Tiga tahun terakhir, satu hal yang kubenci adalah ulang tahun. 26 Juni mendatang usiaku genap 30 tahun dengan status single. Sekali lagi, single. Aku sudah kebal dengan pertanyaan ‘kapan menikah?’ atau ‘kapan menyusul?’ ketika kondangan. Jangankan calon, pacar saja tidak punya. Ah, seandainya saja dulu aku mau berpacaran. Atau setidaknya bersedia dicomblangkan teman. Mungkin akan berbeda.
Jujur, aku juga risau dan gundah di umur yang tidak lagi muda belum ada yang melamar. Belum lagi jika reunin, aku adalah satu-satunya orang yang menjadi bahan ledekan. Ya, mungkin saja mereka hanya bermaksud bercanda, tapi tetap saja menyelipkan luka.
“Kamu jadi pulang, kan? Acaranya tanggal 25 Mei.” Ini ketiga kalinya ibu menelpon untuk memastikan kepulanganku.
“Kayaknya gak bisa, Vera banyak kerjaan," kilahku. Sebenarnya bisa saja minta izin, tapi berhubung acara nikahan aku mencari celah untuk menghindar. Lagian cuma nikahan sepupu.
“Ibu mau kenalin kamu sama seseorang. Pokoknya wajib hadir, titik. Emang kamu gak mau nikah? Kapan lagi? Nunggu keduluan Ririn?” tembak Ibu tepat pada sasaran. Ririn adalah keponakanku yang sudah berusia delapan belas tahun.
Jika begitu, aku hanya mengiyakan seraya menutup telepon malas berdebat. Tidak ada gunanya membangkang pada ibu, atau wanita yang melahirkanku itu akan memulai drama kisah masa lalunya yang menikah di umur 16 tahun.
"Jangan banyakan milih, Ver, nanti keburu tua. Ibu dulu dijodohin kakekmu, gak ada itu cinta-cintaan, harus pacaran bertahun-tahun, buktinya langgeng sampai sekarang. Seumuran kamu, ibu udah punya empat anak. Iya, empat. Ayahmu juga bukan orang berada tapi kita tetap cukup. Nyari calon itu yang penting baik, rajin kerja, dan sayang sama kamu." Begitu sepotong ceramah ibu jika menyangkut tentang status lajangku. Dan itu sukses membuatku pening seketika. Hal ini juga yang bikin aku jarang pulang kampung, kecuali ada hajatan keluarga atau acara penting lainnya.
“Kenapa? Disuruh pulang?” tanya Santi, teman sekantor. Dua tahun bekerja di perusahaan logistik kota Medan membuat kami kian akrab.
“Iya nih, tapi males. Acara nikahan.”
“Lah, kok males? Bisa aja ketemu jodoh di sana. Kalo menghindar terus kapan ketemunya? Jodoh itu sama kayak rezeki walaupun sudah diatur tetap harus dicari,” ucapnya dengan nada serius.
Santi memang lebih muda tiga tahun, tapi terkadang dia lebih dewasa. Aku merasa beruntung mempunyai teman sepertinya yang bisa mengerti segala keluhanku, walaupun terkadang tidak memberi solusi, setidaknya dia pendengar yang baik. Dan dia lagi-lagi mengingatkan, bahwa jodoh bisa datang dari mana saja, tapi ya itu tadi, waktu dan tempatnya masih menjadi Rahasia Tuhan.
Namun, dibalik semua itu, bukan aku yang banyak pilih-pilih dan gak mau ikhtiar. Semua usaha dari yang benar-benar serius seperti dikenalkan keluarga, ikut kelas prajodoh hingga menjadi member dating online, gak cuma satu aplikasi bahkan sampai lima, sudah kulakukan. Terakhir, meski setengah hati dan tak yakin, aku iseng mencoba mencari lewat jalur grup taaruf di Facebook. Iya, di Facebook, sosmed gudangnya penyebaran hoax dan tempatnya emak-emak curcol. Jika teman-temanku tahu, mampuslah aku. Dijamin mereka akan tertawa terpingkal-pingkal.
