Juni 2020.

“Sore ini hujan. Kau selalu menyukainya. Apakah kau menitip rindu pada hujan kali ini?”

Gadis berambut panjang itu menyeruput secangkir kopi yang mengepul. Netra bulatnya memandangi seikat mawar putih di seberang jalan. Terkulai disiram rintik hujan.

Oktober 2016.

Hujan lebat mengguyur kota Surabaya. Beberapa orang nekat menerobos butirnya. Sebagian lagi memilih singgah di emperan toko atau tempat lain untuk berteduh menunggu reda seperti yang gadis berambut panjang lakukan.
Tak berapa lama, seorang laki-laki berkemeja putih memarkirkan sepeda motor tak jauh dari gadis itu. Dia berjalan cepat dan duduk di sebelahnya. Tangan sang pemuda mengibas-ibas rambut ingin mengeringkannya dari air hujan.

“Aku menyukai hujan,” gumam laki-laki asing itu pelan.

“Ha?” Gadis berambut panjang menyahuti, merasa pria di sebelah berbicara kepadanya.

“Aku menyukai hujan,” ulangnya tersenyum tanpa menoleh.

“Bukankah hujan itu merepotkan?” sambut si gadis. Tak ada salahnya mengobrol sambil menunggu hujan reda pikirnya.

“Menurutku tidak. Tak merepotkan bagi yang menyukainya.”

Kemudian mereka membisu untuk beberapa saat.

“Kau tau apa yang membuatku menyukainya?” Wajah laki-laki itu tetap menatap lurus ke depan, menikmati setiap tetesan bening yang berjatuhan.
“Hujan. Ia tetap datang walau ada orang tak meninginkannya. Hadirnya membuat dahan kerontang kembali bernyawa. Menghilangkan tandus. Mengobati rindu yang menggebu. Hujan bisa membuka ingatan, entah itu bahagia atau luka.”

Gadis bermata bulat tersenyum. Aneh. Padahal mereka belum berkenalan. Bisanya laki-laki asing berbicara panjang lebar mengapa hujan begitu menarik baginya.

“Aku tak begitu menyukainya.” Suara sang gadis memecah keheningan. “Karena hujan memaksa kita untuk menunggu, suatu hal yang kubenci. Seperti sekarang ini.” Mereka kembali terdiam.

Hujan mulai reda menyisakan rintik-rintik kecil.

“Ayo, kuantar pulang.”

“Tidak usah, aku bisa sendiri. Sebentar lagi mungkin reda.”

“Bukankah kau tidak suka menunggu?”

Hujan sore itu mempertemukan Rindu dengan Ramon. Seorang mahasiswa tingkat akhir di kampus sebelah.

***

Sudah delapan bulan Rindu menjalin hubungan dengan Ramon. Lelaki pecinta hujan. Lima bulan terakhir mereka harus LDR karena Ramon diterima kerja di kota Yogyakarta.

“Sejak kapan kau mulai mencintaiku?” tanya Rindu pada suatu malam saat mereka berteleponan.

“Sejak pandangan pertama.”

“Di hujan sore saat itu?”

“Bukan. Sore itu adalah pertemuan ketiga kita.”

“Oh, ya? Bagaimana bisa?” tanya Rindu dengan raut wajah keheranan.

“Ya. Pertemuan pertama kita tanggal 13 Juni. Empat bulan sebelum aku mengantarmu pulang untuk yang pertama kalinya.”

Rindu mencoba mengingat tanggal yang diucapkan Ramon. Rasanya tidak ada yang spesial dengan tanggal 13 di bulan Juni lalu.

“Siang itu, hujan turun deras. Aku berlari ke emperan toko servis laptop yang sudah gulung tikar. Ada beberapa orang di sana, termasuk kau. Itu saat pertama kali aku melihatmu. Hatiku bergetar aneh.”

“Mungkin waktu itu kau hanya kedinginan,” potong Rindu setengah tertawa. "Atau karena lapar?"

“Tidak. Getaran itu muncul saat melihat wajahmu. Tapi aku tak punya nyali untuk sekadar bertanya namamu.” 

Rindu tersipu mendengar pengakuan Ramon.

“Lalu, kapan pertemuan kedua kita?”

