SEPATU DAN HATI


 Hari ini adalah jadwalku mencari sepatu. Sayangnya toko tempat langgananku tutup. Terpaksa aku mencari di tempat lain dan nampaknya toko ini memiliki koleksi yang limited edition. Pintu yang dilengkapi lonceng kecil berdering saat aku mendorongnya. Seorang wanita beramput putih, yang mungkin saja pemiliknya menyambuktu dengan senyuman.

Aneka sepatu terpajang memanjakan mata. Berwarna-warni indah serta ada pula yang berkilauan. Aku berhenti di depan rak aneka booth. Nampaknya sepatu dengan membuat si pemakai terlihat tegas dan kuat. Di sampingnya berjejeran sepatu seankers yang terlihat nyaman dipakai.

“Kau suka sneaker?” Tanya perempuan tua itu menghampiri.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

“Pilihlah satu yang kau suka,” katanya dengan mengisyaratkan ke jajaran sneakers.

Ragu, aku menuruti perkataannya dan mengambil sebuah sneakers putih yang sangat indah.

“Cobalah,” imbuhnya.

Lagi-lagi aku menurutinya. Memasukkan sepatu itu ke kedua kakiku lalu mulai melangkah. Ah, nyamannya.

“Sneaker itu cocok untuk para petualang yang …”

Sesuatu menyadarkanku. “Tidak! Aku mencari stiletto,” potongku melepas sneakers itu lalu beralih ke rak sebelahnya.

Rak ini dipadati sepatu dengan heels tinggi nan lancip. Sepatu yang sehari-hari kupakai. Pemakainya terlihat anggun dan feminin. Meski tak jarang kakiku lecet dan berdarah. Tapi, semua itu terbalas tuntas dengan status yang kudapatkan.

Stiletto silver yang mengkilau mencuri perhatianku. Terlihat elegan dan tangguh. Meski aku tahu di balik keindahan yang ditawarkannya ada terselip derita yang menciptakan luka.

“Kau menyukainya?” Tanya perempuan tua itu mengagetkan.

“Ya. Radit menyukainya,” jawabku jujur.

“Bukan karena dirimu?”

“Aku menyukai yang disukai Radit.”

Radit adalah segalanya bagiku. Meski protektif, aku mencintai laki-laki itu. Meski berulang kali ia menyakitiku,tapi aku tak bisa melepaskannya. Hanya dia satu-satunya yang bisa menerimaku. Maka, menyenangkan hatinya adalah prioritasku.

“Sepatu yang salah tak akan pernah membuatmu bahagia dalam melangkah. Ia akan terus menyiksa, menimbulkan luka dan membuatmu tak mampu berjalan.”

“Tapi … bagimana jika Radit meninggalkanku?”

Perempaun itu tersenyum lembut, “Masih ada sepatu lain yang akan menerimamu.”

Aku melepas stileeto silver itu kemudian dengan gembira mengambil sneakers putih. 

 

 

*Terinspirasi dari sebuah cerpen yang saya lupa judulnya.

Posting Komentar

0 Komentar