***
Pukul 15.00 WIB terminal Amplas terlihat padat meski sedang gerimis. Sebelumnya, aku telah menelpon abang supir KUPJ untuk konfirmasi. KUPJ adalah sebutan kami --orang Medan-- untuk sebuah bus Elf. Hanya ada tiga buah KUPJ yang melintasi kampungku sesuai jam keberangkatan masing-masing. Ya kau harus maklum, kampung halamanku sangat jauh dari peradaban. Tempat jin tomang membuang anak.
[Bang, aku udah di terminal, KUPJ-nya di mana?] Aku mengirim sms pada abang supir.
[Oke. Tunggu di situ aja, Dek] balasnya tak lama kemudian.
Kupilih bangku yang paling belakang. Sembari menunggu aku membuka grup taaruf di Facebook itu. Tak ada yang menarik, kebanyakan anggotanya adalah akun fake atau bodong dengan gambar kartun. Di grup ini, aku bersaing dengan para gadis lain, janda juga dedek-dedk gemes umur 16-18 tahun yang kebelet nikah. Yang membuat geleng-geleng kepala, dedek gemes ini lebih gercep mengirim caption kata-kata bijak perihal pernikahan. Jika aku jadi mereka, aku akan lebih memilih sekolah atau merantau mencari kerja ketimbang nyari calon suami. Tapi, aku gak bisa jugde, karena aku gak tahu latar belakang dan kehidupan mereka. It's not fair.
Jarum jam berputar lambat. Kututup gawai. Mataku perih karena terlalu banyak membaca postingan nasihat-nasihat dedek gemes soal pernikahan. Aku mulai resah dan lelah menunggu selama satu jam, tapi belum ada tanda-tanda keberangkatan. Benar sekali, menunggu adalah hal yang paling membosankan.
[Bang, berangkat jam berapa?] Dengan dongkol, aku kembali mengirin sms.
[Sebentar lagi, Dek]
Apanya yang sebentar lagi?! Ini sudah pukul 16.45 WIB gerutuku dalam hati. Tak lama terdengar kondektur berteriak menyebut-nyebut nama desaku. Tanpa membuang waktu, aku bergegas masuk ke KUPJ dan duduk di bangku deretan kedua.
KUPJ mulai meninggalkan terminal Amplas. Jalanan macet, karena sore adalah waktunya orang-orang pulang kerja, belum lagi sedang hujan. Di sebelahku duduk seorang laki-laki muda. Rahang wajahnya terlihat tegas serasi dengan alis yang lebat. Abang berjaket hitam itu diam membisu dan tidak berbicara sekedar basa-basi. Jemarinya sibuk memencet-mencet layar ponsel. Duh, sombongnya!
[Dek, di mana?] Sebuah pesan dari si abang supir. Mungkin sms-nya baru terkirim, pikirku. KUPJ melaju dengan pelan dengan antrean kendaraan yang mengular. Ponselku kembali berdering, panggilan masuk dari abang supir.
“Asslamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Dek, di mana?” Suara supir itu terdengar jelas.
“Saya sudah di KUPJ ini, Bang,” jawabku bingung kemudian mengecek nomor yang menelpon.
“Loh .... Kami belum berangkat!” serunya.
“Belum berangat?” Aku tambah bingung. “Bang, ini nomor KUPJ yang ini?” tanyaku ke abang kernet sambil menunjukkan nomor telpon di layar ponsel. Si abang kernet memeriksa nomor lalu menggeleng.
Deg. Aku salah naik KUPJ.
“Halo ... halo ... sudah sampai di mana?” terdengar suara dari seberang sana sudah tak sabaran.
“Sudah lumayan jauh, Bang,” jawabku tak enak.
“Ya udah!” Telpon dimatikan padahal aku belum sempat meminta maaf.
“Kenapa, Dek?” tanya abang berjaket hitam di sebelahku, akhirnya dia kepo juga.
“Salah naik KUPJ,” jawabku pelan. Dia tersenyum memamerkan lesung pipitnya. Duh, ganteng juga. Aku jadi tambah malu.
Obrolan pun mengalir. Kami saling berbagi cerita dan pengalaman. Aku meralat ucapanku tadi. Ternyata si abang jaket hitam orangnya ramah dan humoris. Ganteng pula! Saat tertawa, sebuah lesung pipit muncul di kedua pipinya. Membuat gemas. Aku jadi betah berlama-lama di dalam KUPJ.