“Dua minggu kemudian. Di akhir bulan Juni. Saat itu aku sedang berteduh di toko servis laptop. Tiba-tiba suara recok segerombolan perempuan mengundang perhatian. Di sana, kudapati kau berceloteh bersama teman-temanmu. Aku, lagi-lagi melepas kesempatan kedua untuk mengenalmu.”

“Saat itu hujan juga?”

“Ya. Kurasa hujan adalah takdir kita.”

“Dan akhirnya kita bertemu lagi di bulan Oktober,” tebak Rindu.

“Benar. Setelah pertemuan kedua itu aku selalu memikirkanmu. Semakin aku ingin melupakanmu, semakin sakit pula hatiku. Aku dirundung rindu. Kau tau? Setiap hujan di siang atau sore hari, aku menunggumu di emperan toko servis laptop. Berharap kau juga akan berteduh di sana. Tapi penantian itu sia-sia. Tak ada tanda-tanda kehadiranmu.”

Rindu terhenyak untuk sesaat. Ia baru tahu betapa besar cinta lelaki hujan ini padanya.


Rindu duduk dengan gelisah menanti seseorang. Ia menghentakkan kaki berulang-ulang. Kafe bertema rustic di pusat kota Surabaya itu terasa kian membosankan. Di luar, hujan mulai menyapa, turun membasahi setiap inci benda bumi. Berkali-kali mata indah itu memeriksa sekitar, seketika bibirnya tersungging saat mendapati seseorang.

Di seberang jalan, orang yang ditunggu Rindu sedang berdiri. Laki-laki itu tampak gagah dibalut kemeja putih dengan blazer biru muda dan jeans warna senada. Tangan kanannya memegang gagang payung. Tangan kiri dimasukkan ke saku jaket. Mata elangnya berbinar begitu mendapati sosok Rindu yang juga tengah menatapnya. Kemudian, pandangan sepasang kekasih yang sedang dirundung itu bertemu.

Ramon berlari menerobos hujan. Rindu bangkit dari tempat duduk, hendak menyambut sang pujaan hati. Debaran jantungnya serasa berloncatan saking gembiranya. Lima bulan sudah mereka berjauhan. Akhirnya, jarak itu kian terkikis. Orang yang ia sayangi kini berdiri di depan mata.

Ramon semakin mendekat ke arah kafe. Tak sabar, ia sedikit berlari tergesa menerobos hujan sampai ....

Sebuah bus menghantam tubuh kurus Ramon. Ia terpelanting, terguling-guling tak berdaya. Rindu memekik kaget, segera mengejar tubuh Ramon yang sudah bersimbah darah. Tak ia hiraukan kerumunan orang-orang.

Dengan gemetar ia memangku tubuh lelakinya. Mengusap lembut rambut legam yang basah oleh campuran darah dan hujan.

“Ini ... bu- buat ka- kamu,” ucap Ramon terbata sambil mengeluarkan kotak beludru dari saku blazer. Tak mampu berkata, Rindu menggenggam erat tangan pucat yang dingin itu.

Penglihatan Ramon semakin mengabur. nafasnya tinggal satu-satu.

"Jangan ... jangan ...." Tak sanggup gadis itu melanjutkan kata-kata. Otaknya seakan ikut membeku. "Jangan ... jangan ... pergi," ucapnya tergugu. Namun, kata-kata terakhir itu tak lagi mampu ditangkap telinga Ramon.

Rindu mendekap kuat-kuat tubuh Ramon yang telah membujur kaku. Bibir mungil nan pucat itu menjerit histeris menyebut-nyebut nama sang kekasih. Air matanya berderai, menyatu dengan rintik hujan. Orang yang ia cintai telah benar-benar pergi.

Hari itu tanggal 13 Juni. Mereka, dipertemukan dan dipisahkan oleh hujan.

Juni 2020.

Rindu kembali menyeruput kopi yang hampir dingin. Hari ini tanggal 13 Juni, tepat tahun keempat kepergian Ramon. Hari dimana Ramon akan melamarnya.

Rindu keluar dari kafe dan berdiri di samping seikat mawar putih yang diletakkannya sejam lalu. Ia membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Tangannya menadah merasakan dingin setiap tetesan bening yang menjalar ke hati.

“Hujan ... sampaikan rinduku padanya.”

END

***
Sebuah fiksi yang terinspirasi saat duduk sendiri memandangi rinai hujan.

Posting Komentar

0 Komentar