GADIS BERKACAMOTOR

 

Cassiopeia. Kata yang cukup unik dan jarang digunakan. Yang berarti nama sebuah rasi bintang. Aku menemukan nama itu secara tak sengaja, saat menonton sebuah film. Dan aku terinspirasi menggunakan nama itu untuk akun sebuah media sosial.

Aku sengaja membuat akun baru khusus untuk bergabung dalam grup kepenulisan dalam Facebook. Dalam grup itu aku cukup memosting karya yang kemudian dibaca dan diberi komentar oleh ribuan anggota lainnya. Bukan apa-apa, berlindung dibalik nama Cassiopeia membuatku lebih nyaman berinteraksi.

Akun baru dengan teman-teman yang tidak dikenal membuat beranda sepi. Hanya ada beberapa notifikasi dari postingan grup. Bahkan terkadang benar-benar kosong. Status yang lewat di linimasa juga terlihat asing.

Namun, malam ini ada yang berbeda dengan akun Cassiopeia. Tertera dua puluh enam pemberitahuan, seseorang membom like semua status. Di kotak pesan ada bulatan merah dengan angka satu. Pesan pertama setelah dua bulan akun ini aktif.

[Suka nulis, ya? Berarti suka baca juga?] Bunyi pesan itu.

[Kadang-kadang sih, kalo lagi mood.]

Sementara menunggu balasan, aku mengunjungi akun si pengirim pesan. Bernama Aldebaran dengan foto profil gambar gitar. Kami berasal dari kota yang sama. Ku-scroll ke bawah, linimasa dipenuhi oleh puisi dan beberapa status. Tak kutemukan satupun foto dirinya. Akun fake, sama seperti akunku.

[Aku suka cerita yang kamu tulis. Namaku Hadi, kamu?]

Suka dengan tulisanku? Padahal ceritanya tentang cinta-cintaan konyol. Tak jauh dari romansa anak SMA atau cerita perjodohan yang awalnya benci berujung menjadi cinta. Mirip drama Korea, alay-alay gimana gitu. Meski demikian, aku senang atas sanjungannya.

[Thanks, Cassiopeia.] Tulisku memperkenalkan diri.

[Cassixiihfbcscb. Susah ngejanya. Emang nama asli?]
[Engga. Hehehe. Orang-orang biasanya manggil Cassie.]
Ia kemudian mencecar nama asliku. Terlihat begitu penasaran.
[Sebut saja Cassie.] Kembali kuketik saat ia bertanya.
[Ayolah, cuma nama.] paksanya.
[Cassie.] Kutambahkan emoticon tertawa tiga buah.

Ia mengakhiri obrolan singkat itu dan berjanji akan terus mencari tahu sosok asli dibalik akun Cassiopeia. Sungguh, laki-laki kurang kerjaan.
***
Keesokan harinya, saat aku membuka aplikasi Facebook, tertera sebuah pesan dikirim beberapa menit lalu.
[Selamat pagi, nama kamu siapa?]
Hei, dia benar-benar menepati janjinya.
[Cassie.] Lagi-lagi, kutambahkan emotikon tertawa.

Dan obrolan kami mengalir begitu saja, seperti dua orang yang sudah kenal lama. Hadi mengenalkanku pada beberapa penulis berbakat yang belum kuketahui, pun begitu sebaliknya. Ia juga merekomendasikan karya tulis yang bisa dijadikan referensi.

Berbagi informasi seputar dunia kepenulisan membuat aku dan Hadi semakin akrab. Terkadang kami saling meledek di kolom komentar atau berkompetisi melahap sebuah karya. Berteman dengannya begitu menyenangkan. Sehari tanpa pesan darinya, Facebook terasa hampa. Alay memang, tapi itu yang kurasakan.

Di chat ke sekian, Hadi meminta nomor WhatsApp. Aku bingung harus bagaimana membalas pesan itu. Maksudku, kami memang dekat tapi hanya sebatas teman Facebook, tidak lebih. Sejujurnya aku belum percaya pada laki-laki maya ini. Bisa saja ia hanya orang iseng. Atau lebih parah lagi, bagaimana jika sebenarnya ia adalah perempuan? Tahukah kau? Dunia maya terkadang penuh dengan dusta.

Saat kutanya mengapa meminta nomor WhatsApp, katanya ingin mengenalku lebih dekat. Aku serius denganmu, tulisnya di kotak inbox. Kuakui, hatiku berdebar membaca kalimat terakhir itu. Senang, tapi separuhnya bimbang.

[0823xxxxxxxxx.] Kukirim nomorku mewakili perasaan.
[Makasih udah percaya. Save ya, 0856xxxxxxxx.]

Kutekan layar ponsel menyalin deretan angka, kemudian beralih ke menu telepon untuk menyimpan. Sejenak aku tertegun setelah mempaste. Rupanya nomor itu sudah ada di kontak ponselku dengan nama Julian. Nomor yang dulu sangat ingin kukirimi pesan namun hanya berakhir di draf penyimpanan. Nomor yang pemiliknya selalu aku rindukan. Mungkinkah ...?

