara perang artinya Doek-soo bisa mati kapan saja. Memikirkan itu, Young-ja melarang suaminya berangkat. Sambil menangis ia berkata, "Sudah cukup pengorbananmu selama ini untuk keluargamu. Saatnya untuk memikirkan keluargamu sendiri." Namun, karena janji pada ayahnya, Dok-soo bersikeras dan tetap berangkat bersama Dal-soo.
Di Vietnam, Doek-soo lagi-lagi hampir terbunuh dalam peristiwa pengeboman. Lewat surat ia mengabarkan bahwa dirinya baik-baik saja dan meminta Young-ja bersabar untuk menantinya. Gak cuma itu, Doek-soo juga hampir tertembak oleh kawanan pemberontak yang disebut Vietcong. Untungya, mereka diselamatkan oleh marinir. Tahun 1975, perang Vietnam berakhir, doek-son dan Dal-soo kembali ke Korea Selatan dengan kaki pincang akibat tertembak.
Mencari Mak-soon
1 Komentar
Sedih juga bacanya, berat sekali jadi tulang punggung keluarga.
BalasHapus