Sayangnya kami tidak bertukar nomor. Jangankan bertukar nomor, berkenalan saja tidak. Entah karena dia tak berminat atau keasyikan mengobrol. Sebenarnya aku ingin, tapi terlalu malu dan gengsi meminta nomornya duluan.
Diam-diam aku menerka mungkin ini adalah skenario-Nya. Dia sengaja membuatku salah naik KUPJ agar bertemu dengan si abang jaket hitam yang tak lain adalah jodohku sendiri. Aih, seperti di film-film saja. Percakapan kami terhenti begitu ponsel si abang berdering.
[Assalamualaikum, cantik .... Iya, ini abang lagi di jalan. Engga kok. Adek udah makan? Bla ... bla ... bla ....]
Suara lembut nan mesra si abang sukses menyentilku yang sudah kepedean. Sepertinya si abang sudah ada yang punya. Pupus sudah. Diobrolan selanjutnya aku kurang bersemangat mendengar celotehnya. Rasanya ingin menyuruhnya diam saja. Kalau bisa inginku segera sampai ke rumah.
“Saya duluan ya,” pamit si abang jaket hitam saat KUPJ berhenti di depan rumahnya. Lagi-lagi dia tersenyum manis menunjukkan kedua lesung pipitnya. Sebuah senyuman yang tak bisa kumiliki.
***
“Eh, anak ibu sudah sampai,” sambut ibu dengan wajah semringah seperti baru saja memenangkan undian berhadiah.
Aku membuka tudung saji hendak mengisi kembali tenaga selama lima jam perjalanan. Ibu menyuguhkan teh hangat sambil menemani. Ya, walaupun sedikit cerewet wanita paruh baya ini adalah wanita yang penuh kasih sayang.
“Kok nyampeknya malem banget sih? Oh ya, masih ingat tante Mei? Tante Mei udah pindah dari Pekanbaru. Anaknya ganteng, loh. Mau dikenalin? Ini potonya," ujar Ibu semangat sambil menyodorkan ponsel usang miliknya.
Aku sekilas melihat foto anak tante Mei. “Terserah ibu,” jawabku kembali menyuap nasi dan diakhiri segelas teh.
Sejauh ini aku santai saja dengan aksi perjodohan ibu. Dari sekian banyak lelaki yang dicocokkan, selalu ada yang kurang di mataku. Entah karena umur, pekerjaan atau potongan rambutnya. Aku tidak suka laki-laki dengan gaya aneh-aneh. Apalagi berponi menutupi alis. Iuuhh!!
Namun, penolakan tak menyurutkan semangat ibu demi mendapatkan menantu. Dibanding diriku, ia sepuluh kali lipat lebih lebih semangat.
"Besok dandan yang cantik," kata ibu yang terfokus pada layar ponsel. Ia sedang berfacebook ria dengan teman-temannya.
Aku beranjak berlalu melangkah ke dalam kamar. Sekilas teringat lesung pipit si abang jaket hitam. Aaaaa!!!
Hari H pernikahan. Aku mengambil alih menjaga hidangan karena kerjanya paling mudah dan santai. Duduk, senyum atau sekedar mengusir lalat nakal.
“Vera! Kemana aja sih, ibuk cariin dari tadi.” Ibu dengan heboh menarik tanganku.
Mata ibu menyapu sekeliling mencari seseorang. “Nak Farhan! Sini!” tangan ibu melambai-lambai ke kamera, eh ke seseorang.
Seseorang yang dipanggil muncul. Laki-laki muda memakai kemeja batik biru lengan panjang dipadukan celana kain hitam. Rambutnya klimis dan tidak berponi. Amat berbeda dengan foto di ponsel jadul ibu.
“Ver, ini dia anak Tante Mei yang mau ibu kenalin.”
“Kamu ...?!” kataku dengannya serempak. Kami sama-sama terkejut, kemudian sama-sama tersenyum penuh arti. Itu dia, si lesung pipit yang kurindukan.
Sekarang aku tahu namanya, nama teman mengobrolku saat di KUPJ. Dia adalah Farhan, Muhammad Farhan si lelaki barjaket hitam.
END.
---Sebuah fiksi yang diharapkan menjadi kenyataan.
0 Komentar