Memori enam tahun lalu berputar, saat SMA kelas tiga. Waktu itu aku hanya seorang siswi berkacamata yang dipanggil si kuper atau si cupu. Berambut sebahu dengan tubuh kurus macam kurang gizi. Tak ada yang istimewa kecuali otak encerku.

Berbeda dengan Julian, siapa yang tak kenal dengannya? Si humoris berwajah tampan incaran banyak perempuan. Hobi bermain gitar dan pecinta puisi. Kekonyolannya selalu bisa menghidupkan suasana kelas.

Awalnya aku tak begitu mengenal Julian karena berbeda kelas. Hanya sekadar tahu nama dan orangnya. Ya, dia memang sepopuler itu. Hingga ketika kenaikan kelas tiga takdir sedikit berpihak kepadaku. Kami satu kelas.

Hari itu aku mengingatkan mama bahwa gagang kacamata yang biasa kugunakan telah patah. Sayangnya, mama sedang sibuk dan tak bisa menemani ke toko optik langganan. Mama menyarankan agar aku memakai kacamata yang lama.

Aku keberatan! Aku tidak begitu menyukai kacamata ini. Kaca bulatnya membuat penampilan semakin terlihat cupu dan aneh. Namun, terpaksa kupakai kacamata itu atau akibatnya aku tidak bisa belajar dengan tenang kerena penglihatan yang buram. Hanya untuk sehari saja.

Saat pelajaran Fisika, Bu Laras tidak hadir. Sebagai gantinya, kami diberi tugas kelompok. Aku satu kelompok dengan Kinar, Andre, dan ... Julian.

Julian dan Andre merapatkan bangku hingga kami duduk berhadap-hadapan. Dari jarak sedekat itu aku bisa mencuri pandang pada Julian yang lebih banyak bercanda dengan Andre dari pada mengerjakan soal. Ya, kuakui dia memang amat manis. Tak heran jika banyak perempuan yang mendambakannya, termasuk aku. Tentu saja kulakukan secara diam-diam. Aku cukup tahu diri.

“Mau ke mana?” tanya Kinar begitu melihat Andre bangkit dari bangku.
“Males ngerjain, ‘kan udah ada dia.” Andre menunjukku dengan dagunya. Aku yang ditunjuk menjadi pusat perhatian hanya menunduk malu. “Yok, Bray,” ajaknya pada Julian.
“Aku padamu,” ucap Julian menatap ke bola mataku, memamerkan senyumannya. Dan itu membuatku salah tingkah. Saking gugupnya, aku memperbaiki letak kacamata yang sebenarnya baik-baik saja. Saat hendak keluar, tangan Julian menepuk pelan pundakku. “Nice glasses,” bisiknya.

Deg.

What?! Tanpa dikomando jantungku berdegub kencang. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba Julian membisikiku. Padahal sebelumnya sekali pun kami tak pernah bertegur sapa. Kurasakan pipiku memanas.
“Tapi ini belum selesai,” ucap Kinar keberatan hendak mencegah dua berandal itu. Aku hanya terdiam, berpura-pura memecahkan soal dengan debaran dada yang sudah tak keruan.

Bel istirahat berdering. Daripada ke kantin, aku memilih mengunjungi perpustakaan. Lalu menenggelamkan diri bersama jejeran buku-buku. Letaknya tidak jauh, hanya berjarak lima kelas.

“Hei! Gadis berkacamotor!”

Teriakan itu menghentikan langkahku. Dari kejauhan tampak Julian berlari ke arah tempatku berdiri. Mau apa dia?
“Nih.” Dengan nafas terengah-engah ia menyodorkan minuman kaleng isotonik.
“Hah?” Aku mematung, bingung dengan kelakuannya.
“Ini pocari.” Karena tak ada reaksi apa pun, ia meletakkan minuman dingin itu di telapak tanganku. “Kamu sweetnya,” ujarnya meninggalkanku yang masih terdiam mencerna kalimat barusan. Lalu, sedetik kemudian kurasakan ada yang bergejolak di dalam sana. Rasanya hatiku disesaki aneka bunga. Oh, God ... apakah ini cinta?

Sejak kejadian itu setiap ke sekolah aku memakai kacamata bulat. Padahal mama sudah membelikan yang baru. Tak peduli dengan penilaian orang lain yang penting adalah Julian. Dan ia selalu memanggilku gadis berkacamotor. Konyol, tapi aku suka. Dan masa SMA-ku sedikit berwarna. Sayangnya, hubungan kami tak berkembang hingga hari kelulusan.

Drrtt ... Sebuah pesan WhatsApp membuyarkan lamunanku.

[Nadin?]

[Julian?]

[Ya, aku Julian. Julian Hardian Putra.]

Aku baru ingat sebagian orang ada yang memanggilnya Hadi.

[Ya, aku Nadin, si gadis berkacamotor.]

[Aku suka kacamotor itu.]

Belum sempat kubalas, pesannya masuk lagi.

[Maksudku orangnya.]

Waaa!!! Aku berjingkrak kesenangan.

END

Sebuah fiksi yang ditulis dengan menghabiskan dua buah gorengan.

Posting Komentar

0 Komentar