Teman Tidur Part.2

 

“Eh, kalo diceritain gini mereka bisa dengar loh!” ucap Jihan.

Sumpah?! Trus gimana?” tanyaku bergidik ngeri.

“Angkat kaki biar dia gak tahu kalo lagi diceritain.”

Spontan kami berempat yang duduk mengangkat kaki ke udara. Entah itu betul atau cuma akal-akalan Jihan karena ia tertawa keras saat kami mengangkat kaki.

***

Tiba liburan semester. Penghuni kontrakan satu per satu pulang ke daerah masing-masing. Kontrakan menjadi sepi. Kini tinggal aku dan Mira. Rumah yang di luar pulau membuatku pulang hanya setahun sekali, saat Idul Fitri. Untuk mengisi jadwal kosong akumencari pekerjaan sambilan seperti mengajar les privat.

“Tidur sini, aja, Mba. Di kontrakannya kosong, ‘kan?” tawar Bu Diah, salah satu ibu murid lesku. Bu Diah memang perhatian dan baik hati.

“Ada satu anak lagi yang juga gak pulang, Bu. Ntar dia gak ada temennya,” tolakku halus.

“Rumah dia di luar pulau juga?”

“Engga, Bu, dia ada diklat organisasi kampus.”

“Oh, ya sudah kalau begitu.”

Aku berpamitan pulang.

Kugelar tikar dan berbaring di ruang tamu. Sambil menunggu Mira, aku mempelajari materi  dan membuat kuis untuk pertemuan esok malam.

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas lebih sepuluh. Namun, Mira belum juga datang. Padahal biasanya jam setengah sebelas ia sudah pulang. Aku jadi was-was sendirian di kontrakan. Apalagi jika mengingat cerita Erna tempo hari.

Firasatku mulai tak enak. Konsentrasiku membuat materi buyar ambyar sudar. Kuambil ponsel kemudian mengaktifkan data seluler. Baru saja membua aplikasi whatsapp, pintu terbuka muncul sosok Mira di sana. Aku bernafas lega.

“Motormu mana?” tanyaku karena aku tak mendengar suara motor miliknya.

“Dipinjem temen, tadi aku dianterin sampek gang depan. Belum tidur?”

“Ayuk bareng,” ucapku membereskan buku-buku pelajaran. Lalu bernjak ke kamar.

Mira tak banyak bicara, ia langsung terlelap di sampingku. Mungkin kelelahan. Wajar saja, pukul tujuh pagi tadi ia sudah berangkat. Tak berapa lama aku pun menyusul Mira.

Antara sadar dan tidak, aku merasa sesuatu yang dingin menyentuh kaki. Tak hanya di kaki, kini tanganku juga terasa dingin, seperti ditempeli es.

Sial!

Ternyata yang diceritakan Erna itu benar! Dan sekarang mereka sedang mengelilingiku yang telentang. Seorang laki-laki dewasa tengah memegang kakiku. Di kiri kanan tiga bocah melakukan hal yang sama dan seorang wanita. Mereka menatap secara bersamaan. Berwajah dan pakaian serba putih. Lingkaran hitam jelas terlihat di sekeliling mata.

Aku mengucek mata, memastikan tak salah lihat. Mereka masih menatap tajam.

Waktu seakan berhenti berputar. Jangankan menjerit, hendak menarik selimut pun rasanya tanganku tak mampu. Aku linglung, bingung harus bagaimana. Tiba-tiba saja, perempuan berambut panjang itu mengarahkan kedua tangannya ke arahku. Semakin dekat dan ... tangannya terasa dingin saat menyentuh kulit leher.

Erna bilang mereka cuma melihat, tapi mengapa perempuan ini malah mencekik? Aku hamper memangis dibuatnya. Dengan tenaga tersisa, aku berusaha melepaskan cengkramannya. Namun, tangan itu kian erat dan erat. Aku tak bias bernafas!

Agrhhh!

“Astagfirullah!”

Aku bangun dengan nafas tersenggal. Syukurlah hanya mimpi. Namun, dinginnya tangan mereka terasa seperti nyata. Kerongkonganku terasa kering. Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Mira sudah tertidur pulas.

Malam semakin hening dan dingin. Aku menarik selimut hingga menutupi kepala sambil merapal doa. Sayangnya mata ini tak bisa diajak kompromi. Setengah jam berlalu aku tak juga bisa tidur.

Daripada kepikiran yang tidak-tidak, kuaktifkan ponsel dan data selular.Notifikasi WhatsApp berdenting tak berhenti. Pesan dari grup dan beberapa teman. Diurutan kelima ada satu pesan dari Mira.

[Maaf ya, aku gak bisa pulang ke kontrakan, ban motorku bocor. Ini baru slese diklat, aku nginep di kost teman. Gak apa-apa, ya? Jangan lupa kunci semua pintu.]

Oh mungkin pesannya sudah lama, pikirku. Rencananya berubah, Mira tak jadi menginap di kost temannya. Aku berpositif thinking dan men-scroll layar ponsel melanjutkan membaca pesan lainnya.

Tunggu dulu! Kembali kubuka pesan Mira. Tiba-tiba saja jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Pesan itu dikirim sekitar jam dua belas, sedangkan Mira tadi pulang jam sebelas lebih sedikit. Artinya ....

Aku menelan ludah, perlahan menoleh ke arah seseorang di samping. Jantung kin berdetak dua kali lebih cepat. Dia yang tadinya membelakangi kini telah menghadap ke arahku.

Deg.

Mata kami bertemu. Ia menatap dengan wajah datar, lalu menarik dua sudut bibirnya, menyeringai dengan wajah yang pucat.


Tamat.

Posting Komentar

0 Komentar