[Review Novel] 86; Ada Uang, Urusan Jadi Gampang

 

86 adalah novel Okky Mandasari yang saya baca setelah Entrok dan Maryam. Dan seperti yang sudah-sudah saya tertegun sekaligus mendapat pelajaran baru dari karya Okky. 86 menyinggung isu sosial kriminal politik yang begitu dekat dengan kehidupan nyata. Bagaimana budaya 86 yang sudah mengakar kuat di masyarakat kita.

Judul: 86

Penulis: Okky Mandasari

Tahun Terbit: 

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Istilah 86 mungkin belum banyak diketahui orang, tapi untuk praktiknya sendiri, kita pasti pernah mengalami sendiri baik itu dalam perkeara kecil atau besar. Saya pun awalnya tak paham apa artinya 86. Namun, setelah membaca beberapa lembar saya tahu arti dibalik kata "86". Simbol diartikan sebagai, tahu sama tahu, semua urusan akan beres dengan uang.

Tokoh utama dalam 86 adalah Arimbi, gadis desa yang polos berkerja sebagai pegawai juru ketik di kantor pengadilan. Orang tua yang petani bangga bukan butan dengan anak semata wayang itu. Arimbi telah sukses kerja di ruangan yang ber-AC, tak perlu panas-panasan. Setidaknya begitu juga menurut orang desanya.

Di awal-awal kisah kita disajikan dengan rutinitas Arimbi yang monoton dan membosankan. Selama 4 tahun menjadi juru ketik, pagi hingga petang aktivitasnya itu-itu saja. Penghasilannya pun sebagai juru ketik hanya pas-pas an untuk makan. 

Suatu sore, Arimbi mendapat AC secara cuma-cuma. Arimbi yang lugu bingung lantas ia menghubungi atasannya, Bu Danti. Bu Danti bilang AC tersebut adalah hadiah karena membantu klien menyelesaikan sengketa tanah. 

Dari sana Arimbi jadi tahu, jika hal tersebut telah lumrah terjadi dalam pemerintahan. Anisa, teman sekantornya yang hanya pegawai biasa, yang gajinya tak lebih besar dari Arimbi bahkan bisa membeli mobil baru. Semua uang itu tak lain berasal dari cipratan 86, tahu sama tahu, semua akan beres jika ada uang, begita kata Anisa.

Tanpa sungkan, Anisa pun membeberkan dimulai dari dirinya, atasan hinga para hakim memiliki jatah sendiri-sendiri dan pastinya jumlahnya jauh lebih besar, tergantung kasus yang mereka hadapi. Hanya Arimbi polos yang tak mengerti begituan.  

Hidup Arimbi lebih berwarna setelah berkencan dengan Ananta, pegawai survey dealer sepeda motor. Sama seperti Anisa, Ananta pun merayu Arimbi untuk mengambil jatahnya sebagai tukang ketik. Meski awalnya ragu, Arimbi mampu beradaptasi dengan cepat. Ia mulai membaur dan menambah link. Berkenalan dengan para pengacara, menyapa jaksa juga basa-basi dengan orang-orang penting. 

Tak hanya untuk perkara besar, paktik 86 juga berlaku pada kasus-kasus kecil. Seperti saat Arimbi hendak menikah dengan Ananta. Ananta yang berasal dari luar provinsi tak membawa surat keterangan untuk menikah di desa Arimbi. Akibatnya, Arimbi harus memberi 'pelicin' agar mereka bisa menikah.

Setelah menikah Arimbi berusaha lebih keras untuk mendapatkan uang tambahan. Ia ingin memiliki rumah yang layak bersama suami tercinta.  Tak ada lagi Arimbi yang lugu dan jujur. Ia telah menjadi pemain handal dalam urusan 86. Ananta sendiri tak bisa diharapkan. Gaji lelaki itu hanya habis untuk membayar kostan mereka.

Permianan 86 tak selalu mulus. Adakalanya untung juga buntung. Kali itu Arimbi diminta Bu Danti menemui dua orang pengacara seorang pejabat yang terjerat kasus korupsi. Dari pertemuan itu ia membawa dua koper berisi uang berjumlah 2 M. Tiga hakim akan mendapat masing-masing 500 juta/orang. Sisa 500 juta untuk dibagi-bagikan pada orang yang terlibat. Arimbi sendiri mendapat komisi 50 juta. Ia senang tak kepalang, tak percaya bisa punya uang sebanyak itu.

Hingga bencana pun datang. Tiba-tiba tim KPK datang mengakap basah. Arimbi bersama Bu Danti  terseret ke dalam sel tahanan. Dengan bukti uang dua koper di rumah Bu Danti juga uang 50 juta di ransel Arimbi. Mereka pun menjadi tersangka atas suap kasus pidana seorang koruptor. 

Kehidupan penjara tak ada bedanya. Ananta harus memberi 'pelicin' saat menjenguk Arimbi. Bu Danti yang memiliki banyak uang bisa memilih ruangan yang lebih nyaman, ber-AC, memiliki televisi besar, ada dapur juga kamar mandi pribadi. Sedangkan Arimbi yang tak punya uang harus tahan berdesakan dengan penghuni sel lain. 

Kisah Arimbi dalam penjara tak kalah seru sekaligus membuat saya sebagai pembaca tertegun. Penjara yang kita anggap sebagai tempat menjalani hukuman nyatanya hanya tameng belaka. 

Karena butuh uang utnuk pengobatan ibunya, Arimbi dikenalkan teman satu selnya pada seorang bandar bernama Aling. Aling adalah tahanan dengan kamar VIP. Ironisnya, kamar tersebut menjadi pabrik produksi sabu-sabu. Tak perlu takut tertangkap polisi, malah dalam penjara mereka bisa bergerak lebih bebas. 

Pengedaran sabu-sabu tak hanya melibatkan orang dalam, tetapi juga orang luar. Melalui Arimbi, Ananta menjadi salah satu kurir  Aling utnuk mengedarkan barang tersebut. 

Membaca 86 kita akan disadarkan akan sebuiah pertanyaan, jadi, dimanakah letak keadilan itu sebenarnya? Hukum yang diterapkan nyatanya hanya sebuah tulisan tanpa nyawa yang tak punya arti apa-apa. 

Dengan gaya bahasa yang ringan, tanpa diksi-diksi, serta alur cerita, novel 86 sangat menarik utnuk dibaca. Alurnya membuka mata kita karena persis seperti kehidupan nyata. Karakter Arimbi dan Ananta pun banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Overall, novel 86 sangat menarik. Dan kabar baiknya novel ini tersedia dalam bentuk e-book di ipusnas. Selamat menbaca.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Novel ini tuh kayak penggambaran hukum di Indonesia ya. Bobroknya diceritakan semua. Memang Mbak Okky kalau nulis novel kritik sosial paling mantap!

    BalasHapus